Tiga Belas

841 41 2
                                    

Semenjak hal itu terbongkar, Violetta lose contact dengan sahabatnya--Fransiska. Jelas Fransiska marah, toh semua kekacauan hidupnya karena Violetta. Bagaimana kalau Fransiska tidak mau bertemu dengannya lagi, Violetta pasti amat sedih.

Kini yang gadis itu lakukan hanyalah memandang rerumputan luas di hadapannya. Bukit yang pernah menjadi saksi betapa bodohnya Violetta dulu, hampir bunuh diri karena saking pusingnya menjalani kehidupan. Dan suatu malam itu, Fransiska satu-satunya orang yang datang sebagai sandaran.

"Kumohon, jangan bunyi lagi," lirih Violetta sambil mengusap perut datarnya yang sejak tadi menimbulkan suara. Lapar yang amat terasa karena belum diisi apa-apa dari pagi sampai tengah malam seperti ini. Nasibnya buruk, Fransiska secara terang-terangan mengusirnya sekaligus memutuskan tali persahabatan.

Ia melempar batu kecil di tangannya dengan kesal sebagai pelampiasaan perpaduan perasaan yang bersatu dalam dadanya. Tidak tahu harus bagaimana lagi, intinya Violetta benci hidup. Atau ... akhiri saja sekarang? Kebetulan sepi, tidak ada satu pun orang yang menyaksikan.

Hmm ... mau kapan?

Bimbang. Telinga kiri dibisiki setan, sedangkan yang kanan dibisiki malaikat. Mana yang lebih dominan?

Sudah, sekarang saja. Buat apa hidup kalau tidak ada yang peduli?

Jangan! Perjalanan masih panjang, ayo bangkit dan jangan menyerah!

Hah, bacot! Hidup itu sulit, apalagi kalau dijalani sendiri.

Ayo sekarang, bangun lalu jalan ke tepi sana.

Ayolah, sayang.

Violetta terhasut oleh omongan setan di telinga kirinya, ia pun mengikuti perintah yang setan itu sampaikan. Bangkit, kemudian melangkahlah ke tepi sana. Temukan dunia yang abadi, jelas lebih sulit.

Mendadak otak Violetta tidak bisa diajak berpikir, sebatas memikirkan konsekuensi dari tiap pilihan yang ada di depannya. Ah benar-benar kosong otaknya, ia memejamkan mata sejenak.

Angin tengah malam memang berbeda, lebih menusuk ke permukaan kulit. Ia menggigil kedinginan, karena hanya bermodalkan piyama tipis berani-beraninya keluar tengah malam seperti ini.

Kakinya digerakkan oleh sesuatu, bergerak maju, semakin mendekati ajal. Satu langkah lebih dekat, apa yang ia rasakan? Kaget. Ada tangan yang bersentuhan langsung dengan tangannya dari belakang, sontak ia menoleh. Tidak percaya, bahwa untuk yang kedua kalinya hidupnya diselamatkan oleh orang yang sama.

Fransiska, napasnya memburu hebat, tidak jauh beda dengan si pelaku yang nyaris melarikan diri dari kenyataan hidupnya barusan. Mereka saling tatap tanpa arti, sebelum akhirnya salah satu dari mereka meneteskan air mata. Perih dan menyesakkan dada.

"No no no Violetta no!" bentak Fransiska sambil menguncang-guncang tubuh Violetta yang kaku di tempat. Macam mayat berdiri yang ajaibnya mengeluarkan air dari matanya.

Menyadari Vioetta benar-benar rapuh saat ini, Fransiska tidak segan-segan membawa ke dalam dekapannya. Walaupun merasa sakit hati dengan fakta yang baru saja diketahui, masalah demi masalah yang berhubungan dengan gadis itu, tetap saja Fransiska menyayanginya.

"Siapapun dirimu, aku akan berada di sampingmu." Kalimat tulus meluncur dari bibir Fransiska yang dibisikkan langsung ke telinga Violetta.

"Nanti kita cari lowongan kerja ya, percayalah esok akan lebih indah dari hari ini." Sebuah lekukan tercetak, mereka sama-sama tersenyum untuk mengakhiri hari ini. Waktu mulai berjalan untuk hari yang baru dengan semangat baru.

Pagi telah tiba, Fransiska memutuskan untuk tidak bersekolah karena ingin menemani Violetta keliling kota untuk mencari pekerjaan.

"Berjalan kaki saja sekaligus olah raga," ucap Violetta seraya mengoles selai pada roti di tangannya. Lalu meletakkan ke atas piring, bagian milik Fransiska yang langsung dilahap ganas oleh gadis itu.

"Pelan-pelan, kau lapar memang?" Ia terkekeh kecil dan melalukan hal yang sama pada rotinya, hanya saja berbeda rasa.

Sejenak, ada yang menarik perhatian mata Violetta. Sehingga ia menghentikan aksinya dan beralih pada jendela yang terbuka. Bukan kah Fransiska baru saja terbangun, terus siapa yang membukanya?

"Apa kau yang membuka jendela itu?" tanya Violetta sambil menunjuk menggunakan dagunya, menciptakan kerutan di kening Fransiska yang kebingungan.

Mereka diam beberapa detik, memikirkan hal yang tidak-tidak. Mulai dari penjahat sampai hantu, tapi tidak mungkin jika hantu. Yang paling kuat pasti manusia, tapi siapa?

"Ah lupakan saja," putus Fransiska. "Apa tidurmu nyenyak semalam?" Gadis itu mengganti topik pembicaraan.

Violetta menggeleng sebagai jawaban, "Banyak nyamuk yang menggigitku." Ia refleks menunjukkan bentolan-bentolan di permukaan kulitnya, cukup banyak.

"Baik lah, nanti sekaligus beli pembasmi nyamuk di minimarket," ucap Fransiska sambil bangkit dan melenggang menuju kulkas yang ternyata saat dibuka isinya kosong.

"Persediaan telur juga habis, minuman kaleng tidak ada, ah apa uangnya cukup?" Fransiska merogoh saku celananya, menurutnya segitu kurang.

Layaknya ibu yang menyadari anaknya boros, Violetta tersenyum tipis dan memberi nasihat, "Kau hanya perlu mengurangi jumlah membelinya."

Percakapan ringan terus berlanjut sampai mereka tiba di sebuab minimarket di tengah kota. Antrean yang cukup panjang, tiba-tiba membuat Violetta terpikirkan sesuatu.

"Sepertinya di sini kekurangan pegawai," celetuk Violetta.

"Iya juga, coba temui pemiliknya yuk!" ajak Fransiska.

Setelah beres membayar, mereka meminta perwakilan satu orang pegawai untuk mengantarnya ke ruang pemilik minimarket. Di depan pintu yang tertutup rapat tersebut, Violetta sempat merapikan penampilannya. Meminta pendapat Fransiska apa kah rambutnya bagus atau tidak, dan hal-hal lain yang menyangkut penampilan.

"Permisi, selamat pagi."

"Iya, silakan masuk!"

Suara itu tidak asing lagi di pendengaran seorang Violetta yang dalam waktu sekejap bercucuran keringat dingin.

Ceklek

Pintu terbuka dari dalam, menampilkan sosok bernama....

Christoper.






Violetta [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang