Beberapa jam yang lalu - Baskara Prawira POV
"Bu, apa harus jodoh-jodohan begini?" aku baru saja mendarat dan ibu sudah menelpon lagi untuk mengingatkan tentang janji temu-ku.
"Wira, kamu sudah janji dengan Ibu kan?"
"Ibu tahu sekali kenapa aku terpaksa setuju kan? Ini karena Ibu."
"Wir, kamu sudah tidak muda lagi. Setelah Judith kamu seperti tenggelam bersama duniamu sendiri. Masih banyak wanita diluar sana selain Judith Wir."
"..." Permasalahannya bukan Judith Bu. Judith hanya kebetulan semata.
"Jadi tolonglah Wir, tolong Ibu yang sudah tua ini. Ibu hanya ingin lihat kamu bahagia."
Aku menghela nafas. Ibu akan mulai meracau lagi tentang kondisi kesehatannya. Bagaimana dirinya yang anak tunggal harus meneruskan garis keturunan keluarganya. Sebenarnya ini sangat menyebalkan, tapi aku menyayangi Ibu lebih dari apapun. Apalagi setelah ayah tiada.
"Namanya Lia Wir. Ibu sudah kirim ke kamu nomor ponselnya. Dia akan menunggumu di coffee shop bandara."
Tidak berapa lama layar ponselku berkedip.
08123354XXX: Hai, gue Lia. Bakalan telat, macet sore-sore gini. Tunggu aja.
Lia. Hanya Lia. Tanpa nama depan atau belakang. Menurut keterangan Ibu dia anak dari Om Susanto. Sahabat baik ayah. Pesan terakhir ayah saat beliau pergi adalah hanya untuk membuatkan janji temu antara kami anaknya. Tapi aku tahu Ibu berharap lebih dari itu. Perjodohan dalam zaman seperti ini sungguh konyol sekali. Aku mampu mencari sendiri calon istri. Dan ini tidak ada korelasinya dengan koleksi pacarku yang hanya satu di usia awal kepala tiga. Hanya satu yang bertahan cukup lama, dan satu lagi yang hanya berumur seminggu saja.
08123354XXX: Gue baru sampe nih. Duduk dimana lo?
Wira orang asing: Meja pojok dibawah lukisan bunga.
Aku berdiri, bersiap menghadapi Lia. Itu kan namanya? Lalu setelah tepat 15 tahun aku melihat wajahnya lagi. Tanpa sadar aku menahan nafasku sendiri.
Tatapan matanya dulu begitu lugu, namun saat ini balik menatapku berani. Rambut hitam kecoklatan yang berkibar-kibar panjang dulu hanya dikuncir satu, tapi kini rambut itu bergelombang dan tergerai indah. Belum lagi ditambah hidung bangir yang selalu menjadi ciri khasnya. Aku, kehabisan kata-kata.
"Bas?" Wajahnya menyiratkan sejuta kebingungan. "Kenapa lo disini?"
"..." Aku sama bingungnya Al.
"Kayaknya gue salah." Dia menundukkan wajahnya dan segera mengetikkan sesuatu di ponselnya. Ternyata dia mencoba menghubungi Wira. Lalu ponselku berbunyi. Nomor Lia jelas terpampang disana.
Dengan bodoh aku mengangkat panggilannya. Kami berhadapan sambil masih menempelkan ponsel kami ditelinga masing-masing.
"Aku...Baskara Prawira Adhyaksa." Tanganku turun perlahan. Aku bahkan lupa untuk memutuskan hubungan ponsel. Mataku terpana, terkunci pada wanita dihadapanku ini.
"Oh oke." Dia hanya mendengus kesal lalu duduk di kursi kosong dihadapanku. "Lo mau terus berdiri disitu atau mau duduk dan mulai bicara?"
Kata-katanya seperti menghempaskanku kembali pada kenyataan yang ada. Aku melonggarkan dasiku yang tiba-tiba terasa sesak, lalu duduk kembali di kursi yang sebelumnya terasa nyaman namun sudah tidak lagi.
"Amalia. Lia." Aku tersenyum miris baru menyadari sesuatu. Jika ini adegan dari sebuah film pasti penontonnya sudah melakukan standing ovasion. Betapa takdir mempermainkanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Broken Marriage (Completed)
RomanceAlea hanya mencintai Juna dan ia tidak bisa hidup tanpanya. "Sialan kamu Bas, sialan kamu! Apa tidak cukup kejadian dulu itu? Aku bahagia dengan Juna. Apa salah Juna dan aku padamu? Kenapa kamu tidak pergi saja seumur hidupku dan jangan pernah kemba...