6. The man from the past (2)

5.5K 584 17
                                    

Masih 15 tahun yang lalu

Malamnya aku langsung melaporkan semua kejadian sore ini pada Nuri. Dan seperti biasa sahabatku itu tertawa terbahak-bahak mendengar ceritaku. Apalagi di bagian aku melompat terkejut karena hanya dicolek oleh Bas. Nuri bilang reaksiku itu benar-benar lucu dan polos.

"My Dear Al, lo itu bener-bener ajaib. Hidup di jaman millennial tapi kelakuan masih seperti anak SD. Polos dan malu-malu." Begitu kata Nuri.

Mau bagaimana lagi. Pengalamanku dengan cinta memang nol. Jangankan cinta, bersosialisasi dengan kawan-kawan sebaya pun aku merasa kesulitan. Selama ini karena pekerjaan Papa keluargaku selalu saja berpindah tempat. Alhasil aku tidak punya teman yang cukup dekat karena waktu yang tidak mengijinkan. Setiap kali aku mulai dekat dengan seseorang, setiap kali itupun aku pergi untuk pindah lagi.

Lalu dua hari kemudian aku kembali menunggu Pak Pardi yang terlambat. Dan entah kenapa Bas ada disana. Berdiri disampingku.

"Sore Al."

Tenang Al, tenang. Ini kesempatan kedua. Jangan mengacau.

"Hai." Aku mengutuk buku bahasa Inggris ku yang aku letakkan di loker sore ini. Harusnya buku itu bisa menutupi detak jantungku yang sudah kacau.

"Maafin gue, kemarin gue bikin lo takut ya?"

"Tidak. Saya yang salah karena tiba-tiba pergi." Saya Al? Ya ampun, apa kamu lahir di jaman prasejarah?

Dia tersenyum geli.

Tuu kan Al. Pasti dia menganggapmu cewek katro yang tidak gaul. Suara Nuri menggema dikepalaku.

Dia berdehem lalu melanjutkan. "Apa boleh aku menemani kamu menunggu disini?"

Gaya bahasanya tiba-tiba berubah dan itu membuatku tertawa kecil. Jadi ini rasanya menjadi Nuri yang kerap mendengarkan bahasa baku-ku selama ini.

"Kamu cantik kalau tertawa."

Mulutku langsung mengatup rapat dan wajahku memandangnya tidak percaya.

"Sama cantiknya ketika kamu blushing seperti sekarang ini."

Aku langsung berlari menjauh karena ingin menyembunyikan wajahku yang mungkin sudah merona malu.

"Al, mau kemana?"

Bas berlari dibelakangku. Untungnya Pak Pardi segera datang dan seperti biasa aku langsung menghambur masuk ke dalam mobil. Kepalaku menoleh ke belakang. Masih ada Bas disana. Kedua tangannya memegangi kepalanya seperti sedang frustasi akan sesuatu. Aku tidak mengerti.

***

Minggu berikutnya aku mulai berharap Bas tetap ada disana setiap kali supirku terlambat menjemput. Namun aku tidak menemukan sosoknya selama seminggu. Sampai ketika akhir minggu kedua sejak terakhir kami bertemu. Dia ada disana.

Bahkan kali ini dia yang menungguku untuk berdiri disebelahnya.

"Sore Al." Sapaan sederhana yang sudah aku nanti-nanti dua minggu ini.

"Sore Kak." Aku melangkah ragu-ragu untuk berdiri disebelahnya.

"Panggil gue Bas saja. Nggak usah ada embel-embel Kak."

"Saya..." aku berdehem. "...maksudnya aku, gue tidak bisa panggil nama saja."

Bas tersenyum geli lagi. "Al, sama aja. Aku, saya, gue, semuanya sama aja. Jadi nggak usah terlalu dipikirin mau pakai yang mana."

Tanganku meremas rok gugup.

"Gini deh, gue pakai aku-kamu juga. Biar kamu nyaman. Gimana?"

Aku menunduk malu. "Dan sudah berapa kali aku bilang. Jangan selalu menunduk Al. Tidak ada yang salah dengan wajahmu. Jadi jangan ditutupi."

The Broken Marriage (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang