9. Life's not fair

5.6K 564 10
                                    

Juna datang, menghampiriku di kamar rumah. Aku duduk didepan kaca rias, sudah mengenakan kebaya cantik. Juna akan menikahiku. Tangannya terulur, aku menggenggamnya erat-erat.

Jangan pergi lagi Jun. Sungguh berat hidup tanpamu. Aku berbisik ditelinganya. Lagi-lagi Juna hanya tersenyum. Dia menggandengku keluar kamar, menuju pelaminan. Ketika aku duduk, aku merasakan tangannya menggenggamku. Tapi ketika aku menoleh Bas yang ada disebelahku.

"Kamu adalah Elizabeth-ku." Bas tersenyum padaku.

Aku panik, aku hentakkan tangannya. Aku bukan Elizabeth-mu. Kemana Juna-ku? Dimana dia?

Aku mengerjapkan mata berusaha menyesuaikan dengan cahaya yang tiba membanjiri penglihatanku. Dimana ini? Banyak bunyi-bunyi asing disekelilingku, juga bau aneh apa ini?

Wanita berseragam rumah sakit itu tersenyum mendekati.

"Halo Alea, saya Ria suster jaga disini. Kalau kamu mendengar suara saya tolong mengangguk."

Dia tersenyum lagi melihat aku mengangguk perlahan. "Saya buka ya maskernya, sepertinya kamu ingin bicara."

"Mana Juna? Panggilkan Juna." Aku tidak mengenali suaraku sendiri. Seperti berbisik namun sangat parau.

"Saya akan carikan Juna untukmu. Tapi sebelum itu saya akan panggilkan Dokter Pram."

Aku tidak butuh dokter Sus. Panggilkan saja Juna untukku. Itu saja sudah cukup.

***

Baskara Prawira POV

Ini sudah lewat satu minggu. Tidak putusnya kami berdoa. Karena memang hanya itu saja yang kami bisa lakukan. Aku berusaha selalu datang setiap jam kunjung tiba. Sekalipun yang aku temukan hanya Alea yang terbaring tidak sadarkan diri.

Terkadang aku membacakan buku disebelahnya. Pride and Prejudice, aku masih hafal buku kesukaannya dulu. Atau hanya sekedar menatapnya, tanpa berani menyentuhnya. Aku tidak tahan melihat Al seperti ini, dengan semua selang dan jarum yang menusuk tubuhnya. Dengan semua alat yang berbunyi-bunyi aneh. Dengan masker yang menutupi wajahnya yang cantik.

Aku ingin mengguncang tubuhnya. Bangun Al, bangun. Kamu belum memaafkan-ku, jangan tinggalkan aku sebelum kamu memaafkanku Al. Jangan siksa aku seperti ini.

Sepanjang tidurnya Alea, aku berkenalan dengan kawan-kawannya. Indra rekan sejawatnya, Laras dan suaminya yang merupakan kawan terdekat Al, Dion anak buahnya, juga Vivian dan Frederick atasan-nya yang datang menjenguk. Om Susanto benar, posisi Al di kantor memang tidak main-main. Dia sangat dihargai oleh rekan-rekannya.

Aku memperkenalkan diri sebagai kawan Alea, sekalipun Indra dan Laras tahu status aku yang sebenarnya. Aku hanya tidak mau mengada-ada. Besar kemungkinan Alea akan menolakku lagi ketika sadar nanti. Dan kali ini, aku tidak mau memaksa. Sungguh sudah terlalu besar luka yang aku torehkan dulu, aku tidak berniat menambahnya dengan memaksa Al untuk menjadi istriku. Jika Al menolak, aku akan mencari cara lain agar dia memaafkanku.

Sore itu hanya aku yang ada di ruang tunggu. Om Susanto dan Tante Widya sedang dalam perjalanan ke RS setelah pagi ini pulang untuk mandi dan beristirahat. Aldi sudah kembali ke Bandung untuk kuliah. Lalu tiga puluh menit sebelum jam besuk sore, Suster Ria muncul di ruangan.

"Keluarga Ibu Alea."

Rasa gugup langsung menyerangku. Karena setelah panggilan itu biasanya orang-orang yang dipanggil akan bereaksi entah tersenyum gembira atau malahan pingsan ditempat karena kabar yang diterima. Ya Tuhan, aku serius ketika bilang aku akan memberikan apa saja. Tolong jangan beri aku kabar buruk.

The Broken Marriage (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang