Terus terang, aku tidak tau apa yang harus kulakukan saat Saverio kembali datang padaku.
Memelukku erat sebagaimana dulu aku memeluk erat janjinya.
Sebagian dari diriku menjerit kasihan melihatnya tersiksa, merasa bahwa tidak seharusnya Saverio semenderita ini. Sebagian diriku itu menjerit ingin merengkuh Saverio. Namun sebagian diriku yang lain menjerit menolak kehadirannya. Tidak seharusnya kami bertemu lagi jika situasi masih sekacau ini. Karena aku yakin, kami masih tidak baik-baik saja.
Jelas tidak ada yang baik-baik saja dengan pertemuan ini.
Lagipula, aku berniat memiliki hubungan serius dengan Markus, kalau memang ada perkembangan. Yang jelas, aku tidak menutup diri dari perkembangan semacam itu. Namun ketika aku baru mulai dengan pikiran baru itu, Saverio kembali padaku.
Dan aku merasakan pertahananku goyah, lagi dan lagi.
Detik selanjutnya saat kami dikurung hening, aku tertawa sumbang. "Jangan bercanda," ujarku sarkas. "Kita sudah selesai, benar-benar selesai."
Lelaki tinggi itu tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menatapku dengan gurat kosong dan raut frustasi yang menyedihkan. Tampak mengabaikan ucapanku.
Dan dengan nada yang terdengar dingin, aku melanjutkan, "Lagipula Kakak sendiri yang memutuskan untuk berhenti. Jadi tidak seharusnya Kakak ada disini."
Bukan berarti dulu aku terima saat ia mendekatiku, tapi dulu faktanya memang begitu. Dialah yang akhirnya memutuskan untuk berhenti saat aku tidak tau lagi bagaimana harus menghadapinya.
"Maafkan kakak," katanya lirih.
Sejenak aku menatap sekitar, lebih karena ingin menghindari tatapan Saverio dan binar matanya yang redup, berkata, "Bisakah Kakak berhenti meminta maaf? Aku mulai muak mendengarnya."
Saverio diam tidak menyahut.
Beberapa saat kemudian, aku membalas tatapannya dengan menantang, merasa marah karena lelaki ini seperti mempermainkanku. Ayolah! Setelah semua yang dia lakukan, setelah menghancurkan kepercayaanku dengan kabar pernikahannya dan Angela, setelah memohonku untuk tidak pergi meski pada akhirnya dia yang pergi, dan sekarang dia datang kembali.
Dia hanya membalasku dengan sendu dan ketika ia hendak meraihku kembali, langkah limbungnya mengarah padaku, tubuhnya kembali merengkuhku erat sampai aku merasa sesak.
Detik selanjutnya, aku mendengar isak tangis menyedihkan di bahuku. "Maafkan Kakak, Kakak tidak bisa melakukannya. Kakak tidak bisa-- kalau kita jauh." Dia meracau putus asa.
Aku tersenyum getir. "Dan aku tidak bisa kalau kita dekat."
Lagi, aku mendapatinya menangis di bahuku.
Saverio Abraham adalah lelaki yang kukira tak akan pernah menangis. Sepanjang yang aku tau, dia adalah sosok yang tenang dan pendiam, meski kadang kemarahannya tidak bisa kumengerti.
Dari aku kecil, Saverio selalu bisa menenangkanku. Ia selalu tersenyum saat aku mengomel tidak jelas karena mengalami hari yang buruk. Kadang ia malah tertawa gemas kalau aku sedang sensi luar biasa. Di mataku, dia adalah sosok yang sempurna yang menganggap bahwa meski dunia luar berbahaya, tapi selama kita bisa menguasai diri dengan baik, maka kita akan baik-baik saja.
Karena itulah aku mengandalkannya untuk banyak hal. Saverio lah yang kuandalkan saat kedua orang tuaku terlalu sibuk dengan pekerjaan dan kehidupan sosial mereka di luar sana.
Tapi sejak Saverio menikah, aku baru menyadari bahwa ia serapuh ini. Aku yang tidak pernah melihatnya menangis, justru melihat bahwa sudah dua kali Saverio menangis di bahuku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Für L
FanfictionLoving you 'till hurt. Mencintai sampai sakit. ** Sebuah elegi. Bahwa kadangkala, mencintai haruslah melepaskan. ** "Bisakah kamu menungguku sampai aku selesai? Tolong jangan pergi. Karena meski kamu di belahan lain dunia, aku akan tetap mencarimu...