Epilog

2.4K 61 0
                                    

Kini yang hanya bisa kulakukan selain menatap batu nisan mereka adalah berdoa agar mereka tenang di sana.

Mereka yang menjadi tokoh pendukung dalam ceritaku. Cerita yang miris di setiap chapter-nya. Mungkin, ini akan lewat begitu saja dan mudah hilang dalam benakku.

Namun, ada satu yang tidak akan pernah bisa terkikis oleh waktu. Persahabatan, di mana definisi bahagia iti benar-benar ada. Bukan cuma omong kosong belaka yang disisipkan di setiap kalimat oleh para penulis dalam bukunya.

"Ayo pulang!"

"Beberapa menit lagi."

Pandanganku teralihkan sejenak, kemudian kembali fokus pada sebelumnya. Beberapa menit yang kumaksud itu berjalan cepat, tapi bagi wanita paruh baya itu yang menunggu di dalam mobil.

"Terima kasih dan selamat tinggal kalian...." Aku mulai bangkit sambil berucuran air mata. Kapasitasnya tidak terhingga, buktinya air mataku tidak habis-habis. Sia-sia tidak menangisi orang yang sudah tiada?

Bagaimana lagi, cuma dua minggu sekali aku ke sini. Itu pun harus merengek dan memohon dulu. Kalau benar-benar tidak diizinkan, harus rela uang jajan dipotong.

Aku benci dikekang sepeti ini. Setiap hari dipaksa belajar, belajar, dan belajar. Membuatku bosan, definisi orang tidak tahu diri 'ya?

"Besok ujian, kau harus belajar."

Ujian matematika, pernah ada yang bilang setara dengan ujian hidup. Belum pernah dikasih cobaan berlipat ganda, makanya bilang seperti itu.

Aku memutar bola mata malas. Meraih ransel yang berada di sampingku, membuka buku-buku penuh rumus.

Lelah memang hidupku yang sekarang, tapi aku menjalaninya. Supaya masa depanku tak sesuram masa laluku.

Violetta [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang