Sepuluh

978 46 1
                                    

Layak untuk dimaafkan

Tuhan saja yang Maha Besar mau memaafkan makhluk ciptaan-Nya, walaupun kesalahan yang bertumpuk-tumpuk. Namun, gadis yang satu ini bukan siapa-siapa tapi tidak mau memaafkan kesalahan sesama manusia.

Gadis itu Vransiska, yang mendiami Violetta sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Semua pasti karena kejadian kemarin, di mana hubungan Violetta dan Eldric akhirnya diketahui gadis itu.

Kondisi Eldric yang tidak memungkinkan untuk mengklarifikasi masalah, membuat mereka berdua harus menunggu waktu sampai Eldric benar-benar pulih seperti sedia kala. Katanya, bukan hanya mengurangi dosis yang dipakai. Eldric juga berusaha untuk menghentikan pemakaian dalam waktu lama.

"Kau masih marah padaku?" Sudah tidak tahan dengan kelakuan dingin sahabatnya, ia segera mencekal pergelangan tangannya. Sontak saja langkah Vransiska terhenti, melempar tatapan nyalangnya.

Violetta menelan ludah, ini kali pertama Vransiska semarah ini. Ia takut hubungan persahabatannya akan hancur hanya karena memperebutkan laki-laki berengsek seperti Eldric. Cinta telah menghancurkan persahabatan, mematahkan dua hati perempuan dalam waktu bersamaan.

Apakah Eldric pelaku utama yang bersalah di sini? Tentu saja. Apa yang lelaki itu lakukan, bertanggung jawab? Tentu saja tidak.

"Lepas atau aku akan membencimu selamanya!" bentak Vransiska menepis kasar lengan Violetta, seolah akan membuat kulitnya gatal-gatal.

Ia pun bungkam, tidak percaya semua akan menjadi seperti ini. Setelah membentak, Vransiska langsung melenggang kembali. Tentunya meninggalkan Violetta yang masih mematung di tempat.

Dirasa tidak ada gunanya berdiri buang-buang waktu, Violetta memutuskan untuk melanjutkan jalannya. Walaupun tidak tahu pasti di mana kamar Eldric, yang ia ketahui hanya terletak di lantai tiga.

Saat di lift, ia dipertemukan dengan seorang pemuda yang memakai hoodie hitam. Kupluknya menutupi sebagian wajah atasnya, terlihat helaian rambut yang keluar.

Lelaki itu diam, Violetta pun sama. Ia menekan tombol tiga untuk naik ke lantai yang dituju. Diguncang dalam lift, ia berpegangan pada sisi lift. Suasana canggung menyelimuti, mereka berdua yang merasakan.

Amat terasa, sampai Violetta ingin cepat-cepat keluar dari neraka yang ia namai kecanggungan.

Tiba-tiba lift berhenti, tepat di lantai dua. Pintu terbuka, tidak ada satu orang pun yang masuk. Mungkin ada orang iseng, pikirnya.

Waktu yang ditunggu telah tiba, ia menghela napas lega bisa menghirup lagi udara luar. Namun, hal yang tidam diinginkan terjadi. Lelaki misterius tersebut membuntuti Violetta, entah tujuannya sama yang penting jantung Violetta berdebar kencang.

Rumah sakit yang ia pijaki bisa dikatakan amat luas. Ada puluhan kamar di setiap lantainya, salah satu kamar mungkin ditempati Eldric. Akan tetapi, tidak tahu yang mana.

Geram di saat bingung-bingungnya masih diikuti juga, akhirnya Violetta memberanikan diri untuk menghentikan langkah dan berbalik. Sontak hal yang sama dilakukan oleh lelaki itu, terciduk ceritanya.

"Berhenti mengikutiku!" Langsung tancap gas, ia melempar tatapan tajam.

Dibentak sedemikian rupa, sebuah kalimat pun terlontar dari bibirnya. "Aku mencari kamar yang sama denganmu, Tuan Eldric."

Suara tenang berhasil mencengangkan Violetta. Tidak bisa dimungkiri bahwa hal ini seolah deja vu bagi gadis itu. Ada suatu kejadian sama di masa lampau, yang Violetta sendiri pun tidak begitu mengingat.

"Aku mencari kamar yang sama denganmu...."

Dalam memori otaknya, suara itu terus berputar. Bayangan wajah sang pembicara tidak terbayang jelas, tapi ini benar-benar pernah terjadi di suatu masa. Ia yakin.

Sebuah tepukan yang mendarat di bahu gadis itu, berhasil memecah semua yang ada di kepalanya. Buyar, layaknya menjelaskan materi pada saat presentasi di depan kelas. Sensasinya sama, seperti orang kebingungan.

"Ayo ikut denganku," ajaknya, lembut. Lalu, tanpa bisa diperkirakan sebelumnya. Di luar batas pemikiran imajianasi Violetta, laki-laki yang bahkan kali pertama bertemu tersebut menarik pergelangan tangannya.

Berjalanan seirama detakan jantung, masih tidak yakin bahwa dirinya berpijak. Tolong, Violetta butuh pertolongan. Oksigen di sekelilingnya menipis, seolah diraup banyak oleh lelaki itu.


"Ini kamarnya," ucapnya memberitahu.

"Ayo masuk!" ajak Violetta.

Namun, gelengan kepala yang ia dapatkan. Jadi, ajakan itu secara langsung ditolak. Beberapa detik kemudian, tanpa mengatahkan sepatah kata apapun dia melenggang. Berjalan santai meninggalkan Violetta yang tengah melongo.

"Siapa namamu?!" Bukan, di luar kendali Violetta. Ia pun tidak tahu mengapa pertanyaan itu bisa terlontar, bagaimana bisa?

Dan ia pun tidak percaya pertanyaannya dijawab.

"Christoper...." Satu nama, menjawab semua kebingungan yang ada.

Lantas, sekuat tenaga Violetta memelesat. Pori-pori wajahnya bersemangat mengeluarkan cairan keringat, sementara itu kaki gadis itu mendadak lemas untuk diajak melarikan diri.

Chirstoper adalah salah satu keluarga korban yang pernah dibunuh oleh ayahnya. Kejadian lampau yang kelam, menguasai benak Violetta kini.

Sudah, ia tidak sanggup berlari. Tidak ada tenaga sedikit pun yang tersisa, selama itu pula tidak seorang pun menghentikan kejar-kejaran mereka. Koridor lantai tiga memang lumayan sepi, kelas tertinggi di rumah sakit ini.

"Apakah tidak ada maaf bagiku?" Sambil berlutut, ia meneteskan air mata.

"Kau layak dimaafkan, tapi...." Kemudian, semuanya gelap.










Violetta [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang