Keparat!

7.2K 265 21
                                    

Pasrah. Hanya itu yang hanya bisa dilakukan Citra. Sisi tajam pisau itu sudah menyentuh kulit lengan nya,memaksa untuk masuk dan menembus ke dagingnya.

"Kayaknya gak seru deh kalo kamu di hukumnya kayak gini," monolog Randi.

"Tadi malem aku gak dapet jatah, jadi gimana kalo sekarang aja sayang?" Ujar Randi dengan tatapan penuh gairahnya.

Tanpa mendengar persetujuan Citra, Randi mendorong Citra, lalu memosisikan tubuhnya diatas tubuh mungil itu.

"Kenapa kamu cantik banget sih?" Gumamnya disertai dengan sentuhan pada wajah Citra.

"Ra... Randi... Aku mohon jangan kayak gini," lirih Citra. Airmata sudah deras sejak ia melihat Randi memegang pisau.

"Jangan apa sayang hmm? Tadi pagi kamu diemin aku, terus kamu pelukan ama orang lain, aku diemin aja gitu? Ck, gak adil?!" Seperti biasa, suara Randi yang lembut namun terkesan dingin dan kasar.

Lagi-lagi persetujuan tak penting baginya. Semua ia lakukan tanpa pikir panjang, tanpa memikirkan perasaan istrinya, tanpa menghiraukan rintihan gadis yang sedang ia jamah yang tak lain istrinya sendiri. Memang dalam status hubungan mereka, hal ini bukan dilarang tapi justru di halalkan tapi bagaimana jika sang suami melakukannya tanpa peri kemanusiaan, memaksa dengan kejam, menghujam tanpa jeda, bahkan menulikan pendengarannya dari rintihan sang istri.

Bagi sang istri, tentu itu menyakitkan,meski pria yang melakukannya tak lain suaminya, pria yang dicintainya. Semuanya terjadi begitu saja dengan ludakan gairah berkali-kali dari keduanya, dengan suara desahan dari keduanya. Awalnya memang Citra menolak namun gairah sudah menguasainya dan akhirnya ia menikmati permainan Randi meski tetap di barengi dengan airmata yang menetes dari matanya.

Matahari telah tergantikan oleh bulan, menciptakan suhu yang lebih rendah dari siang tadi. Terlihat sepasang suami istri sedang terlelap setelah melakukan ritual panjangny. Keduanya dalam kondisi tak terbalut satu benangpun dan sanh istri dengan keadaan yang berantakan, wajah yang jelas menggambarkan sisa-sisa airmata.

Eunghhhh....

Citra terbangun dari tidurnya. Ia mencoba mengumpulkan kesadarannya.

"Kenapa berat banget?" Bingung Citra dalam batinnya.

Citra masih mencoba mengumpulkan kesadarannya, menatap sekelilingnya, tak lama matanya tertuju pada titik dimana ia merasakan beban berat pada tubuhnya.

"Ra...Randii!" Histerisnya.

Melihat keadaan Randi yang tertidur diatas dadanya, membuat otaknya kembali memutar ingatan perlakuan Randi padanya beberapa jam yang lalu. Ingatan itu seakan menghantam saraf otaknya, menciptakan nyeri pada dadanya. Sesak berat seketika menyerang pernapasannya.

Citra mendorong kasar tubuh Randi untuk menjauh dari tubuhnya. Randi terbangun dan menatap heran padanya. Citra mundur perlahan, menjauhkan tubuhnya dari Randi, tangannya dengan gesit menutup tubuh polosnya dengan selimut yang semula menutup tubuh polos mereka berdua.

Randi sepertinya sedang mengumpulkan kesadarannya untuk mengerti apa yang terjadi sebenarnya, tapi sungguh kali ini Citra merasakan sesuatu yang begitu sesak pada hatinya. Sesak itu seakan semakin mencekik dadanya saat ia melihat bercak merah di tempat semula ia terbaring. Hal yang seakan menandakan keperawanannya sudah di renggut oleh suaminya, namun di renggut secara paksa. Seketika Citra merasa ia benar-benar wanita menjijikan.

"Heii, kenapa sayang?" Tanya Randi lembut sambil mengelus surai rambut Citra, namun hal itu sontak membuat Citra merinding dan kembali merasakan ketakutan seperti tadi malam, refleks ia menepis tangan Randi dari rambutnya.

Randi mengetatkan rahangnya, mendapat penolakan dari Citra, seakan kembali membangkitkan jiwa gelapnya.

"Kamu udah mulai berani ya? Mau aku hukum lagi?"

Tubuh Citra seketika membeku, tubuhnya meremang merasakan ketakutan mendalam. Lagi-lagi otaknya mengulang semua perlakuan Randi padanya siang tadi.

Citra hanya mampu menggeleng pelan, bibirnya tak sanggup berkata karena ketakutan dalam dirinya.

"Ayo mandi, abis itu kita makan malem,"

Citra mencoba bangkit sendiri menuju kamar mandi, walau ia kesusahan dan merasakan nyeri pada kepemilikannya. Ia tetap memaksakannya, ia tak ingin Randi menyentuh tubuhnya barang sejengkal saja.

"Yakin bisa sendiri?" Tanya Randi, dengan tak tahu malunya ia berjalan kearah Citra dengan tubuh telanjangnya.

"Aku bisa sendiri,"

Lagi-lagi Randi mengetatkan rahangnya, penolakan yang terus keluar dari bibir cantik Citra, semakin menyiksa emosinya.

"Aku ga nerima penolakan," Ujar Randi, tanpa permisi ia menggendong tubuh Citra menuju kamar mandi.

Setibanya di kamar Mandi, Randi menurunkan Citra di atas meja dekat Wastafel.

"Tungguin sebentar, aku isi airnya dulu,"

Ia berjalan menuju bathtub, semua kegiatan Randi tak luput dari penglihatan Citra. Citra merasakan sesak di dadanya tak mereda sedikitpun. Melihat wajah Randi semakin membuat hatinya tercubit, terlebih ia melihat luka cakar pada punggung bidang Randi. Luka yang seakan memberitahunya seberapa keras Randi menghantamnya tadi siang.

"Jangan ngelamun terus, airnya udah siap," ujar Randi lembut mencoba kembali menggendong tubuh Citra.

"Gausa aku bisa sendiri, kamu keluar aja,"

Kali ini Randi mencoba meredam emosinya, ia harus mengerti Citra masih syok atas apa yang ia lakukan siang tadi. Ia sadar, perlakuannya tadi siang sangat brengsek. Bahkan kelewat brengsek.

Ia berjalan keluar, meninggalkan Citra sendiri.

Citra merendam tubuh lemahnya dalam air hangat beraroma vanilla. Kehangatan air pun sepertinya tak dapat membuatnya lebih rileks, ia tetap merasa lemah, sesak, dan menjijikan.

Ia menatap tubuh polosnya melalui cermin disisi bathtub. Tubuhnya penuh dengan bercak merak keunguan. Tanda kepemilikan yang berikan Randi siang tadi. Seketika air matanya meluncur tanpa permisi.

Nyeri pada hatinya semakin meresak, menciptakan sesak yang lebih pada rongga dadanya. Bahkan tangisannya sudah tak bersuara.

Citra menggosok tubuhnya kasar, mencoba menghilangkan kotor pada tubuhnya, entah mengapa ia merasa sangat kotor saat ini. Tangisan nya semakin menjadi, terlihat sangat kacau.

Citra merasakan hantaman besar pada kepalanya, menciptakan pening yang tak tertahankan. Hingga akhirnya kesadarannya semakin menipis dan menghilang.

Sementara itu Randi diluar sana terus bergelut dengan pikirannya. Ia merasa aneh, Citra terlalu lama di dalam.

Sejam sudah berlalu sejak ia keluar, namun Citra tetap tak keluar. Menciptakan kekhawatiran besar pada dirinya.

"Sayanggg?"
"Sayangg heii!"
"Citt!"
"Honey!"
Randi semakin gusar, Citra tak membalas panggilannya.

"Sayang aku masuk ya?" Ujar Randi, ia berjalan memasuki kamar mandi. Kepalanya seakan di hantam batu besar, netranya melihat Citra yang tak sadarkan diri dalam rendaman air.

Ia mendekat dengan tergesa pada tubuh Citra, melihat dengan jelas wajah kebiruan Citra. Jemarinya bergerak menyentuh pipi Citra. Dingin, itulah yang dirasakan kulitnya.

Kepanikan semakin menyerang Randi, ia mengangkat tubuh Citra, membawanya keluar. Membaringkan tubuh membiru itu di ranjang mereka.

"Sayang," panggil Randi pelan, menepuk pelan pipi Citra. Namun tetap tak ada jawaban dari istrinya ini.

Ia segera bergegas meraih ponselnya, menelfon dokter pribadi keluarganya. Tangannya dengan cekatan memakaikan helaian pakaian pada tubuh dingin Citra.

Holla gaess:)
Aku update nii:)
Maap kalo makin ga jelas:)
Jangan lupa voment gaes biar aku tambah semangat:D

My Psychopath HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang