Satu

476 21 16
                                    

Arisha membanting bukunya di atas meja dan melihat Delvin masih dalam ekspresi yang sama-selama lima belas menit terakhir. Cowok itu masih menyodorkan segelas es teh di tangan kanannya dan kemasan teh sisri doraemon di tangan lainnya.

"Sha, ini minuman kesukaan lo kan. Kalau udah di beliin es teh sisri yang gambarnya Sizuka gini, lo udah bisa maafin gue kan?"

Dia sengaja memasang wajah yang di buat sekalem mungkin. Mungkin menurutnya itu bisa meluluhkan hati Arisha setelah dia tertangkap basah sedang menggoda adik kelas di depan pintu gerbang kemarin.

Berbanding terbalik dengan kenyataan yang Delvin dapatkan, Arisha jutru terlihat seperti ingin menyelupkan kepala Delvin ke dalam gelas yang sedang cowok itu pegang. Gelas es teh sisri doraemon sebagai pengganti es batu yang perlahan mencair.

"Si kebo ngebala di kelas doi. Gak ada takut-takutnya emang itu anak." Pian menepuk bahu Ipung yang kebetulan sedang berdiri di sampingnya.

Delvin mematahkan pandangannya ke arah suara. Matanya tertuju pada ambang pintu, tempat Pian dan Ipung berdiri menunggunya.

"Namanya orang lagi usaha. Mau bawa plastik sampahnya juga gak masalah." timpal Delvi. Wajahnya yang dibuat serius itu justru menjadi bahan guyonan bagi dua sahabatnya dan juga sorotan tajam yang berasal dari mata Arisha.

Arisha menepis gelas dari tangan Delvin. Hingga cowok itu gelagapan baru Arisha menyadari bahwa gelas yang baru saja dia tepis berisi es teh sisri yang sekarang hanya tersisa setengah karena setengah lagi sudah menyambut wajah Delvin.

Kali ini Delvin mengusap wajahnya, kaget. "Sha, muka gue jadi anyep gini." kata Delvin. Untung hanya wajahnya.

Tentu saja, Arisha sedikit ternga-nga melihat wajah Delvin yang basah kuyup karenanya. Padahal dia lebih ingin wajah Delvin yang masuk kedalam gelas itu, tapi yang terjadi justru isi gelas itu yang menemui wajah Delvin.

Karena sudah terlanjur terbuka, Arisha menutup mulutnya menggunakan tangan kosong. Dalam dua detik hampir semua orang yang berada di dalam sana memandangnya, sama terkejut. Hanya beberapa orang, waktu istirahat telah hampir menyita seisi kelasnya.

Ipung bergegas menghampiri. Sepak terjang Arisha selalu membuat jantungnya berdegup. Bukan apa-apa, terakhir saat Delvin tertangkap basah sedang mengajak Tasya jalan, Ipung kena lemparan sepatunya. Sekarang apa lagi?

Pian ikut membuntutinya, juga menerobos untuk sampai duluan. Dia menarik tangan Delvin, hampir memaksa. "Balik ke kandang aja lah. Gak apa-apa diputusin sekarang, nanti malem tinggal minta balikan."

"Iya. Karena gue terlalu sering maafin temen lo yang gak punya faedah semasa hidupnya ini, dia jadi keenakan. Gak tau apa arti minta maaf dan arti gak akan ngulangin kesalahan yang sama." sambar Arisha, dia bahkan menunjuk keberadaan Delvin dengan wajahnya.

"Itu cuma pelesetan doang, Sha." Pian mengambil posisi duduk menyamping di sebelah Delvi yang masih pada ekspresinya. "Ibarat lo udah beli mainan. Terus di tengah jalan ada tukang mainan lain yang kelihatannya lebih menarik dari mainan yang udah lo beli. Gak ada salahnya kan kalau lo liat-liat. Masalah beli atau nggaknya kan urusan nanti. Semua itu cuma buat menghibur hati kalau lagi bosen, Sha." Pian menganggukan kepala pada Delvin, sedangkan cowok itu membalasnya dengan sedikan bahu.

"Arisha perlu banyak belajar, nih. Ajak les di tempat Restu, deh. Biar makin pinter tentang asosiasi percintaan dunia abu-abu." tambahnya.

Ipung sudah tak tahan dengan apa yang dia dengar. Jelas saja, di antara pertemanan mereka berempat hanya Ipung yang selalu memandang sesuatu dari berbagai cara pandang. Termasuk cara pandang seorang cewek.

"Jadi maksud lo. Delvin godain Shinta buat hiburan?" Setajam itu Arisha memandang Pian, tapi si cowok anteng mengangguk. "Karena gue ngebosenin?" tekannya.

"Wajar, sih kalau pacaran satu sekolah. Udah setahun pula. Bosen itu wajar. Iya nggak, sih?"

Pian menatap Ipung tidak ada gunanya. Tangan Ipung sudah gatal ingin menarik bibir Pian menggunakan tali tambang. Ipung rasa, Arisha juga begitu.

"Kalau emang lo bosen sama gue, apa susahnya bilang. Tinggal bilang. Lo gak usah melakukan apa-apa lagi buat gue." balas Arisha, hampir meledak.

Sepertinya pelesetan yang di buat oleh Pian tidak akan berjalan baik. Melihat mata Arisha yang hampit menggelinding keluar, membuat Delvin percaya bahwa sebentar lagi dia akan mendengar sederet sumpah serapah seperti yang sudah-sudah.

"Pada dasarnya orang yang jadiin api sebagai permainan itu tetap aja salah, apapun alasannya." ringkas Arisha yang sudah merasa bahwa ini biasa. Dia sudah terbiasa. Dan akan selalu begitu.

Sampai akhirnya Delvin membuka mulut, "Ngegodain cewek di deoan gerbang masuk itu gak ada istimewanya, Sha. Pak satpam aja yang udah punya istri masih sering liatin anak cewek yang suka pake rok kurang panjang." dia mengangkat dan mengarah-arahkan tangannya selama bicara.

"Jadi meanset lo harus berubah. Tentang gue yang suka godain cewek dan lo yang selalu minta putus pas tau kelakuan gue." Delvin menarik napas, Pian salut dengan perkataannya. "Katanya cinta harus bisa nerima apa adanya. Tapi kenapa lo gak bisa nerima kalau gue tipe cowok yang selalu mengungkapkan keindangan yang udah Tuhan ciptakan."

Disampingnya, Ipung meringis sambil mengalihkan pandangan jengah. Lagi-lagi, Delvin ceramah tentang percintaan menurut versinya.

"Termasuk Shinta?" Arisha melipat kedua tangannya bersama alisnha yang ikut terangkat saat bicara.

"Shinta juga ciptaan Tuhan, kan Sha." Pian menimpali.

Setelah itu, Arisha tahu bahwa pertarungan dua lawan satu mustahil nomor satu itu yang menang.

"Sepolos-polosnya orang, dia pasti tahu gimana caranya menjaga komitmen. Tidak mengulangi kesalahan yang pernah dia buat. Yang jadi masalahnya itu gue apa hati lo, sih."

Pian dan Ipung menggaruk keningnya bersamaan. Ini akan menjadi debat panjang, lagi. Selama satu tahun mereka mulai muak melihatnya. Terutama Ipung, yang selaku berusaha mencari cara agar hubungan mereka damai. Kalaupun itu harus menjauhkan mereka berdua. Tapi kenyataanya, seperti yang sudah-sudah. Setelah resmi berpisah mereka akan kembali di minggu berikutnya. Iya, harusnya mereka lelah dan menyerah.

"Gini, deh. Anak kecil yang lagi main rumah-rumahan aja suka berbeda pendapat soal siapa yang jadi anak siapa. Masa kalian yang udah pada puber belum ngerti arti perbedaan cara pandang." sambil mengangkat kedua tangannya sebatas bahu, Pian memberi komentar.

Dia telah memilih. Arisha mendorong bangkunya unuk berdiri. Dia meraih gelas yang masih berada dalam genggaman Delvin lalu memaksakan mulut Delvin untuk terbuka dan meminum sisa es teh sisri yang sudah berwarna pucat.

"Minum, tuh es teh sisri Shinta. Minum sama gelasnya sekalian." lalu dia keluar dari bangkunya. Sebelum itu Arisha memberi satu hadiah yang selalu dia dedikasikan untuk Ipung. Sebuah tendangan di tulang kering, cukup untuk perdebatan kali ini.

Membantu teman tidak harus menutupi kebenaran itu sendiri. Begitu Arisha pergi, Ipung benar-benar meringis memeluk tulang kakinya yang dirasa hampir retak.

"Sha... Sha... Shadis bener cewek lo." Pian berempati pada Ipung yang kena damprat padahal tidak tahu apa-apa.

Haruskah Arisha bercerita tentang masalahnya kali ini? Tentang hububgannya bersama Delvin yang selalu mendapat ujian selama satu tahun ini.

Berpacaran dengan Delvin sebenarnya tidak terlalu buruk. Tidak terlalu buruk untuk bisa merasakan bagaimana rasanya di khianati berkali-kali.

Disamping sikap buruknya, Delvin memang memiliki sosok yang sederhana dan humoris. Kadang sikapnya itu yang membuat Arisha menjadi takut. Takut tidak akan bertemu seseorang yang sama seperti Delvin.

Dunia Abu AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang