2 - Kita

5.3K 455 29
                                    

Ini seperti buah simalakama.

Maju kena, mundur kena.

Kalau aku kembali ke aula, aku akan mendapati pengantin bahagia itu di depan sana. Kalau aku ke taman, lelaki aneh itu mungkin masih disana. Paling tidak berpapasan dengannya. Aku saja menghindari menghirup udara yang sama dengannya. Bisa-bisa aku keracunan.

Jadi langkahku berhenti di lobi utama yang lengang, duduk di salah satu sofa tunggalnya yang nyaman dan empuk, lantas pura-pura sibuk membaca majalah. Itu majalah fashion terbaru, lumayan juga isinya, tidak buruk. Bisa menjadi inspirasiku besok kalau sedang keluar dengan teman.

Baru-baru ini aku menyukai gaya ala gadis Korea yang lucu dan imut-imut, padahal sebelumnya aku menyukai gaya yang riasannya agak berat karena gandrung sekali dengan Tasya Farasya. Entahlah, seleraku berubah-ubah begitu.

Sekian lama memandangi majalah itu, akhirnya aku merasa bosan. Aku benar-benar tidak ingin kembali ke sana. Jadi dengan nekad, aku memesan taksi dan pulang ke rumah tanpa memberi tau orang tuaku.

Begitu sampai, sudah membersihkan diri dan mengenakan piyama, aku baru membuka ponsel untuk menghubungi orang tuaku. Pada saat itu ada banyak sekali panggilan, juga pesan, berisi nada panik karena tidak mendapati aku ada dimana pun. Mama berpikir aku diculik oleh oom-oom mesum dan dibawa ke hotel. Oh ya ampun, yang benar saja, memangnya aku ini selera oom-oom?

'Lyra, kamu dimana?'

'Lyra, angkat teleponnya!'

'Lyra, kamu diculik?!!!'

Dan, Lyra begini, Lyra begitu. Panik sekali, seperti aku tidak bisa menjaga diri. Padahal Mingyu sudah mengajariku beberapa teknik kuncian untuk pertahanan diri. Kan lumayan.

Pesan-pesan dari Ayah dan Mama juga datang beruntun. Dengan cepat, aku mengetik balasan,

'Aku meriang, jadi aku pulang duluan.'

Lalu ada pesan lain, darinya. Dia yang saat ini sudah jadi suami orang dan sedang jadi orang paling bahagia di pelaminan sana.

'Kamu dimana? Kakak mencari sejak tadi.'

'Kenapa tidak diangkat panggilan kakak?'

'Lyra, kakak khawatir.'

'Lyra, kakak minta maaf.'

Aku bingung hendak membalasnya atau tidak. Dia masih peduli padaku, setidaknya itu yang kupikirkan begitu membaca pesannya.

Tapi peduli yang seperti apa? Peduli karena rasa bersalah? Mungkin.

Mungkin juga ia mencariku karena melihat orang tuaku panik mencari putri tunggal kesayangan mereka yang banyak maunya ini.

Tapi akhirnya kuputuskan untuk hanya mengirimi emoticon 👍 pada bagian ia meminta maaf. Aku tidak menggubris pesan sebelum-sebelumnya.

Kubuka lagi pesan lain, kali ini dari nomor tidak dikenal, yang isinya absurd sekali.

'Gadis kecil, kamu dimana? Jangan bilang kalau kamu betulan ke dukun dan mengirim santet?!!!!'

Orang ini, bagaimana caranya ia mendapatkan nomorku?

Aku lantas mengirimnya emoticon 👍 lagi dan menutup ponsel. Ketika aku memejamkan mata untuk tidur, nyanyian itu terngiang lagi, dengan suara berat yang sama sekali tidak cocok.

Aku meriang, aku meriang, merindukan kasih sayang, ,

Sial, suaranya sumbang. Tapi malah terngiang!

Für LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang