Empat

61 9 2
                                    

Diam-diam, Delvin mengayunkan sebelah tangannya kedepan. Hampir berhasil meraih tangan Arisha kalau saja cewek itu tidak berjingkrak menjauh saat melihat sesuatu yang menurutnya menarik perhatian.

Tangan Delvin langsung mengepal, bukan tangan Arisha melainkan menggenggam kosongnya udara akibat gagal. Tapi tak pelak dia tetap mengikuti kemana arah Arisha berlari seatusias tadi.

Ternyata kakinya berhenti di sebuah toko peralatan rumah tangga, yang entah kenapa Arisha justru menikmati pemandangan panci dan piring-piring yang di gantung.

Bibirnya ditarik kebar membentuk sebuah senyum lima jari, "Vin, coba tebak ini apa?" menggunakan kedua tangannya Arisha mengangkat sebuah cangkir berwarna putih polos dari toko tersebut.

"Gelas, buat minum. Emang apa lagi?" tepat ada poinnya, Delvin memberi jawaban yang tidak ingin Arisha dengar.

"Omongan lo masih manek di pelajaran anak TK ya, Vin. Gak perlu lo perjelas juga semua orang bisa jawab, kalau ini, tuh gelas. Kecuali orang yang gak bisa lihat." Arisha mengangkat tinggi cangkir ditangannya, seperti sedang mendeklarasikan sesuatu yang sangat penting. "Maksud gue makna dari gelas ini." tambahnya sambil memicingkan mata, kesal.

Delvin terlihat berpikir sejenak, sebelum akhirnya dia mangut-mangut sampai senyum Arisha mengembang.

"Kayaknya pas pelajaran tentang makna-makna gelas gue gak masuk deh, Sha." jawabnya, "Jadi pertanyaan lo bisa di ganti sama yang lebih gampang dikit, gak?" Delvin mencoba menegosiasi Arisha.

Bukan Arisha namanya kalau dia tidak berdecih sambil berkecak pinggang setelah mendengar jawaban stack dari Delvin, barusan. "Serius lo gak tau?"

Sepasrahnya Delvin ketika dia memasang wajah memelas sambil geleng-geleng kepala di hadapan Arisha.

"Nih, ya gue kasih tau," Arisha mengambil posisi untuk menjelaskan. "Lo gak perlu banyak makan buat tetep hidup, tapi lo butuh air dan udara buat tetep bertahan hidup," semoga Delvin mengerti apa yang sedang Arisha jelaskan saat ini, karena tampangnya yang tidak meyakinkan, Arisha mengangkat tinggi cangkirnya di hadapan Delvin. "Anggap aja cangkir ini sumber air lo, dan gue bakal tulis nama gue disini. Yang artinya gue dan cangkir ini adalah dua komponen berarti buat lo bertahan hidup."

Jangan salahkan Delvin kalau dia tetap berwajah pelongo ketika Arisha mengeluarkan spidol permanen dari dalam tas ranselnya. Delvin hanya memeperhatikan dengan seksama, sewaktu tangan kecil Arisha menulis namanya sendiri pada dasar cangkir polos tadi.

Begitu rapi dan indah. Jelas saja, Delvin tidak akan memungkiri kalau kualitas jabatan sekretaris organisasi pakibra yang Arisha duduki sangat berkelas dan perlu di acungi jempol.

Mungkin Delvin masih belum memahami apa yang dikatakan Arisha barusan, tapi saat Arisha membayar cangkir tersebut dan memberikannya pada Delvin, jadilah cowok itu memiliki cangkir istimewa. Cangkir dan nama sumber kehidupannya.

Jerit suara kucing jantan dan betina yang berperang di atas atap rumah Arisha berhasil menyadarkan Delvin pada satu hal, bahwa baru saja dia melamunkan tentang Arisha dan cangkir itu. Cangkir yang pernah dipakainya beberapa bulan lalu di pinjam Arisha beberapa hari yang lalu.

Sesegera mungkin Delvin memasukan ponsel matinya kedalam saku celana, karena malam akan semakin larut. Lagi, sebelum Delvin siap untuk melangkah pergi. Cangkir itu mengusik pikirannya, matanya terfokus pada cangkir yang saat ini sedang berada di atas bale. Pikirannya berkecamuk, bagaimanapun juga cangkir itu masih berstatus miliknya. Bahkan jika mengingat keadaan disekelilingnya sepi, tidak ada alasan jelas untuk Delvin meninggalkan cangkirnya sendirian.

Karena pemikiran tersebut, Delvin meraih gagang cangkir tersebut kemudian memasukannya kedalam tas setelah memastikan isi didalamnya sudah kosong dan kering.

Dunia Abu AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang