Lima Belas

1.6K 48 5
                                    

Udara dingin menyelimuti pemakaman korban kecelakaan kemarin. Para pelayat perlahan mulai pergi, menyisakan Violetta sendiri dengan sebuket bunga di tangannya, yang sejak tadi hingga kini ia genggan erat-erat.

Sore ini, sepertinya menjadi sore terburuk sepanjang hidupnya. Ia telah kehilangan sahabat, sekarang tidak ada lagi yang bisa membuatnya bahagia. Karena bagi Violetta, sahabat adalah orang yang paling berharga.

Dengan wajah yang bercucuran air mata, ia menaruh bunga di depan batu nisan bertuliskan Fransiska. Dipeluknya benda tersebut, rasanya macam memeluk Fransiska yang sesungguhnya. Biarpun begitu, ia sadar. Sosok Fransiska telah tiada, terkubur dalam-dalam di perut bumi.

Selain makam Fransiska, ia juga beranjak menuju makam mantan sahabatnya. Meski masih ada sedikit rasa benci, ia tetap ke sana. Dulu, ia sangat sayang pada Utami. Layaknya sayangnya pada Fransiska saat ini. Namun, itu dulu.

Masih jadi teka-teki, apa yang membuat Utami ada di dalam mobil itu. Untuk saat ini, Violetta sudah terlanjur pasrah. Tidak ada niatan mencari tahu, toh dua pelakunya saja sudah meninggal dunia.

Sebenci apapun pada si pelaku yang tidak lain adalah Eldric dan Chirstoper, Violetta tetap mendokan yang terbaik.

Ia bangkit, waktunya pulang. Sepertinya sore ini tidak akan ada penampakan senja. Awan cumulonimbus menghiasi sebagian langit, hingga menjadi gelap keabu-abuan. Kemungkinan besar akan turun hujan.

Menyedihkan, semesta seakan tahu apa isi hatinya. Dengan ikhlas, ia meninggalkan area pemakaman. Saat ini tujuannya adalah ke toko kelontong engkoh, sekadar ingin meminjam uang. Setidaknya untuk makan malam ini.

Jalanan setapak yang ia pijak penuh dengan kerikil-kerikil tajam. Satu pertanyaan muncul dalam benaknya, apakah hidupnya di masa yang akan datang sulit dijalani?

Hanya Tuhan yang tahu, Violetta menyerahkan segalanya pada Sang Maha Pencipta. Sekalipun takdir buruk yang ia dapatkan, tidak ada hak untuk menolak. Namun, selalu ada cara untuk bertahan. Salah satunya terus tersenyum.

Beberapa orang yang berpapasan mendeleik keheranan, tapi tak ia pedulikan. Wajah cerianya sangat bertolak belakang dengan cuaca. Walau terkadang, perlu disadari bahwa senyuman yang dicipta hanya untuk menutupi luka.

Langkahnya perlahan melambat begitu toko kelontong engkoh ternyata tutup. Harapan satu-satunya telah kandas, lalu apa yang harus ia lakukan? Ke mana lagi akan melangkah?

Kehidupan di luar sana begitu kejam apalagi tanpa seorang pun yang ia kenal. Sejenak, ia menepi di pinggir jalan. Merasakan ada satu kerikil kecil yang sejak tadi tidak sengaja diinjaknya. Menimbulkan lekukan di permukaan kulit telapak kakinya yang berlebihan jika menyebutnya sakit.

"Aww!" Katakan ia berlebihan sambil meringis kesakitan.

Bukan berarti ia lemah, baru permulaan. Perjalanan masih panjang, tak terhingga layaknya sumbu simetri pada lingkaran. Bumi terus berputar, pasti ada saatnya ia di atas. Bukan melulu soal jabatan, tapi kemakmuran hidup.

Masih bisa menghirup oksigen dan mengeluarkannya dalam bentuk gas karbondioksida saja perlu disyukuri. Di luaran sana banyak yang terbaring memakai alat bantuan pernapasan yang di setiap detiknya harus dibayar dengan uang.

"Ini, beli makan ya, Dik." Tiba-tiba saja sebuah tangan terulur, membuat Violetta terkesiap kaget dan mendongak.

"Hah? Maaf, saya bukan pengemis." Ia berusaha tersenyum, walau menyakitkan. Jatuhnya senyum kecut, pahit sekali.

Nyonya bertubuh besar itu membuka masker yang menutupi sebagian wajahnya, mengaketkan Violetta untuk kedua kalinya. Bayangkan saja, di hadapannya kini berdiri seorang bernama Mrs. Elizabeth. Kepala sekolahnya dulu.

"Sedang apa kau di sini?"

"Hmm ... entah."

"Pulanglah, sebentar lagi akan hujan."

"Ku sudah tidak punya rumah."

Mrs. Elizabeth mengerutkan keningnya yang semakin manambah garis keriput. Violetta yang melihat lagi dan lagi tersenyum, walau kali ini tipis.

Dan kembali menjelaskan, "Orangtuaku kan di penjara. Sahabatku kemarin meninggal."

Wanita paruh baya itu menatap nanar mantan anak muridnya, lalu menyamakan posisi untuk mengelus bahu Violetta sebagai ungkapan bela sungkawa.

Perlahan tetesan hujan mulai turun, omongan dan dugaan yang menjadi kenyataan. "Ayo ikut denganku!" ajak Mrs. Elizabeth sambil bangkit. Sibuk menutupi kepala dan wajahnya yang ber-make up agar tidak luntur.

Sementara itu, Violetta yang tidak punya tujuan pun mengangguk. Akhirnya, bisa menaiki mobil dari si pemegang tertinggi sekolah. Aroma melati menyeruak masuk ke penciumannya.

"Kau suka melati, Nonya?"

"Iya, aromanya mengingatkanku pada seseorang."

Ia tidak berani bertanya lebih, cukup tahu sampai di sini. Biar kata 'seseorang' menjadi misteri yang sewaktu-waktu akan ia selidiki sendiri. Lagipula, tidak penting juga.

"Kau akan kuangkat menggantikan dia, tinggal dan menetaplah di rumah ini." Mrs. Elizabeth menunjukkan rumah di tepi jalan yang lebih cocok disebut sebagai istana menggunakan dagunya.

Violetta pun tertegun untuk beberapa saat sambil menelan salivanya. Ini sulit dipercaya, apakah ia sedang bermimpi. "Aww!" Ringisan keluar begitu ia menyubit lengan bawahnya sendiri, baik ini nyata.

Waktu pun terus berjalan, lama-kelamaan Violetta bisa melupakan masa kelam dalam hidupnya. Bagaimana ia pernah tergoda mengonsumsi isi dari kantong kresek hitam yang ternyata narkoba, ia yang dikucilkan dan ditindas di sekolah, ia yang ... terlalu banyak untuk disebutkan.

Pada intinya, kisah Violetta berakhir untuk diceritakan. Karena, kehidupannya yang selanjutnya tidak lebih dari seorang gadis remaja pada umumnya.

Ia telah berhasil melewati fase itu, bagaimana dengan kalian?













Violetta [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang