KUCING-KUCINGAN

5.4K 259 5
                                        


Derai tawa terurai di ruangan. Persahabatan yang terjalin sejak keduanya mengenyam pendidikan madrasah diniyah di pesantren Baiturahim menjadikan mereka amat dekat. Rum dan Hasna tak canggung lagi menceritakan rahasia pribadi masing-masing.

Rum mondok di pesantren sejak ibunya bekerja sebagai asisten rumah tangga Kyai, sedang ayahnya telah tiada saat usia belum genap enam tahun. Ketika Ibunya menikah lagi, Rum remaja tetap mondok di sana.

“Neng, apa kamu masih belum bisa ngelupain dosen itu? Hhhh! Itukan dah lama, beliau udah tenang di sisi Allah. Ayolah, move on! Hamasah cari jodoh, yeaa! Rum mengacungkan tangan dengan telapak terkepal, lalu menoleh pada sahabat yang raut cerianya mulai memudar. Seketika ada rasa sesal telah mengungkit masa lalu menyedihkan gadis di samping kanannya.

Hasna pernah bercerita bahwa dulu dia memiliki perasaan khusus pada salah satu dosen di kampusnya. Seiring waktu diketahuilah bahwa lelaki pujaannya itu juga menaruh hati. Bahkan menyatakan cinta dan berniat melamar. Namun, takdir bicara lain, mereka tidak berjodoh. Dosen muda itu meninggal dalam sebuah kecelakaan sebelum melaksanakan niat mengkhitbah Hasna.

Mendengar ucapan Rum yang mengungkit masa lalu, luka itu kembali terbuka. Binar ceria di wajahnya berangsur meredup. Dipilin ujung kerudung untuk membantunya menahan sesuatu rasa yang mulai menyesakkan.

“Beliau pernah bilang mau datang menemui Abi, udah nyiapin cincin juga, Rum. Katanya nikah cepet aja takut aku diambil orang. Aku ....”

Rum tertegun mendengar suara Hasna yang mulai bergetar. “Neng, maaf ....“ ungkap Rum dengan nada perlahan. Meski tak pernah bertemu pria yang dicintai temannya, dia bisa memprediksi bahwa dosen itu pastilah luar biasa.

Hasna tersenyum tipis dan berkata, “ Aku udah ikhlas, Rum. Kami memang tidak berjodoh.” Lepas mengucapkan hal itu, Hasna mengalihkan pandangan bersamaan dengan setitik air yang jatuh dari sudut kelopak matanya.

*

Hasna mematut diri di depan cermin. Hari ini rombongan Kyai Ramdan akan menghadiri tablig akbar di pesantren Darut Taqwa yang terletak dua puluh tiga kilo meter dari pesantren Baiturahim. Setelah memastikan tampilan rapi dan baik, gadis itu keluar menuju parkiran.

“Hadeuh lama banget putri dandannya!”

Rum langsung menarik tangan Hasna saat gadis itu sampai di parkiran. Pada tablig akbar kali ini, pesantren Baiturahim hanya memberangkatkan dua bis saja karena kuota peserta terbatas.

“Deuh, yang mau ketemu calon,” goda Rum di dalam bis. Kontan saja hal itu disambut pelototan dari gadis di sampingnya.

“Awas, jangan macem-macem. Ikuti apa yang aku omongin,” ucap Hasna dengan nada pelan, tetapi penuh tekanan.

“Gak janji, deh!”

Setelah satu jam lebih sepuluh menit perjalanan, jamaah tiba di tempat pesantren Darut Taqwa, kecamatan Balaendah, kabupaten Bandung. Dari gerbang masuk, rombongan wanita langsung diarahkan ke lapangan futsal milik pesantren yang jaraknya 500 meter dari panggung. Area utama sudah penuh sesak oleh jamaah lelaki yang mayoritas memakai sarung dan peci, ciri khas pesantren.

Jamaah yang membludak ini membuat rombongan peserta wanita dari pesantren Baiturrahim kesulitan mencari tempat duduk. Namun, dengan kesigapan panitia akhwat, mereka mendapat tempat juga.

“Kalau tablig sudah beres dan acara makan digelar matikan ponsel dan cari tempat aman,” bisik Hasna pada temannya.

“Lah, terus rombongan siapa yang urus?” tanya Rum dengan mata yang sedikit melebar.

“Kita urus dululah sampai mereka dapat nasi kotak dan istirahat di tempat nyaman sambil menunggu rombongan ikhwan. Terus kita izin sama ustazah Syarifah dan Ustazah Annisa,” terang Hasna perlahan.

Meski enggan, Rum mengangguk juga. Walau dia tahu alasan sikap temannya itu, tetap saja kadang dirasa berlebihan. Dari dulu bukan tak banyak ustaz di berbagai pesantren yang tertarik padanya. Namun, Hasna menolak.

Tak satu pun dari mereka yang mampu membuka pintu hati yang tertutup lama.

Berbeda dengannya, dia sering tak nyambung dengan lelaki. Pria yang disukai tak melirik, sedang yang menyukai, dirinya tak tertarik.

***

Tablig yang digelar ponpes Darut Taqwa dihadiri kurang lebih 3000 peserta dari berbagai pesantren Bandung. Tema yang diangkat kali ini adalah persatuan hakiki umat Islam.

Kyai besar pemilik pesantren Darut Taqwa yang tampil menjadi penceramah tablig. Lelaki yang dikenal sebagai orator ulung ini terlihat berapi-api menyampaikan materi. Sepak terjang dalam dunia dakwah lebih dari tiga puluh tahun telah menempanya menjadi dai paling disegani se-Jawa Barat.

“Umat Islam sedunia itu bersaudara seperti satu tubuh. Bila salah satu dari mereka sakit, maka akan sakit yang lainnya. Tak boleh itu pengkotak-kotakkan menjadi Islam Nusantara, Islam Arab atau Islam lainnya. Yang benar itu Islam yang dibawa Rasulullah Muhammad sallahu alaihi wa salam!”

Semangat Kyai kelahiran Banten ini menggebu-gebu saat menyampaikan materi. Peserta terbawa suasana hingga kerap meneriakkan takbir.

“Ukhuwah Islamiyah tidak mengenal batas negara, bangsa, warna kulit. Tak peduli dia berasal dari negeri hitam sekalipun, selama akidah dan syariahnya Islam, mereka adalah saudara kita, Allahu Akbar!”

“Allahu Akbar!”

Peserta kompak mengacungkan tangan sambil meneriakkan takbir.

“Jangan mau diadu domba. Sungguh menyesatkan tuduhan bahwa pesantren adalah sarang teroris. Itu salah alamat. Sarang teroris itu Israel yang setiap saat membunuh saudara kita kaum muslim Palestina. Pesantren itu tempat kebaikan, penghasil generasi beradab! Allahu Akbar!”

Lepas doa, MC acara membimbing jamaah untuk membubarkan diri dengan tertib. Yang langsung akan pulang di arahkan ke parkiran, sedang yang akan sholat magrib di ponpes dipersilakan menunggu di masjid, aula juga ruang-ruang kelas yang disediakan untuk tamu.

Dengan panduan MC, jamaah membubarkan diri tanpa berdesak-desakan apalagi saling salip. Dipersilakan yang paling depan keluar dulu, sementara yang di belakangnya sabar menunggu. Ahlak mulia tidak menjadikan mereka kaum emosional yang hanya mengandalkan otot tanpa otak. Sampah-sampah pun bersama-sama disimpan pada tempat yang disediakan. Hal itu sangat meringankan beban pemilik hajat.

Para Ustazah pesantren Baiturahim membimbing santriwati untuk masuk ke ruang kelas yang diperuntukkan tamu undangan. Di sana sudah disediakan nasi kotak untuk peserta tablig.

Setelah memastikan rombongan akhwat dari pesantrennya berada di tempat nyaman, Hasna meminta izin pada ustazah Syarifah dan ustazah Annisa untuk pergi sebentar. Tak kurang dari lima menit dia menarik tangan Rumaisa, mengantri di antara jamaah yang tengah membubarkan diri.

“Kita mau ke mana?” tanya Rum.

Rum yang membawa dua nasi kotak berusaha menyejajarkan langkah dengan gadis yang berjalan cepat-cepat.

“Udah diem!” jawab Hasna singkat

*

Novel CALON MANTU KYAI ready stok!

Rp 99 000

PEMESANAN
081261934594

CALON MANTU KYAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang