13 - Love

2.8K 330 25
                                    

Hari itu, akhirnya aku memutuskan untuk tidak berangkat ke kampus. Aku bahkan tidak melakukan panggilan balasan pada Kina dan hanya kirim pesan bahwa aku sedang sakit, jadi tidak bisa kuliah.

Padahal nyatanya, aku memiliki perlu lain.

Dan keperluanku hari itu adalah, mengurus Saverio yang sedang demam namun tidak mau ke rumah sakit.

"Kakak hanya ingin disini", begitu katanya untuk yang kesekian kali setiap aku membujuknya untuk ke rumah sakit.

"Tapi kalau demamnya sudah sampai tiga hari, Kakak harus ke rumah sakit untuk tes darah," kataku tegas.

Saverio tidak menjawab, hanya berbalik memunggungiku seperti kucing merajuk, kemudian bergumam tidak jelas.

Aku menghela napas menatap punggung lebarnya, tidak mengerti lagi kenapa dia harus datang kembali di saat sakit seperti ini. Karena sejujurnya, aku tidak pernah bisa melihat Saverio sakit.

Kali itu, aku hanya bisa mengusap punggungnya yang sudah berbalut piyama yang kubelikan di toko terdekat.

"Aku anggap diamnya Kakak adalah iya," ujarku.

Dan Saverio hanya bergeming.

***

Namun ketika sampai siang hari di hari ketiga Saverio berada di kosku dengan tubuh masih demam, aku memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit, dengan atau tanpa persetujuannya.

Suka atau tidak suka, itu sudah final. Apalagi ketika baru beberapa suap makanan masuk ke perutnya, Saverio hanya akan muntah. Sudahlah tidak ada makanan, minum pun tidak mau. Aku takut ia kena thypus dan dehidrasi sekaligus.

Maka aku menaruh piring yang masih berisi makanan itu, membereskan muntahannya, dan memakaikan jaket tebal ke tubuh Saverio.

"Kita ke rumah sakit sekarang."

"Tidak mau," gelengnya. "Kakak janji akan makan dengan baik."

"Itu juga janji Kakak tiga hari lalu. Dan lihatlah sekarang, Kakak tidak pernah makan lebih dari separuh dari makanan yang kusiapkan." Aku melirik piring berisi bubur di meja nakas, menatap pinggirnya yang hanya cuil sedikit karena baru kuambil sesendok. "Lagipula, tempatku benar-benar tidak cocok untuk merawat orang sakit."

Sayangnya, bagian tersulit dari misi membawa Saverio ke rumah sakit bukanlah di bagian bagaimana laki-laki itu terus menolak dibawa pergi.

Melainkan bagaimana aku harus membawanya pergi, 'tanpa' ketauan siapapun.

Rasanya, semua tidak akan berjalan lancar kalau sampai ada yang bertanya padaku, siapa laki-laki yang sedang kupapah ini?

Siapa laki-laki yang ternyata sudah menginap di kamar kosku selama tiga hari ini?

Kalau aku bilang dia adalah Kakakku, tentu saja akan aneh karena aku anak tunggal. Kalau kubilang Kakak sepupuku, akan aneh juga karena, kenapa tidak langsung ke rumah sakit saja sejak hari pertama?!

Lebih-lebih kalau kubilang dia bukan siapa-siapaku, justru akan mengundang semakin banyak pertanyaan.

Intinya, apapun jawabanku nanti, sudah terlalu aneh karena sudah membiarkan Saverio berada di kamarku selama tiga hari.

Jadi aku mengundurkan niat untuk membawa Saverio pergi pada saat tengah malam saja. Meski aku tau, area kosku ini tidak pernah sepi 24 jam. Setidaknya, kalau tengah malam nanti aku bisa menutupi wajahku dan Saverio dengan masker. Dan topi juga, kurasa.

Mendengar perubahan rencanaku itu, Saverio tersenyum penuh kemenangan.

"Kalau begitu, sekalian saja tidak usah ke rumah sakit," katanya. "Kakak hanya perlu disini bersama kamu, Lyra."

Für LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang