Sejak kapan aku menangis?
Aku juga tidak tau. Aku menyusut air mataku dengan punggung tangan dan membalas tatapan Mingyu. "Aku mimpi jadi Ratu, tapi tau-tau saja Rajanya pergi meninggalkanku," jelasku datar. "Bukankah mengenaskan?"
Bukannya simpati, Mingyu malah mendengus. Caraku bercerita memang agak tengil untuknya. Tapi aku hanya tidak ingin orang lain tau apa yang sedang kurasakan.
Aku tidak mau orang lain tau aku sedih, apalagi sedihnya gara-gara Saverio.
Aku lantas meraih bungkusan di tangan Mingyu dan membukanya, seporsi nasi padang yang sambal hijaunya banyak!
Senyumku langsung mengembang cerah.
Mingyu tau benar apa yang kubutuhkan. Perasaanku kacau balau sejak bangun tidur. Mimpi itu menamparku pada realita menyakitkan, bahwa kenyataannya, Saverio memang meninggalkanku saat aku menaruh kepercayaan dan rasa sayang yang begitu besar, sampai aku tersesat oleh ketakutan dan kebingungan.
Aku bahkan tidak ingin orang lain tau soal kegundahanku, karena ini memalukan.
"Setelah ini kita langsung pulang," tukas Mingyu, menyuap nasi padangnya dengan rakus. Dilihat dari wajahnya yang masih menguarkan hawa bantal, sepertinya ia juga bangun siang. Dan akibat dari bangun siang adalah, kami melewatkan sarapan.
Aku mengangguk sekenanya. Kami selesai makan dengan cepat dan aku hanya menaruh koper besarku di sudut kamar dekat lemari tanpa membereskannya. Bahkan kami hanya membasuh wajah sebelum akhirnya pulang ke rumah.
Dan mendapati Bunda Mingyu ada di rumahku dengan wajah cemas.
"Darimana saja kalian?!" Mama melotot ke arah kami dengan tangan berkacak pinggang. Aku melirik Mingyu berharap ia mampu menjawab sesuatu, tapi cowok itu malah melirikku.
Aku menelan ludah. "Jalan-jalan shubuh."
"Jalan-jalan shubuh," desis Mama kesal. "Mobil tidak ada, anak tidak ada, tidak bisa ditelepon, siapa yang tidak panik?"
Oh. Jadi ponsel kami tidak ada yang aktif? "Mam, kan pakai mobil Mingyu."
"Oke. Mobil Bundanya Mingyu," ralat Mama kesal.
"Iya, tapi kan tidak pakai mobil Mama."
"Kamu pikir Mama khawatir soal apa? Mama khawatir kamu hilang." Mama akhirnya menghela napas panjang dan raut wajahnya lebih terkontrol. "Dan kamu, Mingyu, bisa-bisanya kamu pergi pagi-pagi buta tanpa ijin, membawa anak gadis orang pula."
Mingyu gelagapan, Bundanya hanya mengamati bagaimana anak bungsunya diomeli ibu tetangga. Pada akhirnya, Mingyu menunduk. "Maaf, Mam."
"Jangan diulangi," hardik Mama. "Kalau kamu kelayapan seperti ini lagi, Mama tidak akan bolehkan kamu tinggal di kost!"
Aku meringis, ancaman Mama biasanya tidak main-main.
Tapi aku bingung. Kenapa Mama harus khawatir?
Bukankah Mama dan Ayah sering sibuk dan sering membiarkanku di rumah? Lalu kenapa tiba-tiba saja keberadaanku menjadi dikhawatirkan?
Aku akhirnya menatap Bunda Mingyu dan tersenyum lemah. "Maaf, Bunda."
"Jangan diulangi lagi, kamu anak perempuan, Lyra. Bahaya keluar tanpa pamit seperti itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Für L
FanfictionLoving you 'till hurt. Mencintai sampai sakit. ** Sebuah elegi. Bahwa kadangkala, mencintai haruslah melepaskan. ** "Bisakah kamu menungguku sampai aku selesai? Tolong jangan pergi. Karena meski kamu di belahan lain dunia, aku akan tetap mencarimu...