KYAI PANTANG MENYERAH

5.4K 265 6
                                    


Hasna mendorong pintu bercat hijau tua ruang kelas sepuluh Aliyah Baiturahim. Setelah mengucapkan salam pada tiga puluh santriwatinya, melangkah menuju meja ustazah yang berada di pojok kanan ruangan. Lepas menyapa murid-murid perempuan itu, Hasna memulai mata pelajaran aqidah di kelas yang dindingnya bernuansa hijau muda.

“Adanya pulpen ini membuktikan ada pembuat pulpen meski kita tidak pernah melihat dan berjumpa dengannya. Akal kita akan menolak kalau dinyatakan benda ini jadi dengan sendirinya. Begitu juga langit dan bumi ini bukti bahwa ada Pencipta langit dan bumi.”

Hasna memegang pulpen sebagai alat peraga, mengangkatnya tinggi hingga dipastikan terlihat semua santriwati. Ustazah muda itu menyampaikan materi pelajaran tentang proses keimanan kepada Allah dengan sistematis. Para santriwati belia itu mengangguk-angguk tanda mengerti.

“Ketundukkan alam semesta pada aturan tertentu juga membuktikan bahwa ada Pengatur yang mengaturnya. Contoh matahari tak bisa bertukar tempat dengan bumi, mereka tetap dalam orbit masing-masing. Begitu juga manusia, dia tidak bisa terbang seperti burung karena itulah aturan untuk dirinya. Walhasil alam dan manusia itu terbatas, lemah dan membutuhkan Pencipta untuk ada di dunia ini.”

Hasna mengarahkan tangan pada luar jendela untuk menunjuk sinar matahari. Dia juga memperagakan kepakan burung dengan kedua tangan merentang dan diayun perlahan. Cara ini sebagai upaya memudahkan murid menangkap pembahasan.

Lepas pelajaran para santriwati mencium tangan Hasna satu persatu. Belum sempat keluar kelas, seorang santri putri bernama Alifah bicara padanya. ”Ustazah, ana mau curhat, boleh?”

Ustadzah muda itu mengajak santrinya menuju taman samping kelas tempatnya biasa ngobrol dengan Rum atau para santri yang ingin curhat. Setelah duduk berhadapan di bangku semen berbentuk bulat, Alifa mulai menyampaikan curhatannya Santriwati ini merasa nyaman bicara pada Hasna yang terkenal ramah dan dianggap paham dunia remaja.

Dengan serius ustazah yang disukai santriwati itu mendengarkan curhatan Alifah.

“Lepas pesantren saya diminta langsung menikah Ustadzah, calonnya sudah ditentukan Abah. Saya bingung soalnya masih pengen kuliah.”

Deg!

Jantung Hasna hampir saja melompat mendengar curahan hati muridnya. Apa yang dialami gadis belia itu sama seperti yang sedang dia hadapi.

Sejenak ada ragu untuk memberi pendapat. Batinnya mulai berperang antara menghakimi diri dan membantu memecahkan masalah orang lain.

Hanya saja kecenderungan memberi solusi mampu membuatnya menyisihkan persoalan pribadinya. “Istikhoroh saja dulu, jangan langsung memutuskan iya atau tidak. Belum tentu keputusan Abah itu buruk.”

Berat lidah Hasna menguntai nasehat yang dirinya pun sedang galau akan hal tersebut. Ada rasa bersalah sebab apa yang diucap bertentangan dengan realita hidupnya.

“Tapi saya pengen kuliah dulu Ustadzah.” Kali ini ucapan Alifa membuat Hasna menelan ludah. Dihela dahulu udara dalam-dalam sebelum melanjutkan nasehat.

“Kuliah sambil menikah itu tak apa, lebih berkah malah.”

Ucapan itu rasa pedang menusuk lidahnya sendiri. Tak menyangka dia akan mengucapkan nasehat yang pernah diberikan kyai padanya.

“Haturnuhun, Ustazah. Saya akan sholat dulu untuk memantapkan pilihan.” Santriwati itu undur diri meninggalkan Hasna yang tercenung sendirian. Dalam sekian menit menatap lurus ke arah bangku panjang yang di depannya ada pohon jambu yang sudah mulai berbuah.

Hati gadis itu mulai dirayapi perasaan bersalah. Terlintas wajah Kyai yang penuh harap padanya. Betapa pria itu selalu ingin yang terbaik untuknya, termasuk soal pernikahan. “Ya, Allah, bukakan hati hamba pada seorang pria yang kelak akan menjadi pendamping di dunia hingga ke surga,” desisnya lirih.

*

Pesantren Baiturrahim mendapat undangan khusus tablig akbar minggu depan dari pesantren Darut Taqwa, Balendah Kabupaten Bandung. Acara ini akan dihadiri jamaah dari berbagai kalangan masyarakat Bandung. Karena kuota terbatas, Kyai memilih siapa saja yang akan berangkat ke sana.

“Neng gak usah ikut ke tablig akbar, ya?”

Saat Kyai membahas perihal tablig akbar serta orang-orang yang akan diberangkatkan, Hasna buru-buru mengungkapkan penolakan. Gadis itu paham bahwa Abi akan mengajak sebagai strategi mempertemukannya dengan para ustaz muda yang hadir di sana. Terbayang betapa risih nanti.

“Jelas ikut, Neng geulis.”

Kyai juga mampu membaca alasan penolakan putrinya pergi. Maka dari itu, tak dikabulkan permintaan.

“Ada beberapa santri Neng yang harus mengejar ketertinggalan tahfiz.”

Satu alasan kembali diungkapkan. Kyai tersenyum menghadapi kelihaian putrinya.

“Nanti Ustazah lain yang urus santrimu.”

Tamatlah riwayatnya. Gadis itu mengelus dada sebelum undur diri. Kyai menggelengkan kepala sambil tersenyum melihat sikap tak dewasa putrinya.

Hasna minta izin untuk menemui Rum di minggu siang ini. Dalam perjalanan menuju kamar gadis berambut ikal mayang itu sesekali menyapa santriwati yang sedang bercanda tawa di teras depan kamar-kamar mereka. Zuhur sampai magrib para pelajar itu diberi kesempatan istirahat. Boleh keluar juga untuk belanja kebutuhan harian yang tak ada di koperasi pesantren.

Setelah melewati asrama santriwati paling ujung, Hasna belok kiri untuk menjejakkan kaki di koridor bangunan yang diperuntukkan kamar-kamar tidur ustazah dan muadibah. Bangunan ini terletak 200 meter di belakang ruang belajar. Keduanya dipisahkan kebun buah dan sayur-mayur.

Hasna berhenti di pintu ketujuh dari arah kanan. Setelah salam ketiga benda bercat orange itu terbuka. Tak menunggu lama gadis itu menerobos ke dalam ruangan sederhana ini. Di sana hanya ada satu kasur busa tanpa dipan, lemari pakaian dan rak buku.

Selang semenit, Hasna langsung menceritakan yang baru saja terjadi. “Ck! Gitu aja ngambek!” Rum yang duduk selonjoran di lantai kamar malah tertawa mendengar omongan putri Kyai tersebut.

“Ish! Nanti tuh, aku bakal diketemuin sama abcd. Ujung-ujungnya taaruf lagi. Kalau aku nolak lagi, gimana? Kecewa pasti, risih tahu, Fahimti?”

“I see, lah. Wow Kyai tak pantang menyerah, aku dukung, deh!”

“Ruum!”

“Hehehe! Afwan, Neng Geulis. Senyum, dong, ‘kan mau ketemu pangeran, cie!”

Hasna memukulkan bantal dan guling ke arah gadis yang malah terus menggodanya. Rum berhasil menangkap benda-benda itu dan mulai membalas serangan.

“Udah, udaah!” Hasna tak tahan dengan kelitikan temannya, menyerah. Keduanya merebahkan diri di lantai, menatap langit-langit kamar.

“Neng, hadapi aja. Nyenengin Ajengan pahala, loh. Kali aja ada yang nyangkut.“

“Hmmm! Rum cerewet!”

“Cantik, tapi.“

“Weee!” Hasna menoleh dan menjulurkan lidah.

“Wee, juga!”

*

Novel CALON MANTU KYAI ready stok

Rp 99 000

PEMESANAN
081261934594

CALON MANTU KYAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang