16 - The Way He Smile

2.6K 302 23
                                    

Warning! Part ini panjang sekali.

Aku sarankan baca ini dalam keadaan santai, kalau bisa sambil rebahan, terus di kamar yang sudah gelap biar syahdu.

***

[Bagian 1]

"Kamu pulang..." Saverio kembali bergumam lirih, seolah memastikan apa yang dikatakannya benar.

Bahwa mau berapa kali pun dia mengatakan bahwa aku pulang, maka tidak ada yang membantahnya.

Termasuk aku. Yang terisak keras di pelukannya. "Iya, aku pulang."

Saverio membawa langkah kami memasuki apartemennya dan menutup pintu di belakangku dengan mudah. Laki-laki itu lantas mengurai pelukan kami dan menatap wajahku lekat.

Kedua tangan lebar dan hangat Saverio menangkup wajahku. Kedua ibu jarinya mengusap air mata yang masih bercucuran di pipiku.

"Kamu disini," gumamnya. Matanya tampak berkaca-kaca. Tapi kemudian kusadari bahwa mataku-lah yang berkaca-kaca lagi. "Kamu tidak akan pergi lagi kan?"

"Tidak."

"Kamu tidak akan meninggalkan Kakak lagi kan?" Bertanya, seolah untuk memastikan bahwa kami bertemu bukanlah untuk berpisah lagi.

Aku menggeleng, menangis lagi. "Aku mau disini... bersama Kakak."

Kemudian, Saverio memelukku erat sekali. Berkali-kali aku merasakan dia mengecup kepalaku, berbisik, "Terima kasih sudah kembali, Lyra. Terima kasih."

Aku kembali menyembunyikan wajahku di dadanya, merasakan debaran yang menenangkan itu. Debaran milik laki-laki yang selalu ada untukku dan sekarang aku kembali padanya. Laki-laki yang sejak dulu selalu kukagumi.

Rasanya, malam itu melegakan sekali.

Saverio membiarkanku menangis dan menuntaskan air mata di piyamanya. Hingga beberapa saat kemudian, aku menengadah, mendapati bagian piyama yang basah itu karena derai air mata.

"Maaf, baju Kakak jadi basah."

Saverio tertawa kecil. "Tidak masalah, Lyra. Kakak masih punya banyak piyama kalau kamu mau menangis lagi."

"Kakak--" Aku memukul lengannya. "Ayolah, aku sudah besar. Aku tidak akan menangis lama-lama lagi."

Saverio tersenyum, dia menangkap kepalan tanganku dan mengecupnya. "Tidak perlu menangis lagi, hm?"

"Memang Kakak tau kenapa aku menangis?"

"Bukannya karena Kakak?"

"Lebih tepatnya, aku menangis karena Kakak sakit begini."

"Tapi karena Kakak sakit inilah kamu akhirnya kembali," kata Saverio. "Kakak bersedia sakit jika itu membuatmu kembali."

"Jangan seperti itu. Kakak harus sembuh," gumamku. "Kakak tidak boleh sakit seperti ini lagi."

"Kalau Kakak sembuh, apa kamu akan tetap disini? Apa kamu tidak akan meninggalkan Kakak lagi?" balasnya bertanya. "Karena tidak ada gunanya Kakak sembuh kalau pada akhirnya kamu pergi lagi."

Aku menatap manik cokelatnya yang tampak bersungguh-sungguh. "Ya," jawabku. "Sekalipun Kakak sudah sembuh, aku tidak akan kemana-mana. Aku akan tetap bersama Kakak."

Malam itu, kami mengakhirinya dengan manis.

Bukan lagi dengan janji jari kelingking. Tapi dengan sebuah pelukan yang penuh kerinduan.

***

"Masak apa? Baunya enak," gumam Saverio sesaat setelah merengkuhku dari belakang.

Ditelisik dari suaranya yang masih berat dan serak, laki-laki itu jelas baru bangun tidur.

Für LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang