Jangan buat aku menceritakan bagaimana hari pernikahanku. Karena sungguh kalian akan kecewa. Tidak ada pesta megah dan mewah sekalipun aku tahu Mama mengharapkannya. Justru karena aku tahu Mama mengharapkannya jadi aku menolak mentah-mentah ide itu. Juga tidak ada gaun pengantin rancangan desainer ternama yang sebenarnya aku sanggup membelinya. Tapi aku tidak mau. Alih-alih aku hanya mengenakan dress putih simple yang dibelikan oleh Laras dari salah satu mall di Jakarta. Aku bahkan tidak mau repot-repot memilih saat Laras mengirimkan belasan foto ke ponselku.
Juga tidak ada pengantin yang berbahagia. Pengantin wanitanya berbalutkan rasa luka dan kecewa. Sedangkan pengantin pria, oh aku tak tahu dan tak mau perduli apa yang dirasakan Bas hari itu. Persetan dengan dia. Pernikahan menyedihkanku terjadi satu bulan setelah hari itu. Hari dimana Juna dengan resmi mengatakan sendiri padaku untuk melangkah maju, melupakan dia. Cih, aku bahkan sudah tidak perduli lagi dengan Juna. Apa benar begitu? Karena kenyataannya setiap malam aku masih menangis terisak. Menginginkan Juna, mempertanyakan keputusanku untuk menikah, mengingat semua traumaku dulu. Aku benar-benar menyedihkan.
Acaranya diadakan di halaman belakang rumahku yang cukup luas. Hanya Laras beserta Krishna suaminya dan Indra yang hadir. Selebihnya adalah relasi Mama Papa dan juga beberapa kawan Bas. Sorenya setelah acara selesai aku bersandar lelah di sofa ruang baca. Berusaha mengabaikan suara-suara petugas catering dan dekorasi yang sedang membenahi peralatan mereka.
Bi Darmi datang menawarkan teh hijau hangat seduhannya. Aku hanya mengangguk setuju dan berpesan agar aku tidak diganggu. Oleh siapapun. Kepalaku sedikit nyeri dan tanganku yang masih dalam balutan gips mulai terasa gatal. Aku menatap kertas diatas meja tidak jauh dari hadapanku. Nanti aku akan memberikan itu pada Bas. Setelah aku beristirahat sebentar saja.
***
Baskara Prawira POV
Tindakanku bodoh dan sangat konyol. Aku bahkan menjatuhkan ego laki-lakiku sejatuh-jatuhnya. Bayangkan, sudah jelas Alea tidak mencintaiku lagi. Dia jelas-jelas menjadikanku pelariannya saja. Dari Juna atau siapapun nama lelaki brengsek itu. Aku juga brengsek? Ya, aku setuju. Karena itu aku bersedia menikah dengan gadis yang membenciku sampai akhir hayatnya mungkin.
Pernikahan ini adalah pernikahan paling menyedihkan. Jika saja Ibu tahu atau orangtua Al tahu, maka mungkin mereka sudah menjauhkan kami sejauh-jauhnya. Apa yang aku pikirkan? Itu pertanyaan Andi yang aku tidak bisa jawab. Apakah aku sudah gila? Lagi-lagi pertanyaan sobatku yang juga tidak memiliki jawaban. Tapi apakah aku bisa berhenti? Aku tidak bisa, karena sekalipun ini sangat menyedihkan, paling tidak aku memiliki tujuan. Aku ingin Al memaafkanku, mendengarkan penjelasanku atas apa yang terjadi dulu.
Setelah acara selesai, aku berkeliling mencari istriku. Ya Tuhan, aku sudah punya istri. Pagi tadi aku sudah berjanji dihadapanMu.
Papa dan Mama Al memanggil. Memintaku duduk. Aku masih belum menemukan sosok Al. Mama Papa mertuaku memberikan beberapa wejangan tentang pernikahan. Bagaimana mereka memintaku lebih sabar menghadapi sikap Alea. Padahal jika mereka tahu bahwa aku-lah penyebab semua trauma Alea dulu mungkin mereka sudah mengusirku dari rumah ini. Aku merasa sangat kacau menerima semua kebaikan mereka.
Ibuku sangat bahagia. Dia bahkan meneteskan air mata mungkin sambil membayangkan Ayah masih ada. Biasanya aku menceritakan apapun pada Ibu, hubungan kami sangat dekat. Apalagi saat Ayah sudah tiada. Tapi Ibu juga sama tidak tahunya soal insiden aku dengan Al dulu. Aku seperti menyimpan bom waktu dan tombol pemicunya digenggam oleh gadis yang sangat membenciku. Ya Tuhan, apa yang aku pikirkan. Mungkin Andi benar, mungkin aku seharusnya tidak menikahi Al.
"Bas, kamu kelihatan sangat gugup dan ijab kabul sudah selesai. Apa kamu gugup karena malam pertama nanti?" Suara Papa mertuaku membuyarkan semua lamunan.
"Oh bukan Om. Saya hanya khawatir karena saya belum bisa menemukan Alea dari tadi."
Om Susanto tersenyum mengerti. "Panggil saya Papa. Kamu sekarang anggota dari keluarga ini juga." Dan hatiku langsung mencelos kebawah. Aku tidak pantas jadi anakmu Pa.
"Biasanya Alea ada di ruang baca. Ruang favoritnya. Cari dia disana."
Aku mengangguk. Kenapa itu tidak terpikirkan olehku?
Lalu aku menemukannya disana. Gadis itu tertidur di sofa panjang ruang baca. Masih lengkap dengan gaun putih manisnya, make up tipis-tipis pada wajahnya dan buket bunga yang tergeletak di lantai terjatuh dari genggamannya. Tangan kanannya masih dibalut gips, namun hal itu tidak mengurangi kesempurnaan sosok dihadapanku. Secangkir teh hijau hangat dihadapannya belum sempat disentuh. Alea, kamu cantik sekali. Masih sama seperti dulu.
Aku memuaskan mataku pada sosok istriku yang sedang tidur. Sebelum akhirnya menangkap adanya secarik kertas disebelah cangkir mungil itu. Aku duduk di kursi kecil sebelahnya. Meraih kertas itu dan mulai membaca.
Peraturan Pernikahan
Oh ini konyol. Aku melewatkan paragraph yang menyatakan detail data pihak istri dan pihak suami. Ingin langsung membaca intinya.
1. Tidur di kamar yang terpisah.
2. Tidak ada kontak fisik apapun. Kedua belah pihak tidak boleh melakukan pemaksaan.
3. Penggunaan kamar mandi bergantian. Pihak istri butuh 30 menit setiap paginya.
4. Mencuci, memasak, menyetrika sendiri-sendiri.
5. Menyediakan asisten rumah tangga untuk membersihkan rumah/ apartemen.
6. Tidak mencampuri urusan satu sama lain
Perjanjian ini berlaku sejak kita sah menjadi suami istri. Jika ada pelanggaran atas point diatas, maka pihak istri berhak untuk menggugat pihak suami dan pergi. Pihak suami tidak berhak menyatakan keberatan apapun atau pernikahan dibatalkan.
Aku tidak terkejut namun tetap menggeram kesal. Banyak hal yang cacat secara hukum dalam surat perjanjian ini. Tapi aku paham benar maksud Al. Ini memang tidak akan mudah. Jadi untuk saat ini aku akan menyetujui perjanjian konyol apapun dengan beberapa syarat. Aku menuliskannya di bagian belakang kertas yang masih kosong.
Pihak suami menerima semua point perjanjian yang diminta oleh pihak istri dengan beberapa syarat:
1. Tidak boleh berkata kasar ketika sedang bersama. Termasuk tidak boleh menggunakan bahasa slank pada pihak suami.
2. Tidak boleh memukul atau berperilaku kasar. Hal ini berlaku untuk kedua belah pihak.
3. Berperilaku sopan dan menghormati pihak suami baik ketika bersama dan terutama jika berada bersama orang lain.
4. Menunggu dan mengantarkan sampai depan pintu saat suami berangkat kerja setiap pagi.
5. Sudah ada dirumah saat suami pulang setiap hari.
6. Bersedia menghabiskan waktu bersama saat hari libur.
Setiap point diatas jika ada yang tidak disetujui oleh pihak istri, maka pihak suami berhak membatalkan sejumlah point yang sama dari pihak istri. Ketika satu point perjanjian dilanggar oleh pihak istri, disengaja ataupun tidak, maka pihak suami juga diperbolehkan melanggar sejumlah point yang sama.
Aku menatap puas pada prasyarat yang aku ajukan. Ya Tuhan, maafkan kami karena membuat pernikahan ini seolah permainan saja. Ijinkan aku memperbaikinya perlahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Broken Marriage (Completed)
RomanceAlea hanya mencintai Juna dan ia tidak bisa hidup tanpanya. "Sialan kamu Bas, sialan kamu! Apa tidak cukup kejadian dulu itu? Aku bahagia dengan Juna. Apa salah Juna dan aku padamu? Kenapa kamu tidak pergi saja seumur hidupku dan jangan pernah kemba...