AFWAN, AKHI!

5K 285 22
                                    


“Alhamdulillah, Aa Hafiz mau pulang hari ini? Yeaa!” seru Hasna sambil mengayunkan telapak tangan ke atas saat pagi-pagi sebelum mengajar. Hal itu karena ia mendengar kabar bahwa kakak ketiganya akan kembali dari negeri Jiran.

Umi geleng-geleng kepala melihat tingkah putri keempatnya di ruang keluarga. Dua puluh satu tahun sudah wanita itu membesarkan tiga anak suaminya. Meski tak lahir dari rahim sendiri, rasa cinta, Husain, Hafiz dan Hasna amatlah besar. Senyum, tawa bahkan tangis mereka adalah bagian hidupnya. Sementara putra pertama Kyai telah berpulang ke rahmatullah di usianya yang ke lima tahun.

Begitupun ketiga anak tirinya. Meski Husain sudah berkeluarga, tetap saja kadang masih suka bermanja pada dirinya. Apalagi Hafiz dan Hasna, hendak pergi sebentar saja sudah ditanya kapan mau pulangnya.

Kerinduan Hasna tak bisa dilukiskan sebab lima bulan tak bersua. Pemuda berusia empat tahun di atasnya itu baru saja menyelesaikan sidang tesisnya. Tinggal menunggu wisuda maka tuntas sudah perjalanannya di Kualalumpur, Malaysia. Pekerjaan sebagai asisten dosen di tempatnya menuntut ilmu pun sudah diakhiri kontraknya. Kini, pemuda itu akan mendedikasikan hidupnya untuk memajukan pesantren Baiturahim.

Tak sampai sepuluh menit dari datangnya informasi kepulangan Hafiz, Hasna langsung pergi mencari Rum di ruang guru. Karena belum datang, dia berinisiatif menemuinya di asrama para ustazah. Baru saja akan keluar dari ruang guru gadis yang di carinya sudah berdiri sehasta di depan pintu ruangan.

“Rum, aku punya kabar gembira. Mau tahu, apa mau tahu banget?” canda Hasna pada teman karibnya.

Hasna menarik tangannya untuk menjauh dua puluh meter dari kantor. Tak sabar rasanya ingin menggoda temannya yang terang-terangan suka pada Hafiz.

“Ck! Paling juga ada yang ngelamar kamu lagi!” jawabnya enteng sambil berlalu meninggalkan gadis yang masih belum puas menggodanya. Hasna tak mau membuang kesempatan, disejajari langkah gadis itu.

“Yayank pulang dari Malay,“ bisik Hasna jail. Seketika langkah Rum terhenti mendengar pria yang dirindukan akan kembali. Jantung ikut menciptakan getaran berbeda. Hampir saja map di tangannya meluncur ke lantai.

Hasna mengerjap-ngerjapkan mata tepat di depan wajah yang tengah merona. Rum menepis wajah jail itu saat tersadar dirinya tengah dikerjai.

“Ciee, yang berbunga-bunga!” goda Hasna lagi.

“Ck! Gaje!”

Rum mempercepat langkah untuk menghindari ledekan yang makin memanaskan wajah.

“Tunggu, dong, ah! Aku belum beres!” seru Hasna. Karena belum puas menggoda, ia pun melipatgandakan langkah agar bisa menyejajari temannya.

Setelah kembali berada di depan pintu kantor, Rum berhenti. Diatur napas yang sedikit tersengal. Setelah reda, dia mulai senyum-senyum membayangkan akan bertemu Hafiz, pria dingin yang tak pernah menganggapnya ada.

Gadis itu menghela napas panjang mengingat cintanya bertepuk sebelah tangan. Kadang kesal setengah mati kenapa harus meletakkan hati pada lelaki yang tak seharusnya dinanti.

“Hayo, senyum-senyum sendiri, “ bisik Hasna tiba-tiba sebelum Rum duduk di hadapan meja kerjanya.

“Astagfirullah, Hasna!”

Rum menekan gigi atas dan bahwa agar suaranya tak tak terdengar kencang.

Hasna tersenyum jail melihat Rum hampir saja melompat saking kagetnya.

"Deuuh,” bisik gadis jail itu lagi.

“Udah, ah. Ngajar, ngajar dah bel tuh!”

Andai bel tak berbunyi sudah dipastikan Rum akan terus jadi bulan-bulanan temannya.

Hasna memasuki kelas untuk menjalankan tugas rutin berbagi ilmu, mendidik generasi agar beriman, bertaqwa dan berilmu tinggi.

“Mengimani keberadaan Allah berbeda dengan mengimani zat-Nya. Adanya langit dan bumi menjadikan akal langsung mampu memahami keberadaan Pencipta langit dan bumi Dialah Allah. Sementara untuk mengetahui Zat Allah tak bisa dipahami akal langsung, tetapi harus menukil dari sumber terpercaya yaitu Al Qur’an. Tak boleh akal menghayalkan bagaimana bentuk Zat Allah. Cukup menerima saja apa yang Al Qur’an jelaskan.”

Hasna memaparkan dengan lugas tentang bagaimana mengimani Zat Allah. Santriwati serius mendengarkan. Beberapa dari mereka kadang bertanya. Ada juga yang diam saja.

“Mengimani Allah sepaket dengan mengimani sifat-Nya. Tidak sempurna keimanan seseorang sampai dia meyakini bahwa Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Melihat, Maha Berkuasa, Maha Menolong dan seluruh sifat-sifat yang tercantum dalam asmaul husna.”

Lepas istirahat mengajar gadis itu bergegas menuju rumah saat mendengar dari mudir bahwa Hafiz telah datang. Kerinduan yang besar membuatnya tak sabar ingin segera memeluk pemuda itu.

Sesampainya di rumah, langsung saja mengucap salam dan menerobos ke dalam ruangan.

“Aa!”

Mata dan mulut Hasna terbuka lebar saat melihat yang duduk di ruang depan bukanlah kakaknya. Namun, seorang lelaki yang berperawakan cukup tegap.

“Afwan Akhi, afwan!”

*

Sambil menunduk Hasna menangkupkan kedua tangan di depan dada. Pria bermata coklat itu bangkit, tersenyum geli melihat tingkah lucu gadis di depannya. Dia tak menyangka ada ukhty yang bersikap seperti itu.

Belum sempat pria itu bicara, seseorang yang dicari masuk ke ruang yang di dinding kanannya tergantung kaligrafi ukuran besar.

“Neng!” panggil Hafiz.

“Aa!” seru Hasna.

Mendengar suara khas itu, kontan Hasna menghambur pada pria yang sangat dirindukan. Gadis itu sampai lupa bahwa di depannya ada lelaki yang hampir saja tertawa melihat tingkah konyolnya.

Tak lama, Hafiz memperkenalkan kedua orang yang baru bertemu itu. Dia menyampaikan bahwa Irvan adalah ahli IT yang akan mengajar asatiz di pesantren ini selama tiga bulan. Pria itu juga sedang merintis usaha sendiri di bidang tersebut setelah resign dari perusahaan besar tempatnya mencari rezeki.

Dalam perbincangan singkat tiga orang tersebut, sesekali Irvan mencuri pandang pada gadis di depannya. Hafiz yang kerap menangkap hal itu hanya tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. Dia sadar bahwa Hasna laksana bunga yang pesonanya selalu saja menarik kumbang untuk memilikinya.

Untuk menjaga pandangan pria di depannya, Hafiz meminta adiknya pergi meninggalkan mereka. Dengan begitu obrolan menjadi lebih serius dan fokus.

Hasna undur diri dari hadapan dua pria tersebut dan kembali ke pesantren putri. Gadis itu senyum-senyum sendiri di sepanjang perjalanan menuju kantor. Kalau saja tidak ada sapaan santriwati yang berpapasan sudah dipastikan senyumnya akan kebablasan

Hasna sudah terkesan di pertemuan pertama dengan Irvan. Pria itu tak hanya tampan, tetapi berilmu tinggi pikirnya. Meski hanya ngobrol sesaat, dia bisa menerka Irvan itu cerdas.

Lepas menuntaskan tugas mengajarnya hari ini, Hasna langsung mencari Rum. Keinginan menggoda gadis yang jatuh cinta pada kakaknya itu makin besar.

Setelah mengetuk tiga kali, pintu kamar Rum terbuka sepertiganya. Tanpa menunggu dipersilakan, Hasna masuk dan langsung duduk di tepi kasur. Ia memegang tangan teman yang hendak mengambil handuk.

“Hay, Rum! Pengen tahu gak gimana kabar Aa sekarang?” goda gadis berwajah oval itu.

“Lepas, ih. Aku mau mandi, gerah!” tangkis Rum.

Genggaman Hasna yang terlalu kuat membuat Rum menyerah dan duduk di sebelah kanan temannya. Detik kemudian, ia berkata, “Oke, ceritain gimana Aa sekarang?” Kesal digoda terus, mending ditantang saja pikirnya.

“Mending ke rumah, yuk. Liat langsung!” candanya sambil mengedipkan mata.

“Neeng!”

“Ampuun!”

*

Novel CALON MANTU KYAI ready stok!

Rp 99 000

PEMESANAN
081261934594

CALON MANTU KYAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang