Aku sampai rumah ketika malam sudah larut. Kami berenam sedang puas-puasnya menghabiskan waktu bersama karena Vernon dan Xavier akan lanjut kuliah di Singapura. Sementara Viona di Jepang karena orang tuanya yang Kedubes bekerja disana. Sedangkan Zana akan ke Bandung. Lalu di Jakarta, tinggal aku dan Mingyu.
"Besok tidak usah menjemput. Aku mau tidur sampai siang," kataku seraya melepas helmet dan menyerahkannya pada Mingyu.
Cowok itu mendengus. "Siapa juga yang mau menjemput."
Aku berusaha tabah karena hari ini Mingyu bersedia menjadi supirku seharian. "Ya sudah sana pulang," usirku sehalus mungkin yang membuatnya mengetuk kepalaku kesal. Sekejap kemudian, motor matic putihnya sudah melesat pergi.
Aku beranjak ke rumahku, tepat saat pagar di belakangku terbuka, pagar di seberang rumahku.
"Lyra."
Jantungku mencelos. Itu suaranya. Aku enggan berbalik, tapi bahuku sudah diraih sampai kami berdiri berhadapan. Untuk sesaat aku terpaku pada netra cokelat muda di hadapanku, yang menatapku sendu. Rambut cokelat gelapnya sedikit berantakan oleh angin malam dan tanganku hampir terulur untuk merapikannya. Hanya saja, itu terasa salah dan aku menahan tanganku di sisi tubuh, mengepal.
Tidak, aku tidak boleh lagi merapikan riap rambutnya dengan tanganku.
"Sudah lulus ya," ia mengawali percakapan, aku mengangguk kaku. "Mau lanjut kemana?"
"UNJ."
"Ambil jurusan apa?"
"Tata Boga."
Ia langsung tersenyum lebar, senyum yang kurindukan. Matanya menyipit bak bulan sabit. Dan binar matanya,, seperti segala hal baik-baik saja. "Lain kali masakkan lagi sesuatu untuk kakak, bagaimana?"
Tenggorokanku tercekat karena permintaannya yang sederhana itu terasa berat kali ini. Aku mengendikkan bahu dengan lemah. "Tidak janji."
Ia lantas memberiku paper bag yang isinya lumayan berat. "Sampaikan terima kasih kakak untuk Mama, bolunya selalu yang terbaik."
Demikian juga kakak, sudut hatiku seperti mendengar suaranya. Kadang aku masih terngiang semua kenangan itu, saat berpikir bahwa lelaki di hadapanku ini adalah yang terbaik. Tapi aku tau itu hanya imajinasiku, yang bercampur dengan harapan masa lalu padahal saat ini waktu terus berputar.
Aku menerimanya dan berlalu ke dalam, tanpa kata meningalkannya di depan pagar. Pertahananku hampir runtuh ketika menatap netra cokelat muda itu. Meski aku tidak tau pertahanan macam apa yang sedang kubangun. Mungkin semacam pertahanan 'Dilarang jatuh cinta kepada suami orang!'
Oh, sial. Itu terdengar memalukan sekali. Dan mengenaskan.
Tapu sebelum memasuki pintu rumah, sempat-sempatnya aku menoleh ke belakang, mendapati dia masih disana, tersenyum lembut kepadaku di bawah pijaran lampu jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Für L
FanfictionLoving you 'till hurt. Mencintai sampai sakit. ** Sebuah elegi. Bahwa kadangkala, mencintai haruslah melepaskan. ** "Bisakah kamu menungguku sampai aku selesai? Tolong jangan pergi. Karena meski kamu di belahan lain dunia, aku akan tetap mencarimu...