Sudah tiga hari ini aku menemani Saverio di rumah sakit.
Aku selalu kesini sepulang kuliah, selalu memastikan kondisinya berangsur membaik setelah insiden dimana dia tidak mau dirawat kalau aku tidak ada.
Saverio memang manja merepotkan kalau sakit. Tapi pada satu titik, segala sikapnya itu membuatku merasa... berarti. Merasa dibutuhkan. Dan itu membuatku senang karena memang seharusnya seperti itulah dia padaku. Di antara kami ada hubungan saling ketergantungan seperti itu.
Yeah, setidaknya itu dulu.
Sekarang, entahlah. Aku bingung bagaimana menjabarkan perasaanku.
Aku hanya... prihatin, mungkin.
"Aku akan menelepon Bunda? Bunda pasti khawatir dan aku hanya akan memberi tau kalau Kakak sudah dirawat di rumah sakit," usulku, berbaik hati agar Saverio tidak perlu sendirian lagi kalau aku balik ke kehidupanku semula.
Namun laki-laki itu hanya menghela napas keras. "Tidak usah," katanya pendek. "Tidak perlu menghubungi siapapun. Apalagi Bunda."
"Tapi-- bukankah aku juga harus memberi tau Angela kalau Kakak sakit?"
"Buat apa?"
"Uhm, tentu saja agar dia kemari dan merawat Kakak," balasku kikuk. Seingatku, ini kali pertama aku membahas Angela lagi setelah sekian purnama tidak bertemu Saverio.
Dan di luar dugaanku, laki-laki itu menatapku tidak suka. "Tidak usah membahas Angela karena ini adalah waktu kita, Schatz."
Kita? Seperti dulu? Dimana ketika hanya ada aku dan Saverio bersama, maka menjadi kita.
"Tapi Angela--"
"Dia di Paris dan Kakak tidak butuh Angela datang. Paham?" potongnya tegas.
Lagi-lagi aku terdiam di tempatku duduk yang ada di sebelah kasur rawat Saverio, menunduk menatap tanganku sendiri.
Ada masalah apa Saverio dengan orang-orang rumah sampai sebegininya tidak mau aku menelepon mereka?
Tapi kemudian tangan Saverio meraih tangan kiriku, menggenggamnya lembut dengan tangan kanannya yang masih lemah meskipun tidak diinfus.
Aku menengadah, mendapati tatapan Saverio sudah tampak lebih lembut dan teduh, namun seolah masih menyembunyikan banyak hal.
"Kamu sudah lebih dari cukup," ujarnya kemudian.
"Kenapa?" tanyaku pelan. Sejujurnya, aku tidak tau pertanyaan 'kenapa' itu kutujukan untuk bagian yang mana.
'Kenapa' dia tidak mau aku menghubungi keluarganya, kah?
'Kenapa' dia tidak butuh Angela, kah?
Atau, 'kenapa' baginya keberadaanku sudah lebih dari cukup?
Tidak tau yang mana meski itu pertanyaanku sendiri.
Saverio lantas hanya menggeleng pelan. "Cukup kamu disini," katanya.
Aku menunduk lagi, pandanganku memburam oleh air mata yang menyeruak keluar.
Aku tidak tau apa yang membuatnya sampai begini.
Saverio juga tidak mau menceritakan apa yang tengah terjadi, dan kemudian hanya mengatakan agar aku jangan pergi. Selalu seperti itu.
"Kakak? Tapi-- bukankah mereka akan bingung karena Kakak tidak pulang selama hampir seminggu ini?" Aku memberanikan diri menanyakan hal lain, dan Saverio tersenyum.
"Tidak akan, Lyra," jawabnya tenang. "Mereka hanya perlu tau kalau Kakak sedang fokus dengan pembangunan di Jakarta Timur. Biar tidak terlalu jauh dengan lokasi, Kakak membeli satu unit apartemen di sekitar sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Für L
FanfictionLoving you 'till hurt. Mencintai sampai sakit. ** Sebuah elegi. Bahwa kadangkala, mencintai haruslah melepaskan. ** "Bisakah kamu menungguku sampai aku selesai? Tolong jangan pergi. Karena meski kamu di belahan lain dunia, aku akan tetap mencarimu...