8 - Broke His Promise

3K 342 10
                                    

Yang kami lakukan di dalam studio itu salah.

Memori baru yang dibuat demi mengenang memori lama itu adalah salah.

Ketika film selesai, aku merasa sangat jahat. Melihat Mingyu yang keluar studio sambil merenggangkan punggung tanpa menyadari apa yg terjadi di bangku belakang, aku menunduk menatap cincin yang Saverio pasangkan di jari manisku dan melepasnya diam-diam.

Lebih baik menyimpannya dan tidak seorang pun tau tentang cincin itu.

Ketika aku melihat wajah istrinya, aku merasa sangat berdosa. Yang kulakukan dengan Saverio tadi tidak seharusnya terjadi. Harusnya tadi aku mendorongnya menjauh. Harusnya tadi aku tidak membiarkan dia menggenggam tanganku.

Harusnya... kami tidak duduk bersebelahan.

Dan ketika aku menatap Saverio, dia membalas tatapanku dengan intens. Seolah ada rona baru di wajahnya yang membuat laki-laki itu terlihat lebih hidup.

Saverio memberikan senyumnya. Sehingga akhirnya aku membuang pandangan.

Malamnya, aku masih diliputi lautan rasa bersalah. Rasa bersalah itulah yang akhirnya membuatku memutuskan untuk jalan-jalan sendirian di sekitar hotel, di malam yang cukup larut.

Meski begitu, di luar sini sama sekali tidak sepi. Justru rasanya makin ramai karena makin banyak yang nongkrong.

Aku sendiri tidak tertarik, jadi hanya berjalan-jalan tanpa tujuan dan tanpa memikirkan apapun. Aku sedang tidak ingin berpikir--

"Lyra."

Oh, tidak. Aku mempercepat langkah mengenali suara Saverio yang berderap mendekat. Berusaha berbaur dengan keramaian--

Saverio berhasil meraih tanganku.

"Lepas." Aku berusaha melepasnya, yang membuat genggaman di pergelangan tanganku semakin erat.

"Kenapa malam-malam begini sendirian? Bagaimana kalau ada yang berniat jahat? Disini bahaya, Lyra."

Aku menatap Saverio yang jauh lebih tinggi dan terlihat betapa dewasanya laki-laki itu. Tersenyum lirih.

Dari dulu, Saverio sering berkata bahwa dunia luar itu berbahaya.

"Kamu tidak perlu pergi sendirian seperti ini. Kakak akan ikut kemana pun kamu pergi," katanya sembari tersenyum. Matanya ikut tersenyum.

Lalu aku?

Harusnya aku menolak pergi dengannya. Tapi yang justru terjadi, aku membiarkan Saverio mengikuti setiap langkahku, dengan tangannya yang tidak mau melepas genggamannya pada tanganku.

Sampai kemudian Saverio menyadari sesuatu. Dia menatapku dengan ekspresi menuntut saat bertanya, "Dimana cincinnya?"

Bukannya menjawab, aku hanya menunduk. Dan tatapanku terpaku pada tangannya yang masih menggenggamku.

***

Bahkan saat aku kembali ke Jakarta dan sedang mempersiapkan kuliahku, aku masih merasa begitu buruk.

Cincin itu kusimpan di meja belajarku, agak tersembunyi oleh kumpulan scrunchie, tidak ada yang menyadari keberadaannya. Namun saat aku kembali berkemas untuk keperluan kuliahku, aku juga membawa serta cincin itu ke kost yang akan kutempati.

Cincin yang sayangnya tidak akan bisa kupakai, tidak peduli betapa aku menyukai cincin itu.

Aku tidak memberi tau siapa-siapa dimana kost baruku, orang tuaku bahkan tidak tau dan mereka tidak ambil pusing. Yahh, kadang orang tuaku memang secuek itu. Bagi mereka, yang penting ATM-ku tidak kering.

Für LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang