Dua Belas

921 41 1
                                    

Tidak ada gerak-gerik mencurigakan dari lelaki itu, tapi tetap saja jantung Violetta berpacu amat cepat bagaikan dikejar-kejar makhluk tak kasat mata. Ia was-was, takut kalau Chirstoper yang berada beberapa meter di hadapannya menoleh ke sini. Namun, beruntung hal itu tak kunjung terjadi selama beberapa menit.

"Jangan khawatir, sayang." Fransiska mengelus bahu Violetta, meyakinkan bahwa semuanya tidak seperti yang ada dalam pikirannya. Tidak semua yang dipikirkan itu benar, tetkadang pikiran buruk muncul karena terlalu merasa ketakutan.

Chirstoper masih berada di meja kasir, cukup memakan waktu yang lama. Oleh karena itu, Fransiska melangkahkan kaki untuk mendekat. Violetta sendiri menunggu di kursi dengan deg-degan.

"Kau sudah boleh pulang juga?" Tiba-tiba suara masuk ke pendengarannya, Violetta terlonjak ke belakang saking kagetnya. Kemudian, menepuk pelan paha Eldric sebagai pelampiasan kekesalan.

Tap ... tap....

Ada derap kaki orang berjalan, lama-kelamaan suara itu semakin dekat. Ia sudah tidak bisa bergerak, tubuhnya mendadak kaku. Eldric yang melihat perubahan mimik wajah gadis itu lantas kebingungan sambil mengerutkan kening.

"Eldric, mari pulang!" Suara bariton yang sudah dipastikan milik siapa, berhasil meraup seluruh oksigen di sekitar Violetta.

Chirstoper menarik lengan ponakannya itu tanpa menunggu jawaban yang disampaikan lebih dulu, mereka berdua langsung melenggang pergi. Violetta pun bisa bernapas lega dan menyandarkan sejenak punggung pada sandaran kursi, lemas.

Paman bersama ponakannya itu masih terlihat di ujung koridor, sampai akhirnya berbelok dan menghilang. Mereka adalah keluarga korban atas kekejian ayah Violetta. Salah satu dari mereka datang untuk memberi balasan!

Mendadak pusing, Violetta menunduk seraya memegangi kepalanya. Ia lega untuk hari ini, bagaimana besok, lusa, dan hari-hari berikutnya? Ia tidak mau dihantui rasa ketakutan yang berlebih seperti sekarang, merasa cemas di mana-mana. Ia ingin hidup normal.

Fransiska yang sudah selesai membayar semua biaya rumah sakit, lantas kembali lagi untuk membawa Violetta pulang. Namun, terkejut karena Violetta yang tak kunjung mendongakkan kepala.

"Kau kenapa, apa masih ada yang sakit?" tanya Fransiska sambil merapikan rambut Violetta yang berantakan.

"Aku takut...." lirihnya, lalu memberanikan diri mendongak dan membuka kelopak mata. Saat dibuka, tetes demi tetes air turun. Ia menangis dalam diam, menyesakkan Fransiska yang tengah menyaksikan.

Tatapan sayu yang mampu membuat rasa iba siapapun, membuat hati kecil tegerak untuk membantu. Fransiska termasuk salah satunya, orang yang pertama kali memberi sandaran pada Violetta.

"Kau akan baik-baik saja, sayang." Mereka berpelukan, dalam dekapan sahabatnya Violetta merasa terlindungi. Sahabat sejati itu memang ada, tapi tidak semua orang beruntung untuk mendapatkannya. Limited edition di muka bumi ini.

Setelah tangisan berhenti, Fransiska bangkit diikuti gerakan yang sama san sedikit lesu oleh Violetta. "Senyum dan bentuklah pelangi indah," ucap Fransiska, mengangkat ujung bibirnya sendiri.

Perintah itu pun dilakukan oleh Violetta, demikian mereka saling memberi senyuman. Sama-sama indah, seolah menunjukkan pada dunia bahwa mereka baik-baik saja. Padahal, masing-masing memiliki masalah. Jadi, jangan mudah percaya terhadap senyuman makhluk hidup yang satu ini, manusia.

Ada banyak senyuman-senyuman palsu untuk menutupi beribu luka. Akan ada saatnya setiap orang melakukannya.

"Pulang ke rumahku ya?" Fransiska membukakan pintu taxi agar Violetta lebih mudah masukknya yang hanya dijawab dengan anggukan kecil.

Perjalanan masih cukup panjang dan lama, dikarenakan mobil yang mereka tumpangi sering terjebak lampu merah. Terhitung sudah tiga kali dan hal itu membuat keduanya bosan.

"Lalu, bagaimana dengan pendidikanmu selanjutnya?" Pertanyaan yang salah karena dilontarkan di waktu yang tidak tepat, Fransiska rupanya tak menyadarinya. Beberapa detik Violetta berpikir, tampak bingung dari mimik wajahnya itu.

"Hmm ... berhenti sampai di sini." Jawaban bernada pasrah, pilihan yang memang harus dipilih. Tidak ada pilihan lain selain putus sekolah, mungkin Violetta ditakdirkan untuk langsung terjun ke dunia pekerjaan.

Fransiska merasa bersalah telah bertanya, lantas mengusap-usap bahu sahabatnya tersebut. Terdengar kekehan kecil dari mulut Violetta, mengapa dia pandai sekali menutupi luka, Bung?

Tinnnnn

Paduan klakson tepat saat lampu berubah menjadi hijau, mobil pun memelesat cepat. Sejak tadi si supir tidak mengucapkan sepatah kata apapun, Violetta yang mudah berburuk sangka pada orang lain jadi curiga. Namun, ia lebih memilih diam.

"Terima kasih, ambil saja kembaliannya," ucap Fransiska sambil menyerahkan beberapa lembar uang. Lalu, menutup pintu semestinya.

Setelah kepergian mobil yang berbelok di ujung jalan, Violetta langsung mengangkat suara, "Kucuriga dengan si supir." Ia menoleh pada Fransiska yang sibuk membukakan kunci gerbang.

Tidak dijawab, Violetta mengembuskan napas kasar. Mengedar ke sekeliling, tidak ada tanda-tanda ada orang di dalam. Satu pun kendaraan tidak terlihat.

"Ibu dan ayahmu ada di mana?"

"Ibu sekarang ditempatkan di paviliun, sedangkan ayah entahlah manusia itu di mana."

Violetta mangut-mangut dan mulai melangkahkan kaki untuk masuk. Matanya disambut dengan pamandangan yang tidak teratur, sampah di mana-mana, berantakan seperti kapal pecah. Ia jadi teringat kondisi kost-annya, mungkin lebih buruk daripada ini.

Rumah ini memang besar, tapi sama sekali tidak menimbulkan kenyamanan. Fransiska mengempaskan bokong ke sofa, sementara itu Violetta berjalan ke arah meja panjang yang tersusun foto-foto di atasnya.

"Apa?! Bukan kah ini foto ayahku, coba ke sini!" pinta Violetta yang langsung dituruti oleh Fransiska.

Ia menunjukkan sebuah foto berbingkai yang berisi tiga orang lelaki. Mereka mengenakan jas, tampaknya orang-orang besar. Dua orang berjabat tangan dan salah satunya menggenggam piagam penghargaan. Sementara satu sisanya hanya berdiri tegak di sisi kiri.

"Itu ayahku yang menyerahkan piagam, serius itu dia!" Violetta masih tidak percaya bahwa ternyata orang tuanya dan orang tua Fransiska pernah membuat sebuah kesepakatan yang entah apa isinya.

Mendengar kata demi kata yang jelas di pendengarannya, mendadak Fransiska terdiam dengan ekspresi datar. Bibirnya kemudian mulai menjelaskan, "Berarti ayahmu yang menipu perusahaan ayahku, perusahaan ayahku bangkrut sehingga ibu gila dan stress seperti saat ini."








Violetta [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang