"Davi...!!"
"Papah...!!"
Aku langsung menghambur ke Papah Rico dan memeluknya erat sekali.
"Davi kenapa gak cerita semuanya sama Papah?!! Davi tahu, kalau sesuatu yang buruk sampai terjadi sama Davi, Papah tidak bisa memaafkan diri Papah sendiri.."
"Aku gak papa kok, pah.."
"Wajah kamu -- kenapa..."
"Selamat malam. Anda Bapak Rico Hendrawan?"
"Iya. Anda..?"
"Saya Karin. Saya komandan disini."
"Apa yang terjadi sama anak saya? Kenapa bisa ada banyak memar di wajah anak saya?!"
Tap.. Tap.. Tap..
Ekspresi Papah Rico berubah drastis saat melihat dua orang yang baru saja keluar dari ruangan sebelah. Dan begitu juga dengan reaksi papah saat melihat Papah Rico yang sedang berdiri di sebelahku.
"Davi, apa dia --"
Senyumku mengembang lebar. "Iya, papah. Orang ini yang namanya Papah Rico. Papahku, papah.."
Papah Rico tiba-tiba menggenggam tanganku. "Kalau tidak ada yang diperlukan lagi, saya akan pulang dengan anak saya."
"Pak Rico, kami masih membutuhkan beberapa informasi lagi dari Davi." Ujar Bu Karin.
Papah Rico melihat jam tangannya. "Saya rasa semuanya bisa dilanjutkan besok. Besok anak saya masih harus menghadapi try-out. Permisi."
"Pah, kok kita malah pulang?"
"Davi, tolong kamu diam saja!"
"Hhuuu...!"
Aku menguap beberapa kali. Kurebahkan saja kepalaku di atas pahanya si papah. Lagian sekarang itu udah jam 1 dini hari. Sedangkan jam 6 pagi, aku harus udah bangun, siap-siap, dan kembali lagi ke sekolah.
Setibanya di apartemen si papah, aku langsung tiduran di kasurnya papah. Kulihat papah tidak segera menyusulku tidur. Dia sedang berbicara dengan Pak Yus di ruang tamu. Aku mau menguping, tapi mataku rasanya udang lengket banget.
Tlingg...!
Kuraih hapeku. Satu pesan wa masuk dari nomer asing yang belum kusave.
(+628114949xx) : thank's n sorry :)
Aku sih udah biasa dapet sms, wa, line, telegram dari nomer gak jelas gini. Jadi ya -- daripada aku pusing-pusing kepo tentang siapa pemilik nomer aneh ini, lebih aku tidur dan bersiap untuk try out di hari kedua nanti.
•
•
•
•
•Keesokkan paginya...
Saat aku terbangun, tahu-tahu aku sedang dalam posisi memeluk si papah. Aku perhatikan wajah papah yang kelihatannya capek banget. Tanpa kuduga, kedua mata papah membuka.
Dia melempar senyum padaku, lalu meraih hapenya. "Masih jam lima pagi, sayang.."
Aku pukul dadanya si papah pelan. "Papah lupa agama papah sekarang apa?"
"Astagfirullah!" Papah menepuk dahi. Reaksinya itu menurutku sangat aneh dan lucu. "Kita shalat subuh jamaah ya."
"Oke!"
Kreeekk..
Aku membuka pintu kamar papah, dan aku sangat-sangat terkejut dengan apa yang kulihat di hadapanku.
"Papah!!"
"Ya, sayang?" Papah memelukku dari belakang.
"Kenapa semua barang-barangku ada disini?!"
"Karena mulai hari ini, kamu harus tinggal disini."
"Enggak!"
"Harus mau!" Papah menekan kalimatnya.
"Enggak mau!"
"Davi..!" Papah berpindah ke hadapanku. "Papah tidak mau sesuatu yang buruk sampai menimpamu."
Aku menghentak sekali. "Ya tapinya papah juga harus memikirkan dong! Jarak dari sini ke sekolah aku itu jauh banget! Belom lagi macet dijalan! Mau berangkat jam berapa aku?!"
"Tidak masalah. Nanti Papah akan mencari apartemen baru yang lokasinya lebih dekat dengan sekolahmu."
Aku buru-buru ke kamar mandi, mengambil air wudhu. Saat aku kembali ke ruang tamu, si papah malah lagi duduk sambil ngutak-ngutik hapenya.
"Cepetan wudhu! Malah mainan hape lagi!"
"Ohh iya, Papah lupa.."
Sementara si papab wudhu, aku menyiapkan sajadah, sarung dan kaos untuk si papah. Kebiasaan orang itu, kalau tidur selalu aja gak pernah pakai baju.
Selesai sholat, aku harus membongkar koperku untuk mencari pakaian dalam dan seragam sekolahku.
"Yang nganterin aku siapa, nanti?"
"Papah dong, Davi.."
"Beneran?"
Papah ngangguk serius. "Mulai hari ini, Papah akan tinggal terus bersama denganmu.."
"Ceileh, omdo..!!"
"Omdo?"
"Omong doang..!"
Papah tiba-tiba mengangkatku dan menjatuhkanku di sofa ruang tamu. Dia mengelitikiku sampai perutku sakit menahan geli.
"Kamu gak percaya ya sama Papah ya? Kamu gak percaya, huh..?"
"Iya-iya, percaya aja deh.."
Lalu papah menghentikan aksi gilanya itu. Mata kami saling bertautan. Ujung hidungnya menempel dengan ujung hidungku.
"Davi sayang gak sama Papah..?"
"Banget."
"Papah juga sayang sama Davi."
Aku memajukan kepalaku. Kucium bibir papah walau tak lebih dari dua detik saja.
"Davi.."
"Nanti, kalau papah menikah lagi sama wanita yang papah cintai -- Papah jangan lupain Davi ya.."
Papah mengulas senyum tipis. Dia membelai kepalaku dengan lembut dan hangat dan sekali.
"Untuk apa Papah mencari orang lain untuk dicintai, sementara saat ini -- Papah sudah memilikinya.."
"Papah janji ya jangan tinggalin aku lagi.."
"Janji.."
"Kalau bohong lagi, nanti aku sumpahin perut papah jadi buncit!"
"Hahaha, kamu ini ada-ada aja sih.." Papah mengadu hidungnya dengan hidungku. "Kita mandi yuk. Udah siang."
"Oke! Tapi jangan lama-lama ya..!"
"Siap, jagoan!"
"Lima menit!"
"Sepuluh..!?"
"Tujuh!?"
"Deal. Delapan menit. Gak lebih. Gak kurang!" Kata Papah sambil menggendongku menuju kamar mandi di dalam kamarnya si papah.
Dasar si papah ini, kadang aku suka bingung dengan jalan pikirannya itu...
$$$$$$
KAMU SEDANG MEMBACA
WHEN MONEY TALKS 2
Teen FictionApa kamu pikir, dengan uang kamu bisa berbuat sesuka hatimu..?! Apa kamu pikir, dengan uang kamu merasa bisa menjadi Tuhan...?! Kita akan lihat, sejauh mana kamu bisa bertahan dengan segala harta yang kamu miliki itu...!