1. Promise

17.8K 776 3
                                    

Namaku Alea A. Zahra, biasa dipanggil Al. A ditengah adalah untuk Amalia. Tidak banyak yang tahu apa kepanjangan huruf A ditengah namaku. Hanya segelintir yang tahu. Aku tidak perduli sebenarnya. Sampai saat ini. Saat aku kembali berjumpa dengan dia yang tidak aku inginkan. Sama sekali tidak aku inginkan.

Mungkin aku harus sedikit mundur kebelakang, Hanya ingin menjelaskan bagaimana semua kenyataan bodoh ini dimulai.

Dua bulan sebelumnya – Alea POV

Aku memijit kepalaku yang mulai sakit. Meeting bersama orang-orang marketing selalu menyiksa. Jasmani dan rohani. Harusnya aku menuruti Juna untuk mencari alasan saja dan melewatkan seluruh debat kusir yang tidak perlu seperti ini. Ranti yang mempesona masih bersilat lidah tentang isu salah satu customer terbesarnya. Meminta kebesaran hati pihak controller agar tetap meluluskan order yang akan masuk. Sementara Dion salah satu timku masih dengan berapi-api membacakan seluruh dosa-dosa customer itu. Ini harus disudahi.

"Cukup Yon." Aku menoleh ke Ranti. "Ini harus di eskalasi. SIlahkan kirim email ke Frederick untuk proposal kamu, Biar beliau yang memutuskan."

"Nggak bisa dong Al. Kenapa mesti ke Frederick kalau kamu bisa memutuskan."

"Ranti, kamu tahu aturannya. Aku akan putuskan ketika nilainya hanya ratusan juta. Ketika lebih dari itu, silahkan email ke Frederick." Aku beranjak berdiri.

"Al, apa kamu nggak bisa tolong aku sekali ini saja?"

Bibirku tertarik sedikit. Ada gunanya juga jabatan ini aku pegang. Mungkin jika Irwan atau Angga sudah akan luluh dengan perempuan cantik nan rupawan dihadapanku saat ini yang sedang tersenyum sangat manis. "Nope. I'm sorry. Ini terlalu besar nilainya."

Keputusan mutlakku disambut dengan dengusan kesal Ranti yang langsung meninggalkan ruangan. 'Heh, kayak aku peduli saja.' Ponselku berbunyi. Mama.

"Al, segera ke rumah sakit. Papa serangan lagi."

Kakiku cepat-cepat berlari. Setelah tiba di meja aku menyambar tas dan kunci mobil lalu berhenti sebentar untuk menjelaskan ke Dion agar wajah bengongnya sirna.

Papa yang dulu mengajarkan aku menyetir mobil. Beliau juga yang dengan sabarnya memberi tahu bagaimana cara parkir parallel atau melewati tanjakan sambil menghindari mobilnya mundur tiba-tiba. Beliau percaya ketika aku bisa menyetir mobil dengan suspensi manual, maka mobil automatic akan sangat mudah nantinya. Segala sesuatunya harus dimulai dengan yang sulit. Karena ketika satu kesulitan teratasi, maka kita akan jauh lebih terbiasa menghadapi kesulitan-kesulitan yang lain.

Papa adalah sosok ayah yang sempurna. Suami yang baik, penuh perhatian, sangat mencintai Mama dan juga anak-anaknya. Beliau sangat dekat denganku. Terkadang ketika Mama yang keras memarahiku hanya karena hal sepele, Papa yang setelah itu menghiburku dan menjelaskan kenapa Mama marah seperti itu. Dan sudah beberapa bulan ini kesehatan Papa terganggu. Sungguh, jika aku bisa meminta satu hal saja di dunia, aku hanya ingin kesehatan Papa kembali kesedia kala.

Ponsel yang berdering membawaku pada kondisi jalanan didepan mata. Juna.

"Sayang, kata Dion Papa masuk RS lagi?"

"Iya."

"Aku kesana ya?"

"Nggak perlu Jun. Kamu tahu Mama aku kan."

"Kamu nggak apa-apa?"

"Aku nggak apa-apa. Aku nyetir dulu ya. Nanti aku hubungi lagi."

Rumah sakit malam ini tidak terlalu ramai. IGD yang biasanya penuh pun hanya terisi tiga pasien. Salah satunya Papa. Aku mendekati beliau. Setengah wajahnya tertutup masker oksigen. Tangan Mama terus membelai lembut lengan Papa sambil melantunkan doa-doa. Aku mencium tangan Mama dan beralih menatap Papa.

The Broken Marriage (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang