Lima

43 9 6
                                    

Arisha memperat pegangannya pada tas punggungnya. Dia baru saja membayar ongkos angkot yang selalu mengantarnya sampai depan halte. Halte itu berada berhadapan dengan gerbang sekolahnya, jadi arisha hanya perlu melambai-lambaikan tangan untuk bisa menyeberangi jalan lalu bergegar menuju gerbang.

Pak Mono sudah bersidekap dada di depan gerbang, menunggu arisha yang sedang berjalan cepat sedikit berlari sampai dan masuk kedalam lingkungan sekolah. Setelah tubuh arisha sepenuhnya masuh, pak Mono langsung menggeser pagar besi dan menguncinya.

Arisha menoleh sedikit kearah pak Mono yang sedang mendorong pagar besi, "Makasih, pak Mono!" sebelum dia berlalu seraya melambaikan tangan. Dan pak Mono mengacungkan jempolnya sebagai jawaban.

Karena kejadian semalam arisha tak bisa tidur, sampai akhirnya hari ini dia harua tergesa-gesa menuju kelasnya yang mungkun sudah di mulai sejak lima menit yang lalu.

Walaupun arisha mengetuk-ngetuk kaca jam arlojinya, tetap saja waktu terus berputar dan dia harua segera mencari alasan agar bisa lolos dari hukuman bu Endang nanti.

"Tumben, telat." suara itu mengalihkan pandangan arisha dsri depan.

Disampingnya terkihat Raka yang sedang berjalan menyamai langkahnya sambil menenteng sebuah buku ditangannya. Dia baru saja keluar dari perpustakaan, pikir arisha sambil berbelok menuju koridor selanjutnya.

"Belum ada guru, kan?" Arosha melirik Raka sekilas sebelum kembali menatap kedeoan, mempercepat langkahnya.

"Tadi, sih belum. Tapi sekarang gak tau. Ini gue abis ambil buku di perpus, kata bu Endang mau ada tugas." jawab Raka sebari menunjukan sampul buki yang dia bawa.

Terdengar arisha menghela napas lega sambil bergumam, "Untung aja," Raka perhatikan tangannya sedang mengelus dada,saking leganya. "Untung ada lo. Kalaupun bu Endang udah ada di dalam kelas, gue jadi punya alasan buat gak kena hukuman hari ini." disusul langkah yang mulai santai.

Raka terkekeh kecil, selama dia mengenal arisha sifatnya mungkun tidak bnayak berubah. Tentang arisha yang tidak ingin mendapat hukuman setelah melakukan kesalahan, seperti sekarang.

"Lagian, tumben banget telatnya sampe lima belas menit. Kenapa?" tanya Raka seraya menggulung buku yang dibawanya dari perpustakaan.

Cewek yang diajaknya bicara yerlihat sedang berpikir sejenak, sebelum dia memutuskan untuk angkat bicara. "Putus sama Delvin,semalam." aku Arisha.

Raka mengangkat alisnya lumayan tinggi sewaktu arisha masuh sibuk menatap lurus kedeoan tidak tertinduk rapuh namun Raka pikir itu tatapan paling kosong yang pernah dia lihat.

"Lagi?" katanya seolah tak percaya dengam ucapan Arisha barusan.

Baru setelah cewek itu mengangguk Raka percaya dan ikut memperlihatkan senyum sinis kearah Arisha. Berhasil menghunus pandangan cewek itu yang terpaku pada sebuah tong sampah organik.

"Bagus, dong. Jadikan lo bisa lebih fokus latihan paskibra sama belajar buat UKK nanti." itu pengucapan bela sungkawa terbaik atas kandasnya hubungan Arisha dan Delvin menurut sudut pandang Raka, lagi.

"Iya, tau hubungan gue sama Delvin itu emang gak sehat. Sebulan bisa 29 kali putus. Tapi cara lo berbelasungkawa tentang hubungan gue, bikin gue mikir kalau gue bisa makin gak fokus belajar kayak lo." sahut Arisha yang tiba-tiba ingin segera sampai di dalam kelasnya untuk menghindari pertanyaan konyol apa lagi yang akan Raka pertanyakan.

"Gue serius, lagi." balas Raka. Dia berusaha menyamai langkah Arisha yang semakin lama semakin melaju, agar tetap di sampingnya sampai di depan pintu kelas nanti.

"Lagian hubungan putus nyambung itu bikin jenuh. Kalau menurut gue, Delvin emang gak pernah bisa berubah."

Dua langkah lagi menuju pintu kelasnya Arisha harus bergelut dengan rasa kesal dan juga senang karena Raka. Dia tersenyum sinis setelah berhenti membuka langkah, "Hubungan gue sama Delvin emang bikin jenuh. Tapi ada saat-saat dimana gue ngerasa bahagia miliki dia, Ka."

Setelah kejadian semalam, emosi Arisha jadi semakin mudah tersulut. Bahkan pada Raka yang tidak pernah membuatnya kesal sekalipun. "Gue gak berpikir dia gak bisa berubah, karena berubah itu urusan dia sama hatinya. Bukan berdasarkan pandangan lo, gue atau orang di sekitarnya." Arisha berkecak pinggang sambil memiringkan kepalanya, melihat Raka diam saja membuatnya gatal ingin bertanya terus terang, "Lo gak lagi berusaha deketin gue lagi, kan Ka?"

Alis Arisha terangkat bersama dengan bibi Raka yang mengatup kuat. Darisana Arisha tahu bahwa cowok itu sedang berusaha tersenyum dihadapannya.

Kejadian satu tahun lalu langsung berputar di pikiran Raka saat itu juga. Bagaimana wajah Arisha yang bahagia setelah menerima pernyataan cinta dari Delvin, dan bagaimana kebingungannya dia ketika tahu bahwa sahabatnya sendiri jatuh cinta kepadanya sejak lama.

Tapi, untuk masalah hati Raka bisa mengontrolnya sampai detik ini. Detik dimana--untuk kesekian kalinya--dia mendengar Arisha putus dari Delvin.

Raka menggeleng, "Bener kata lo, Sha. Setelah satu tahun yang lalu lo pilih Delvin dan ninggalin gue di depan sekolah. Hidup gue sengaja gue dedikasikan untuk bernapas dan belajar. Siapa tau nyokap bokap bisa berubah."

Tatapan sendu langsung tertangkap oleh mata cerdik Arisha, bagaimana cara Raka memandang lantai kramik bergaris dibawahnya sekarang sama seperti bagaimana tatapan Arisha saat melihat Delvin menggoda adik kelas di depan matanya, kecewa.

Raka memasukan sebelah tangannya kedalam saku celana setelah mendapat senggolan bahu dari Arisha. "Ada perkembangan?" tanyanya sambil mengajak jalan Raka.

Raka menuruti, dia mengangkat bahu dengan wajah ragu."Sedikit. Tapi gue gak yakin. Nyokap-bokap tetep sibuk. Mereka cuma negur gue pas lagi kebetulan gue lewat didepan mereka. Selebihnya mereka merasa kalau dunia ini milik mereka masing-masing, gak ada gue."

Karena terbawa suasana, Arisha mengambil langkahnya pelan sambil mendengarkan cerita Raka yang lagi-lagi merasa kurang perhatian dari kedua orang tuanya.

"Yang jelas lo udah berusaha cari perhatian mereka. Jangan sampai rasa benci itu tumbuh sekecil apapun." saran, arisha.

"Hampir. Sedikit lagi, mungkin. Menurut gue perasaan seorang anak juga bisa berubah kapan aja. Sekarang atau nanti, rasa benci itu pasti ada."

Di depan pintu kelas yang tertutup, Arisha kembali berhenti, mengapit tangannya lalu memutar menghadap Raka yang masih pada posisi terakhirnya.

Rasa yang pernah Raka buat mati dan hilang itu kembali bergetar ketika Arisha menggenggam kuat kedua bahunya. didepan pintu kelas yang tertutup itu menjadi saksi, bahwa Raka sadar, bola mata teduh Arisha masih memiliki hak besar pada ruang kosong yang ada didalam hatinya.

Terlebih lagi sewaktu Arisha menatapnya tajam sambil berkata, "Ini pesan dari gue. Dari orang luar yang berusaha mengerti keadaan lo." Raka mengerjap sewaktu Arisha menarik napas panjang. "Sebelum lo bener-bener benci sama mereka. Lo bisa bayangin gimana perjuangan mereka buat ngebesarin lo, ngasih lo makan sampai saat ini."

Kesalahannya akan semakin fatal jika Raka tidak memindahkan tangan Arisha pada tempatnya, "Gue gak yakin tumbuh besar karena mereka. Gue ngerasa besar sendiri, Sha." katanya.

Jawaban Raka membuag Arisha membutuhkan waktu untuk berpikir. Memangut sambil menggesek pelipisnya, Raka tersenyum geli melihat wajah Arisha yang dipaksa berpikir.

"Kalau gitu, berpikir aja kalau gak ada mereka gak akan ada pula yang namanya Raka di dunia ini. Gimana?" Raka tertawa melihat Arisha menjentikan jarinya semangat.

"Mungkin. Gue coba." kali ini, Raka menatap Arisha dengan wajah seriusnya disaat cewek itu sedang tersenyum senang karena sarannya mudah di terima.

"Kadang gue iri sama lo. Keluarga lo pasti penuh perhatian, terbukti dari cara lo nikmati hidup dan mungkin cuma Delvin yang bikin hidup lo kacau." ujarnya, "Ajarin gue biar bisa kayak lo ya, Sha."

Arisha memandang Raka ganpa berkedip.

***

6 Desember 2019

Dunia Abu AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang