11

2.7K 292 6
                                    

"Permisi, selamat malam.."

Enggak!! Pokoknya aku gak mau keluar menemui orang itu! Pokoknya aku gak mau kalau sampai Edwin tambah curiga sama aku.

"Siapa, mas?" Pak Yus keluar dari kamar mandi dengan cuma mengenakan celana pendek dan handuk yang mengalung di lehernya.

"Pak Yus keluar gih, kalo om-om itu nyari aku, bilang aja akunya lagi kemana kek gitu.."

"Emang om-om itu siapa?"

"Papahnya temen aku! Udah sana cepetan!"

"Tapi --- sun dulu ya.."

"Pak Yus..!!"

"Yasudah, saya gak mau ---"

'Mmmuuaachh..!'

Aku mencium pipi Pak Yus dengan perasaan dongkol. Lagian aku juga kok bodoh banget ya, mau aja disuruh yang enggak-enggak sama dia itu!

"Yaa, malam. Cari siapa ya, pak?"

"Benar ini rumahnya, Davi?"

Aku menguping dari kolong meja makan. Aku takut kalau aku sembunyi di kamar, nanti orang itu akan nekat masuk ke dalam kaamrku lagi.

"Benar. Bapak ini siapa ya? Dan ada keperluan apa mencari anak saya?"

"Ohh -- anak anda ya...?"

Semoga aja Pak Yus gak sampai salah bicara. Semoga aja. Semoga aja.

"Anak saya lagi keluar. Katanya mau beli makan sama fotocopy."

"Begitu ya.."

"Kalau saya tidak salah ingat, saya pernah melihat anda di ---"

"Ruang aula sekolah."

"Nahh, betul sekali! Saya Rico. Papahnya Davi."

"Saya Adrian."

"Mari, silahkan masuk Pak Adrian."

"Terima kasih."

Aduh!! Kenapa juga sih Pak Yus harus ngajakkin orang itu masuk segala?! Kalau gini ceritanya sih bakalan lama deh..!

"Mamahnya Davi -- maksud saya isteri anda ada?"

"Isteri ya...?! Ohhh -- iya!! Biasalah perempuan. Lagi pada arisan pkk.."

Ya Allah, Pak Yus!! Mana ada sih ibu-ibu arisan pas malem jumat?!! Dikira bangsa kuntilanak kali ya!?

Jam 19.57 -- Jam 20.17 -- Jam 20.36 -- Jam 21.15 -- Jam 21.45

"Aduhh -- ini saya telepon gak diangkat lagi."

Aku yang udah hampir ketiduran, terbangun lagi gara-gara suara Pak Yus yang besar itu.

"Anak saya itu kalau sudah ketemu teman-temannya, biasalah. Suka lupa waktu.."

"Baiklah, Pak Rico. Kalau begitu saya pamit dulu. Maaf sudah mengganggu waktunya."

"Padahal masih sore loh Pak Adrian.."

"Saya titip ini saja buat Davi."

"Walahh, pakai repot-repot. Terima kasih. Nanti saya sampaikan."

"Permisi, Pak Rico. Selamat malam."

Cklek.. Brmmm..

"Mas Davi, orangnya udah pergi.."

"Lama banget sih! Kaya orang lagi pacaran aja!"

"Amit-amit, Mas Davi! Masa jeruk makan jeruk!"

"Udah malem, aku kan laper nih..!"

"Bapak itu tadi kasih ini nih.."

Aku membuka kantong plastik putih berlogo sebuah pasar swalayan terbesar itu. Dan ingatanku langsung kembali pada peristiwa beberapa belas tahun silam

'Davi, coba lihat Papah bawa apa ini?'

'Wahhh, papah beli ciki sama wafer banyak sekali?'

'Papah kan baru gajian, jadi -- ini semua buat Davi..'

'Makasih ya, papah!! Davi sayang sama papah..!'

'Tapi Davi harus janji sama Papah, untuk terus rajin belajar, shalat, dan nurut sama orang tua ya..'

'Iyah! Davi janji, papah..!'

"Mas Davi kenapa toh melamun?!" Suara Pak Yus menyadarkanku. "Mas Davi mau dibelikan apa untuk makan malam?"

"Sate kambing sama tongseng aja deh, Pak. Tapi yang pedes loh ya.."

"Wahh, Mas Davi request kambing nih. Mau siap tempur sama saya?"

"Pak Yus mau aku pulangin ke Jakarta ya?!"

"Hhehe, bercanda mas." Pak Yus memakai sweater dan celana training panjangnya. "Tapi kalau mau, saya siap jadi kok, mas!"

Seperginya Pak Yus, aku duduk sendirian di meja makan. Mataku masih saja menatap bungkusan plastik itu. Ternyata papah tidak pernah lupa dengan makanan kesukaannku. Dan bahkan, dia juga membelikanku dua botol sirup marjan cocopandan juga.

Papah... Ternyata benar dugaanku. Bahwa papah sudah bahagia dengan keluarga barunya itu.

Aku bangkit sambil membawa bungkusan plastik itu. Aku bersumpah tidak akan pernah memakannya. Jadi, kuputuskan saja untuk membuang semua pemberian dari papah itu.

Aku emang pernah kesal dan marah sekali sama mamah, Bintang dan Fajar. Tapi aku tak pernah sekalipun membuang makanan dan minuman pemberian dari mereka bertiga.

Aku berdiri di depan tong sampah depan rumahku. Hatiku ragu untuk membuang makanan pemberian dari papah ini.

Kalau aku buang, itu sama aja aku menolak rezeki dari Allah. Padahal kan masih banyak orang diluar sana yang membutuhkan makanan ini.

"Davi.."

Deg ~~ Deg ~~ Deg ~~ Deg...

Aku berbalik dan menyembunyikan kantung plastik putih itu di belakang tubuhku.

"Ehh --"

"Papah tahu kalau kamu pasti ada di dalam."

Sedikitpun aku gak punya keberanian untuk menatap wajah pria yang notabenenya adalah papah kandungku sendiri.

"Kamu ingin membuang makanan dan minuman kesukaanmu sendiri?"

Kuangkat kepalaku. Aku merasa bersalah dan gak enak hati.

"Tidak apa-apa. Papah tidak akan marah."

"Enggak! Aku gak jadi buang kok..! Beneran.."

"Davi, boleh Papah..."

Aku mundur selangkah, tiap kali dia -- maksudku papah -- maju selangkah ke depan.

"Udah malem. Aku mau bobo dulu. Dahh...!"

Aku berbalik dan berlari sekencang mungkin ke dalam rumahku. Kukunci pintu depan, dan kumatikan lampu ruang tamu.

Aku memang mau bertemu papah. Dan itulah tujuanku pindah ke Bandung. Tapi aku tidak mau secepat ini! Tidak seharusnya pertemuan ini terjadi dalam waktu yang begitu cepat!

Aku harus memutar otak. Aku harus menyelesaikan semua masalahku disini. Sebelum semuanya bertambah kacau dan semakin rumit.

$$$$$$

WHEN MONEY TALKS 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang