"Markus temanku," jawabku setelah mengumpulkan secuil keberanian yang entah sempat hilang kemana.
"Lalu apa maksudnya kamu akan jadian dengan Markus?" tanyanya lagi dengan nada menuntut. Dia juga masih tidak menampakkan niat akan mengembalikan ponselku dalam waktu dekat.
"Kalau kakak ingat, aku kan memang selalu bicara ngawur dengan Maxi."
"Jadi kamu juga masih dekat dengan Maxi?!"
"Tentu saja," jawabku tanpa rasa bersalah.
Saverio lantas menghela napas keras. Tampaknya, marah-marah seperti ini amat menguras energinya yang masih tidak seberapa itu.
"Kakak--" Aku berusaha meraih laki-laki itu.
Awalnya Saverio tidak menggubrisku dan menghempaskan tanganku yang hendak meraihnya. Dia marah. Merajuk. Tapi saat aku bersikeras untuk menangkup lembut wajah pucatnya dengan kedua tanganku, aku tau Saverio luluh.
Sulit baginya marah berlama-lama kalau aku sudah mendekatinya dengan cara seperti ini.
Sesaat, pandangan kami bertemu.
"Jadi, kamu betulan akan jadian dengan Markus?" Tanyanya lagi dengan wajah menuntut.
Aku hanya tersenyum simpul, meraih ponselku dari tangannya, dan menariknya untuk duduk di sampingku.
"Lyra, jawab kakak."
"Untuk saat ini aku tidak berpikir lebih jauh soal itu," jawabku.
Saverio tidak bicara apapun lagi setelahnya, dan ia berlalu begitu saja ke kamarnya tanpa mengucapkan apapun padaku.
Aku menghela napas pelan melihat punggung laki-laki itu. Dengan dia merajuk seperti itu, apa dipikirnya aku akan tetap disini untuk membujuknya?
Tentu saja tidak. Setelah hari yang panjang ini, setelah memastikan dia sudah sampai di apartemennya ini, tentu saja aku akan kembali pada hidupku semula yang mulai berjalan baik-baik saja tanpa Saverio.
Aku seperti seekor burung yang baru mulai belajar terbang lagi setelah jatuh dan tidak bisa terbang begitu lama.
Aku ingin terbang jauh. Aku ingin bebas dari semua rasa sakit yang pernah ditorehkan Saverio dulu. Maka jelas aku akan pergi.
Aku menghampiri Saverio di kamarnya yang tidur membelakangi arah datangku.
"Kakak," panggilku pelan. Aku duduk di tepi kasur, entah kenapa berharap Saverio akan berbalik untuk menatapku agar semua ini bisa cepat selesai.
Tapi lelaki itu bergeming dan aku tak bisa menunggu lebih lama lagi. Aku sudah terlalu lama disini. Aku sudah terlalu lama bersamanya dan pertahanku bisa makin hancur sampai ke pondasinya.
Jadi, baiklah kalau dia mengindahkanku.
"Sudah malam, aku harus pulang. Semoga Kakak cepat sembuh."
Serta merta Saverio berbalik, menahanku. "Jangan pulang," ujar Saverio pelan.
Aku menggeleng sembari melepas tanganku dari cekalannya. "Kehidupanku bukan disini. Ini bukan tempatku."
"Kalau begitu pindahlah kesini," pintanya, terlihat bersungguh-sungguh. "Tidak perlu ada yang tau dan kita bisa menghabiskan sepanjang waktu disini. Hanya kita."
Lagi-lagi, jantungku mencelos.
Aku menggeleng pelan. "Tidak bisa begitu. Aku tetap harus pulang ke kosku."
"Kalau begitu kapan kamu akan kesini lagi?"
Aku mengendikkan bahu.
Saverio berdecak kesal, dia beringsut duduk, dan menatapku dengan alis berkerut yang membuatnya tampak menggemaskan. Persis seperti bayi merajuk. "Kamu tega membiarkan kakak sendirian disini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Für L
FanfictionLoving you 'till hurt. Mencintai sampai sakit. ** Sebuah elegi. Bahwa kadangkala, mencintai haruslah melepaskan. ** "Bisakah kamu menungguku sampai aku selesai? Tolong jangan pergi. Karena meski kamu di belahan lain dunia, aku akan tetap mencarimu...