Ini Kamu?!

7.2K 277 19
                                    

Pagi ini Citra berangkat lebih awal ke kantornya. Ia berangkat lebih pagi bukan karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan, tapi karena ia sedang menghindari Randi. Sementara ini ia sedang tak ingin berbicara dengan Randi. Ia ketakutan bila kembali melihat mata Randi, mata yang selama ini ia anggap sejuk ternyata adalah mata tajam yang hampir membunuhnya beberapa bulan yang lalu.

Dan kini Citra disini, dimeja kantornya dengan laptop dihadapannya, tapi ia tak dapat fokus, pikirannya terus berkelana pada Randi. Ia masi bingung, ia harus mempertahankan pernikahannya atau menjauhi segala sesuatu yang berhubungan dengan traumanya itu.

"Woiii!" Sentak Ridho, ia adalah teman kantor Citra yang paling laknat.

"Apaan si lo?!" Sinis Citra.

"Ahh elahh Citt, kenapa lo? Ga jadi anuan tadi malem ama si es batu?" Tanya Ridho dengan nada menjijikannya. Sebenarnya Ridho, Randi, Rano adalah tiga serangkai. Mereka bersahabat sejak bangku awal SMP. Namun Ridho memilih bekerja di tempat lain. Alasannya adalah ia tak mau lagi jadi korban bully kedua sahabat laknatnya, alasan yang konyol bukan?

"Bukan itu!" Ketus Citra.

"Jangan bilang lo ga jadi anuan tadi malem karena lo pms!" Ujar Ridho, sok-sokan menebak.

"Ishhh bukan ituuu!" Kesal Citra.

"Terus kenapa anjeng?!" Habis sudah kesabaran Ridho, akhirnya ia menaikkan nada suaranya.

Citra bimbang. Apakah ia harus memberitahu Ridho? Bagaimanapun Ridho sahabat Randi, mana mungkin ia tak tahu pasal siapa jati diri Randi sebenarnya.

"Nanti gue ceritain di kantin. Ayo! Gue laper banget belom sarapan," ujar Citra dengan cengiran sumringahnya.

"Gue juga laper anjir!" Antusias Ridho. Berjalan mengekori Citra yang sudah lebih dahulu berjalan menuju kantin.

Mereka berdua berjalan bersama menuju kantin, memang jika orang yang tidak tahu-menahu tentang mereka, pasti akan mengira mereka adalah sepasang kekasih, bagaimana tidak? Setiap waktu istirahat mereka selalu bersama bahkan terkadang mereka pulang bersama bila Randi tak bisa menjemput Citra.

Sementara itu di lain tempat, lebih tepatnya di kantor Randi.

Randi terlihat lebih kacau dari sebelumnya, pikirannya terus mengarah pada satu sosok penting dalam hidupnya. Citra Hendrita, istri tercintanya.

"Anjj! Gue harus gmana lagi biar Citra mau ngomong ama gue?" Sejak tiba di kantor, ia terus bermpnolog sendiri, seperti orang tak waras.

Randi menghela nafas panjang, berjalan menuju sofa di ruangannya. Menghempaskan tubuh kekarnya diatas sofa itu. Jemarinya terus memijat pelan pelipisnya. Rasa pusing di kepalanya semakin menjadi sekarang.

"Arghh... Mending gue samperin ke kantornya, gue jelasin semuanya," ucapnya, bergegas menyambar jas dan kunci mobilnya. Tanpa izin atau pamit pada siapapun, ia keluar dari ruangannya, berjalan setengah berlari menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari pintu masuk kantornya.

Perjalanan dengan jarak yang tak terlalu jauh, namun bagi Randi jarak ini terasa sangat jauh. Efek terburu-buru.

Citttttt....

Suara rem mobil Randi berdecit cukup nyaring. Ia berlari menuju ruangan istrinya. Namun ketika ia melewati kantin, matanya tertuju pada satu objek,objek yang seakan membakar hatinya. Objek dimana istrinya menangis dalam dekapan sahabatnya sendiri, tak banyak basa-basi ia berjalan dengan langkah cepatnya.

Bughh...

Bogemannya tepat mengenai rahang Ridho. Membuat sang empu terhempas ke lantai. Ridho memegang rahangnya dan mencoba menetralisir sakitnya.

"Dhoo!" Histeris Citra.

"Jadi ini yang namanya ada kerjaan penting?" Ujar Randi penuh penekanan. Terlihat jelas pria itu sedang di rundung emosi. Rahang tegasnya terlihat mengetat bahkan otot lehernya pun terlihat. Dan jangan lupakan mata elangnya yang berkobar penuh kemarahan.

"Ra...Randi?" Gumam Citra. Sungguh ia tak menyangka dengan apa yang di lakukan Randi barusan. Kenapa? Kenapa ia memukul Ridho?

"Kenapa? Udah ketauan ya? Kamu mau main-main dibelakang aku?!" Ucapan Randi kali ini adalah tuduhan yang berselimutkan pertanyaan. Menikam hati Citra begitu saja.

"Maksud kamu apa?!" Tanya Citra penuh penekanan.

"Gausa pura-pura gatau sayang," balas Randi, pembawaannya terlihat tenang, namun tetap tak menutupi kobaran kemarahan dalam dirinya.

"Ran dengerin gue dulu," kali ini Ridho turut bersuara. Ia sudah kembali berdiri,meski tangannya tetap memegangi Rahangnya. Sepertinya rahangnya sedikit bergeser. Randi tetap kuat seperti dulu, pikirnya.

"Lo diem! Lo salah kalo berani main-main sama gue!" Sarkas Randi. Menatap penuh kebencian pada Ridho.

"Kita pulang!" Tanpa menunggu jawaban Citra. Randi membawa Citra menuju mobilnya. Meninggalkan Ridho yang terdiam dengan lebam di pipinya.

Randi membawa Citra keluar dari kantin kantor, tak menghiraukan panggilan Ridho yang memintanya untuk mendengarkan penjelasannya, bahkan istrinya yang mengerang kesakitan karena cengkramannya pun tak didengarnya. Ia membuka mobilnya dan mendorong Citra masuk ke mobilnya dengan kasar. Ia memutari mobil dan masuk ke bangku pengemudi,menyalakan mobilnya dan menancap gas, tak menghiraukan pandangan heran orang-orang disekitar kantor.

Mengemudi dengan emosi yang menggebu, membuatnya tak ingat peraturan lalu lintas, bahkan lampu lalu lintas pun ia langgar. Mimik wajahnya tetap datar dan hal itu tak luput dari pandangan sang istri, keringat dingin keluar dari pelipis Citra. Ia takut melihat Randi mengemudi seperti ini dan ia juga takut akan apa yang terjadi dirumah nanti.

Citttt....

Menghentikan mobilnya tepat di teras rumah, terdiam sejenak menatap lurus kedepan lalu segera keluar dari mobilnya. Tanpa izin, tanpa basa-basi, bahkan tanpa hati, ia menarik lengan Citra memasuki rumah dengan langkah besarnya menuju kamar mereka.

Brugghh....

Randi menghempaskan tubuh mungil Citra ke ranjang, lalu ia berjalan menuju lemari pakaiannya. Mengeluarkan salah satu koleksi pisaunya, berbalik dan kembali menghampiri Citra dengan tatapan yang sama seperti dulu, tatapan seseorang yang kelaparan. Namun kali ini ada bumbu kemarahan disana.

Citra mematung saat melihat Randi memegang pisau mengkilap itu. Jantungnya seakan berhenti saat itu juga. Otaknya seakan berhenti berfungsi.

"Ra... Randi... Kamu ma... Mau ngapain?" Citra berucap dengan terbata-bata, menjelaskan bahwa saat ini ia benar-benar dilanda ketakutan.

"Nikmatin aja sayang," suara yang kembali membangkitkan ketakutan dan trauma dalam diri Citra.

Berjongkok tepat dihadapan istrinya,mengambil satu tangan Citra. Walaupun Citra terus memberontak, tapi apa daya tenaganya akan tetap kalah oleh tenaga Randi.

Citra hanya bisa pasrah dan menutup mata basahnya. Kulit tangannya merasakan sesuatu yang dingin, seperti sebuah logam. Lama-kelamaan benda itu semakin menekan kulitnya, seakan ingin menembus kedalam dagingnya.

Maap ya aku baru update:)
Selamat baca:)
Maap kalo ceritanya jelek:)
Makasi yang udah mau baca apalagi yang voment aku hutang makasi banyak buat kalian hehe:D

My Psychopath HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang