Delapan

1.1K 57 0
                                    

Wajar

Suasana yang tercipta oleh tiga orang ini terkesan canggung. Angin berembus kencang, mengibarkan rambut-rambut mereka. Hari semakin sore, tapi pembicaraan belum juga dimulai.

Lambat laun, Violetta mulai bosan. Kemudian, ia pun mengangkat suara, "Bagaimana?" Lebih tepatnya sebuah pertanyaan yang entah merujuk pada apa. Dua anak yang mendengar sama-sama terkesiap dan mengerutkan dahi, bingung.

Violetta mengembuskan napas pelan, mengulur waktu sambil mengaduk coffe latte di hadapannya. Daritadi belum juga diminum, padahal ice nya mulai mencair seiring waktu yang terus berjalan.

Hal yang sama dirasakan oleh dua anak lain, mereka hanya melakukan inspirasi dan ekspirasi sedari tadinya yang dilakukan berulang-ulang.

"Bagaimana, apa yang harus kita lakukan?" tanya Violetta lebih spesifik.

Tidak ada yang menjawab, Eldric dan Vransiska sama-sama membisu. Lagi dan lagi Violetta mengembuskan napas, kali ini kasar. Ia sudah tidak bisa berlama-lama, masih ada sesuatu yang perlu ia urus. Lebih penting, tidak hanya sekadar berdiam-diaman seperti ini. Buang-buang waktu.

"Permisi," ucapnya dingin dan melenggang begitu saja.

Langsung terdengar decitan kursi, sepertinya di antara Eldric dan Vransiska ada yang mengikutinya. Namun, untuk sekarang Violetta sedang ingin sendiri. Tidak mau diganggu, apalagi dengan ... Eldric.

"Tolong berhenti mengikutiku!" pinta Violetta, tetap melanjutkan jalan bahkan menaikkan kecepatannya.

"Tunggu sebentar!" ucap Eldric sambil meraih pergelangan tangannya, sontak saja mau tidak mau Violetta menghentikan langkah. Ia memilih menatap kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang daripada bola mata lelaki itu. Alasannya satu, Violetta belum siap terperangkap.

Sambil menggengam jari-jemari gadis itu, Eldric berucap lembut, "Barang itu menenangkan, sungguh."

Sementara itu, Violetta memejamkan mata menahan agar air matanya tidak turun. "Tidak harus itu, Eldric. Kau juga tidak perlu membawa-bawa namaku, berengsek!" Ia menghempaskan tangan Eldric dan mendorong lelaki itu sekuat tenaganya.

Punggung Eldric membentur dinding, cukup keras sampai menimbulkan suara. Tak ayal kejadian ini pun menjadi tontonan pengunjung mall yang kebetulan lewat. Salah satu dari mereka adalah Vransiska yang menerobos kerumunan.

Tanpa babibu lagi, Vransiska mengajak paksa Violetta yang banjir air mata. Meninggalkan Eldric si bodoh yang tengah kesakitan.

Wajar jika Violetta sampai sekesal ini, Eldric sudah mencemari nama baiknya seantero sekolah. Belum lagi pada awalnya Violetta dikenal sebagai anak turunan orang tidak berhati, akhirnya semua sekacau ini.

"Aku pun tidak tahu apa maksudnya seperti itu, jangan lah menangis, sayang." Vransiska memeluk sahabatnya dengan erat, meski ada sesuatu yang membuatnya merasa ditusuk dari belakang.

Violetta berpacaran diam-diam dengan Eldric, kamarin semua itu terbongkar. Dan sekarang, dengan kebesaran hatinya Vransiska masih mau menjadi sandaran kala Violetta rapuh. Memang, sahabat sejati cocok dijuluki untuk Vransiska.

Tangis pun usai, Violetta memancarkan senyuman. "Terima kasih, kawan," ucapnya dengan tatapan sayu. Suasananya terlalu dramatis, jadi sedih.

Dikarenakan waktu sudah menjelang malam, mereka pun akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah Vransiska. Sekaligus, Violetta ingin berkenalan dengan orang di balik adanya manusia sebaik Vransiska, orangtua gadis itu tentunya.

"Di dalam tidak ada orang?" tanya Violetta saat menyadari Vransiska sibuk mencari kunci rumah di dalam tas selempangnya. Dan mendapat kedikan bahu tanda tak tahu.

Ceklek

Rumah luas nan megah ini pun akhirnya terbuka, tapi gelap. Seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan, atau memang benar tidak ada orang? Ribuan pertanyaan bersarang dalam benak Violetta saat terdapat bercak-bercak kekuning-kuningan di atas meja di hadapannya.

Tadi sebelum izin ke toilet, Vransiska mempersilakan Violetta untuk duduk terlebih dahulu di ruang tamu.

"Bau minuman keras," gumam Violetta. Ia baru sadar, kalau bercak itu kemungkinan besar adalah ceceran minuman pemabuk yang terlarang untuk diminum. Kecuali, untuk orang-orang yang sudah tidak sayang akan kondisi kesehatan organ dalamnya.

Terdengar derap langkah kaki dari arah tangga, refelks Violetta mengalihkan pandnagannya ke sana. Terpukau beberapa detik oleh wanita anggun yang tengah menuruni anak tangga dengan amat hati-hati.

"Mommy!" Suara kaget dari mulut Vransiska memanggil wanita tersebut. Lalu, terlihat menghampiri dengan mimik wajah penuh kekhawatiran.

Tanpa mengucap sepatah kata apapun lagi, Vransiska membalikkan tubuh ibunya. Menuntun agar kembali lagi ke atas, sontak benak Violetta penuh dengan beragam pertanyaan.

Sekembalinya Vransiska yang membawa segelas orange jus, Violetta langsung menarik untuk duduk di sebelahnya. Beberapa tetes jus sempat tumpah membasahi rok yang ia kenakan, tapi untuk saat ini Violetta tidak peduli.

"Ah, kuambil tissue dulu ya?" Vransiska berniat bangkit, tapi segera digagalkan.

"Nanti saja, aku ingin bertanya!" ucap Violetta sudah tidak kuat, rasanya kepalanya siap meledak jika ribuan pertanyaan itu tidak diutarakan.

Orange jus yang menggoda, ia pun meminumnya terlebih dahulu. Sampai setengah gelas, baru lah mulai bertanya. Namun, ketika mulutnya setengah menganga tiba-tiba saja terdengar gedoran pintu yang cukup kencang dari arah luar.

"Daddy," gumam Vransiska pelan. Dengan ragu gadis itu berjalan ke arah pintu, ingin membukakan.

Ceklek

Seorang pria masuk, sempoyongan tidak karuan. Matanya setengah terbuka dan ada sedikit cairan berbusa di ujung bibirnya, sudah dipastikan dia mabuk.

Tangis Vransiska pecah. Tanpa mengurusi ayahnya tersebut, langsung menarik Violetta yang terpaku di tempat untuk keluar. Dalam perjalan yang diiringi isakan tangis, Violetta mencoba berpikir apa yang menimpa sahabatnya itu.

Tidak perlu repot-repot bertanya, kini ia mulai mengerti. Bahwa sesungguhnya di balik seseorang yang terlihat tegar, ada banyak masalah yang tengah dihadapi. Hanya saja dirahasiakan, tidak mau orang lain tahu dan ikut merasakan.

"Ayahku seorang psikopat dan ayahmu seorang pemabuk. Mereka sama-sama sampah masyarakat. Namun, mereka melahirkan anak yang kuat seperti kita."

"Tunjukkan pada dunia bahwa kita layak untuk diberi keadilan, bukan cacian bahkan makian."

Pada kenyataannya, semesta tidak sebaik itu. Anak-anak semacam mereka justru dianggap mencemari lingkungan, baik di rumah maupun sekolah. Dikucilkan, di-bully, dihina, dan dicaci maki.

Wajar kalau mereka temperamen. Wajar kalau mereka sering melanggar aturan. Wajar kalau mereka melawan guru-guru. Itu sebatas pelampiasan, masih ada banyak yang mereka pendam dalam-dalam. Tidak perlu diketahui dunia, mereka hanya ingin terlihat baik-baik saja.







Violetta [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang