11 - Why?

2.8K 334 22
                                    

Disclaimer : nama Mingyu diubah jadi Maxi ya, sebagaimana Sehun diubah jadi Saverio

Happy reading 🥰🥰

***

"Markus oke, kan?"

Aku melirik Maxi yang tengah mengemudikan mobil menuju kampus.

Semalam usai pesta, kami tidak pulang bersama sebab Markus yang mengantarku pulang. Bukan sekedar itu. Sebelum naik mobil, Markus membukakan pintu mobil untukku dengan tangannya berada di atas kepalaku, jaga-jaga barangkali aku terbentur tepi mobil dan tidak akan menyakitkan karena ada Markus.

Lelaki itu betulan memperlakukanku dengan baik, layaknya aku memang gadis bangsawan. Padahal kami baru kenal tidak lebih dari dua jam.

Perlakuannya tidak seperti selayaknya dua orang yang baru berkenalan. Atau mungkin dia memang seperti itu?

Jadi aku menanggapi pertanyaan Maxi dengan anggukan ringan. "Oke sekali," jawabku jujur.

Maxi terkekeh. "Baguslah, Markus memang lebih baik daripada kamu menemukan teman kencan yang tidak jelas asal usulnya," katanya sembari membelokkan kemudi memasuki kampus. "Aku kan hanya ingin yang terbaik untuk sahabatku."

Aku mencibir niat mulianya itu sebelum bertanya cuek, "Memangnya asal-usul Markus jelas?"

"Jelaslah," sahut Maxi nyolot. "Markus itu pewaris juragan berlian. Dia baru pulang dari Australia dan sekarang sedang merintis bisnisnya sendiri di bidang start up. Tingkah lakunya bagus, dan dia berasal dari keluarga terhormat."

Aku berdecak menanggapi Maxi segencar itu mempromosikan temannya. Tapi yang jadi perhatianku bukanlah betapa Markus itu 'oke punya', melainkan... "Repot kalau begitu. Pewaris biasanya tidak jauh-jauh dari masalah perjodohan."

"Eits, Markus tidak!" Maxi langsung menyergah. "Dia diberi kebebasan untuk mencari sendiri jodohnya," sahutnya pongah. Entah kenapa aku malah tertawa, membuat Maxi menoleh dengan kening berkerut. "Ada yang lucu?" tanyanya.

Aku mengendikkan bahu sembari meredakan tawa. "Aku kan tidak sedang mencari kandidat suami. Biasa saja lah, kamu tidak perlu terlalu berapi-api begitu."

"Ck! Yang membahas masalah perjodohan kan kamu duluan!"

"Aku kan hanya bilang tidak perlu berapi-api, Maxi."

Sekarang Maxi yang mengendikkan bahu dengan kesal. Kalau begini terus, lama-lama kami bisa senam bahu sungguhan di mobil.

"Jalani saja dulu, siapa tau jodoh," katanya (sok) bijak.

Aku mendenguskan tawa geli. "Mengerikan sekali Maxi bicara soal jodoh."

Lelaki itu langsung berdecak, lalu menjepit hidungku tanpa ampun.

Tapi setelah dipikir-pikir, mungkin Maxi tidak salah. Aku bisa menjalaninya dulu bersama Markus sebagai teman, atau kenalan, atau apapun.

Setidaknya, tidak ada yang perlu diantisipasi dari perkenalanku dengan Markus. Aku sedang kosong, dalam artian tidak terikat hubungan dengan siapa pun, Markus juga. Toh Markus dewasa, baik, dan cukup menyenangkan. Apalagi dia telah 'disortir' oleh Maxi, yang meski menurutku agak menyeleweng, tapi aku percaya Maxi memang menginginkan yang terbaik juga.

Semalam di pesta ulang tahun Bea, cukuplah aku dan Markus mengawali perkenalan sebagai teman.

Dan tidak ada yang tau kemana arah relasiku dengan Markus itu. Apakah berkembang, atau tetap sebagai teman.

Lagipula, Markus bukan tipikal orang yang bisa dijauhi tanpa alasan. Dia terlalu baik untuk diperlakukan seperti itu dan Markus itu tipikal pemuda baik-baik yang disukai calon mertua manapun.

Für LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang