Pian melemparkan sebuah roti yang di tangkap sigap oleh Restu. Ipung duduk di bangku panjang, bersebelahan dengan Delvin yang sedang mengaduk mie instannya.
Di warung si Mamah tempat mereka menghabiskan waktu istirahatnya juga mengenyangkan perutnya setelah letih belajar. Terlebih disini bisa BBN a.k.a beli bayar nanti.
"Kamu itu, makanan kok di lempar-lempar." cakap Mamah, siempempunya warung, usianya cukup tua, terlihat keluar dari arah dapur dengan kerudungan langsung yang selalu dia pakai berbeda warna.
Beliau baru saja menuangkan gorengan dari serokan keatas nampan yang sudah di beri alas kertas koran. Ipung mengambil salah satu gorengan yang baru saja menemui tempatnya. Tak lama gorengan tersebut terlepas dari tangannya, kembali kedalam nampan. Ipung meringis sambil meniupi tangannya yang terasa terbakar.
"Kamu, juga. Lempar-lempar makanan. Nanti yang makan gorengan Mamah jadi sakit perut gimana? Kamu mau tanggung jawab?" Delvin mendelik, melirik Ipung lalu menepuk pundaknya dengan mulut penuh mie instan.
Pian tergelak, "Lagian, gorengan baru diangkat dari wajan lo ambil. Kayak gak ada yang dingin aja." lalu tangan Pian terjulur mencomot gorengan di tempat yang berbeda.
"Kamu juga. Tadi ambil roti, sekarang mau ambil gorengan. Utang kamu yang kemarin belum di bayar." Mamah memukul tangan Pian menggunakan sodetnya, pian meringis tapi gorengan itu tetap masuk kedalam mulutnya.
Mamah memang terkenal cerewet tapi baik hati, tidak sombong, dan rela memikul kebutuhan keluarganya. Dia hanya mengingatkan hutang dengan cara yang tak lazim, seperti memukul dengan sodet seperti yang di terima oleh Pian barusan.
Pian menelan habis gorengan yang tersisa didalam mukutnya, "Mamah lupa sama moto warung ini?" lalu Pian mengangkat tangannya keatas seraya bergerling memandangi warung kecil yang ramai pengunjung ini.
Mamah terlihat bingung, beliau menaruh sodet dan serokannya diatas wajan lalu mematikan kompornya. "Kamu ngapain? Pidato?"
Kali ini Pian bergeleng dengan raut wajah seperti tengah merasa kecewa atas menjelasan Mamah. Delvin hanya melihat mie instan di depannya, Ipung hanya ingin menyantap gorengan hangat dari wadahnya, dan Restu hanya ingin memasukan roti kedalam mulutnya.
Pian menangkup tangan, memegangi dadanya, haru. "BBN, mah. Mamah yang bilang kalau saya boleh bayar nanti."
Mamah terlihat berdecak, lalu terkekeh melihat Pian lesu saat beranjak duduk di bangkunya.
Disini bukan hanya ada kelas sebelas. Kelas sepuluh sampai kelas dua belaspun ada. Hanya saja di warung mamah ini anak lakilaki lebih mendominan, hampir tidak ada anal perempuan yang berani memasuki wilayah ini kalau gak mau ongkos pulangnya habis karena dipalak.
Toni adalah anak kelas dua belas yang sebentar lagi akan menghadapi ujian nasional. Tapi dia tidak pernah absen bolos dan lari kewarung mamah, tanpa ketahuan. Dikelas cowok itu hanya menitip absen, setelahnya dia bebas kemana saja. Seperti nongkrong diwarung mamah sambil nonton siaran televisi.
Bukan berarti mamah mengijinkan. Sudah berkali-kali Toni di nasehati olehnya. Begitu pula Toni, sudah berkali kali dia mengacuhkan nasihat mamah.
Bebetapa guru pernah menegur warung mamah akibat ada yang mengadu kepada kepala sekolah bajwa toni sering absen dan kabur ke warung mamah. Sampai akhirnya benerapa minggu toni insyaf, setelah itu sakitnyabkumat.
Seperti sekarang, mamah sudah masuk kedalam dapurnya untuk mengambil katel karena air untuk membuat es teh sisri sufah habis. Toni berdiri di belakang Delvin dan teman-temannya, dia menedeng tangan setelah menepuk pundak delvin yang sedang menikmati mie instannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Abu Abu
Teen FictionKamu dan Aku adalah jarak. Kamu dan Aku adalah batas. Kamu dan aku adalah sesuatu yang sukar bersatu. Kamu dan aku adalah waktu yang tidak akan bertemu. Namun, terimakasih. Karena hadirnya kamu dan aku memberi mereka (yang bernasib sama) mendapat...