PERTEMUAN

3.7K 117 1
                                    

Lepas membimbing tahfiz pukul sepuluh, Hasna mendatangi meja Rum. “Ayolah Rum anter ke kantor desa,” rayu Hasna pada teman yang mulai membuka berkas-berkas di meja kerjanya.

“Neng, Hapunten, aku dikejar tugas. Mudiroh minta hari ini dibereskan. Tadi aja jadwal ngajarku digantikan. Sendiri ajalah. Gak ada razia orang jelek ini.”

Hasna mencubit pinggang temannya. Duduk di depan Rum dan memasang tampang bete.

“Minta anter Ust Irvan aja!” goda Rum, lalu tertawa perlahan.

“Ck!”

Kesal dengan ulah Rum, Hasna mengambil pulpen yang sedang dipakainya.

“Balikin, eh!”

“Gak!”

“Neng Manjah, besok aku bisa nganterin, kalau sekarang gak bisa, Sayangku.”

Melihat keseriusan wajah Rum, Hasna menyerah juga. Karena dikejar butuh, gadis itu terpaksa berangkat dengan mengayuh sepeda lamanya.

Udara sejuk desa Suka Makmur membelai wajah putih gadis itu. Kerudungnya melambai-lambai diterpa kencangnya angin. Beberapa anak kecil mencoba mengejar kendaraan roda duanya. Namun, tulang kecil mereka belum mampu mengimbangi kecepatan sepeda.

Di pertengahan jalan menuju kantor desa, Hasna harus hati-hati mengayuh sepeda. Terdapat jalan yang aspalnya sudah agak rusak di sana sini. Genangan air sisi hujan semalam masih terlihat di beberapa sudut. Meski kadang terhuyung, dia mengucap hamdalah karena tak sampai jatuh.

Lepas dua puluh menit bersepeda, Hasna tiba di kantor desa. Tempat yang baru saja di renovasi ini terlihat lebih rapi. Cat biru langit kini memoles tembok yang sebelumnya kusam.

Gadis itu memarkirkan sepeda kesayangan di pelataran kantor yang berjarak sepuluh meter dari gerbang utama. Setelah membenahi kerudung yang agak berantakan, dia melangkah menuju pintu masuk yang juga masih tampak baru catnya.

Langkahnya tertahan oleh sekelompok pria dengan tampilan perlente yang lebih dulu memasuki bangunan. Setelah orang-orang itu tak terlihat, dia meneruskan perjalanan yang sempat tertunda.

Hasna di layani oleh seorang petugas lelaki yang mejanya agak jauh dari pintu. Diterpa penasaran, perempuan muda itu bertanya pada lelaki yang tengah konsentrasi memainkan jarinya di atas keyboard. “Mereka siapa dan dari mana, Pak?”

Tanpa menoleh, pria berkumis tipis itu menjawab. “Pengusaha dari Jakarta, Neng.”

Mendengar penjelasan petugas kelurahan, mulut Hasna membentuk huruf O, lalu kembali memperhatikan pekerjaan staf berkumis tipis tersebut.

“Tunggu sebentar, ya, Neng. Mau dicek dulu!” terang lelaki itu.

“Sumuhun, Pak!” sahut Hasna.

Sambil menunggu, Hasna memperhatikan aktivitas para petugas yang sedang mengurus administrasi desa. Hentakan jari di atas keyboard tampak hal yang paling sering dilihatnya. Kadang mereka berdiri, mengambil kertas di dalam lemari-lemari yang tertutup maupun terbuka. Ada juga yang pergi ke ruangan sebelahnya.

Sesekali Hasna pun bertegur sapa dengan staf lain yang ada dalam satu ruangan atau orang yang baru saja datang. Kedudukannya sebagai putri Kyai besar menjadikan siapapun menempatkannya dalam status terhormat. Hanya saja, sikap ramah dan supel Hasna membuat orang-orang tak canggung juga.

Setelah menunggu tiga puluh menit, staf administrasi itu menyodorkan kertas yang diurusnya. Hasna memasukkan benda itu ke dalam map. Ia pamit pada bapak yamg mengurusi berkasnya dan bersiap meninggalkan ruangan.

Belum sempat kaki melangkah, sekelompok pria yang tadi dilihatnya keluar dari ruang khusus tamu. Tak enak beriringan dengan mereka, Hasna minggir untuk memberi jalan pada orang-orang itu

Hasna sedikit canggung ketika para lelaki itu melewatinya. Satu per satu dari mereka berjalan tanpa menengok kanan kiri. Dia pun berusaha untuk tak memperhatikan kelompok orang itu hingga tanpa sengaja matanya beradu pandang dengan salah satunya. Hanya sekilas, tetapi mampu membuatnya merona malu.

Lepas orang-orang itu keluar ruangan, Hasna buru-buru berjalan menuju pelataran. Tanpa berlama-lama diambil sepeda. Sebelum mengayuh benda kesayangannya, dia masih menangkap pria yang tadi beradu pandang kembali menatapnya, kali ini lebih dalam.

Buru-buru dialihkan pandangan dan berlalu meninggalkan kantor desa. Sepanjang perjalanan Hasna tak henti memikirkan pria-pria itu khususnya yang tadi saling tatap. Banyak pertanyaan bergelayut di pikiran terkait keberadaan para pengusaha di desanya.

Kondisi jalanan yang tak bersahabat membuat Hasna sesekali terhuyung seperti saat berangkat. Untungnya masih bisa menguasai keadaan. Gadis itu mempercepat kayuhan saat menyadari di belakangnya ada mobil sport yang tadi terparkir di pelataran kantor desa.

Karena terlalu tergesa-gesa, gadis berhijab biru itu tak fokus pada apa yang menghalangi. Roda depan sepedanya masuk ke lubang yang cukup lebar. Dia terpekik tatkala tak mampu menguasai laju sepeda yang meliuk-liuk ke sisi jalan.

“Astagfirullah! Arrgh!” teriak Hasna.

Sepeda terjerambab ke pinggiran jalan yang dipenuhi lumpur. Gadis itu ikut terjatuh hingga hampir wajahnya mencium genangan tanah cair yang tak menyenangkan. Hasna meringis memegangi pinggang juga kaki yang terasa panas dan nyeri. Matanya sedikit membulat mendapati sebagian besar gamis tampak ternoda air bercampur tanah. Begitu pula ujung kerudungnya terlihat kotor.

Menyadari posisi tubuhnya seperti orang merangkak, gadis itu sekuat tenaga berupaya bangkit sambil mencoba meraih sepeda. Dia sangat berharap tak ada seorang pun melihat kejadian memalukan ini.

Belum sempat bangun, terdengar suara berat dari arah belakang. Hal itu membuat jantungnya berdetak dua kali lipat.

“Bagaimana keadaan Anda, Nona?” tanya seseorang yang pikirnya telah melihat kejadian memalukan ini

Hasna harus mengubur harapan tak ingin dilihat orang dalam-dalam saat suara itu terdengar. Satu meter di belakangnya ternyata telah berdiri seorang pria yang sedang memperhatikan lekat.

“Eh, oh, saya gapapa!” jawab Hasna dengan wajah memerah. Rasanya saat ini ingin masuk ke dalam bumi dan tak kembali.

Andreas tersenyum tipis melihat salah tingkah gadis di depannya. Entah mengapa dia begitu menikmati keadaan ini dan tak mau beranjak dari posisi.

“Bisa bangun?” tanya pria itu lagi.

Melihat gadis di depannya kepayahan, Andreas menghampiri. Namun urung saat mendapati tolakan halus dari tangan lentik itu.

“Bisa, Iya. Saya gakpapa, kok!”

Hasna buru-buru bangkit dan meraih sepeda. Meski ada nyeri di kaki dia tak peduli. Yang melintas di benak adalah menghilang dari pandangan pria di depannya. Malu begitu mendominasi hati saat ini. Setelah mengucapkan terima kasih gadis itu berlalu meninggalkan lelaki yang menatap kepergiannya nyaris tanpa kedipan.

Setelah Hasna menghilang dari pandangan, pria itu kembali masuk ke dalam mobil. Dua asisten yang memperhatikan kejadian ini saling pandang. Salah satunya menjengkitkan bahu.

Dalam mobil, Andreas tersenyum tipis mengingat suatu fakta yang baru dalam hidupnya. Ada seorang gadis tanpa polesan, tubuhnya tertutup rapi, tetapi memiliki pesona mendesirkan hati. Jauh sekali dari wanita-wanita megapolitan, cantik, glamor dan sexy.

Dalam penasaran tingkat tinggi, Andreas memberi perintah. “Cari tahu siapa gadis itu!”

*

Novel CALON MANTU KYAI ready stok

Rp 99 000

081261934594

'

Maaf, Cerita ini dilanjutkan secara online di aplikasi KBM APP (download di playstore)

dan

Secara ofline di novel cetak

CALON MANTU KYAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang