10 - Unexpected Meet

2.9K 345 14
                                    

Pada akhirnya Saverio menyerah.

Baiklah, aku tidak apa.

'Seharusnya' aku tidak apa-apa.

Aku 'hanya' ditinggalkan untuk kedua kalinya oleh orang yang sama. Seharusnya kejadian kedua ini menjadi sesuatu yang bagus dan membuatku merasa lebih baik.

Toh aku sudah mengalaminya pada kali pertama dalam rentang waktu yang tidak jauh. Rasa sakit karena Saverio menyerah akan membuatku kebas.

Iya, begitu.

Pagi di pelabuhan itu terasa aneh sekali, seperti mimpi yang aku tidak tau tentang apa dalam episode hidupku, namun sangat menggangguku ketika aku sudah bangun. Sebuah mimpi yang sebenarnya bukan mimpi buruk, tapi amat membuat gusar.

Sejak pagi itu, hari-hariku tidak pernah lagi diganggu oleh Saverio.

Hari ketika aku akhirnya harus berangkat untuk menyongsong waktu menjadi mahasiswa.

Hari berat ketika aku menjadi mahasiswa baru.

Hari ketika aku berada sendiri di kamar kostku dekat kampus.

Hari ketika aku mengerjakan tugas kuliah di kafe terdekat.

Hari ketika aku harus berangkat lagi ke kampus, menjadi mahasiswa, sekaligus anak kost.

Di semua hari-hari itu, Saverio tidak pernah lagi mendatangiku. Atau pun terlihat olehku.

Saverio seolah menghilang.

Tapi... memang seharusnya begitu. Karena untuk itulah aku bahkan merahasiakan alamat kostku dari orang tuaku sendiri.

Dan sekarang, 6 bulan kemudian.

6 bulan berlalu sejak pagi di pelabuhan itu. Sudah cukup lama, dan entah kenapa pagi itu masih terasa gamang ketika aku mengingatnya.

Jadi pihak yang ditinggalkan selalu terasa menyakitkan dibanding yang meninggalkan.

Setelah pagi di pelabuhan itu, dia, Saverio, sepertinya memang bertekad mengakhiri semuanya. Seolah seperti itu. Kami tidak pernah saling bertukar kabar. Sejak ia menikah memang kami tidak pernah bertukar kabar. Hanya saja, waktu itu ia memang selalu mengirimiku pesan.

Dan sekarang, sudah 6 bulan ia tidak pernah mengirim pesan. Apalagi telepon.

Benar-benar menghilang.

Aku hanya merasa... sedikit hampa.

Sudah 6 bulan berlalu, dan aku masih belum bisa melupakannya, melupakan masa lalu kami.

Tidak peduli meski kehidupanku sebagai mahasiswa Tata Boga menguras waktu dan tenaga karena kami memiliki banyak sekali tugas praktik. Belum lagi kelas dan tugas esai yang harus kukerjakan, seharusnya itu membuatku merasa lebih baik.

Atau mungkin, ada satu hal lagi yang belum kulakukan agar aku bisa melupakan pagi di pelabuhan itu. Agar hidupku terasa lebih baik.

Sepertinya aku butuh kencan buta untuk melabuhkan hatiku yang selama ini melanglang buana tanpa tujuan.

"Jangan melamun, nanti jodohnya jauh." Kina menepuk bahuku, tertawa sendiri oleh gurauannya, dan duduk di sebelahku di bangku kantin fakultas.

Kina adalah teman karib yang kutemukan waktu kami jadi mahasiswa baru. Lebih tepatnya, kami saling menemukan.

Tentunya setelah melalui proses seleksi alam. Yang tadinya kupikir cuma senasib sepenanggungan waktu ospek, ternyata pertemanan kami malah berlanjut malah berlanjut sampai sekarang.

"Tidak ada hubungannya," balasku, sedikit terkekeh sembari menutup buku.

"Ada. Coba bayangkan, calon jodohmu bisa jadi barusan lewat, ingin menghampiri, tapi tidak jadi karena kamu melamun layaknya yang tidak punya harapan. Laki-laki mana mau dengan gadis seperti itu."

Für LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang