Yura sedang memangut wajah, memperhatikan buku catatan di depannya. Sesekali dia melirik buku catatan lain di samping buku catatan miliknya, lalu menggaruk kepala karena terlalu rumit.
Beberapa rumus terlihat tumpang tindih, seperti rumus pembagian akar yang di sampingnya di tulis angka-angka yang berkesinambungan. Catatannya terlihat tidak rapih, membuat Yura sukar mengerti.
Raka baru saja kembali dari ruang Bu Endang, dia membawa beberapa lembar kertas dan menaruhnya diatas meja.
Yura menyadari kehadiran Raka, dia menggeser posisinya menjadi di pojokan bangku, dekat dinding yang diatasnya terletak kaca jendela.
Raka ikut duduk di bangku kosong, wajahnya ramah memandang buku catatan Yura yang baru terisi beberapa baris.
"Kenapa? Bingung ya?" tanya Raka.
"Nggak, kok." jawab Yura.
Raka terkekeh kecil, "Itu ngangguk?"
Yura nyengir setelah sadar dia berkata tidak dan nalurinya mengatakan iya, bahkan dia mengangguk ketika menjawab barusan. "Ini, gue gak ngerti karena tulisan lo tumpang tindih." ucapnya, ragu.
Raka menarik bukunya, "Yang mana?" matanya tak turut berpaling dari buku catatannya. Walau dia merasa bahwa saat ini Yura sedang mengamati cara bicaranya.
"Ini." tunjuk Yura pada sebuah rumus pembagian akar kuadrat. "Jadi kenapa ada angka dua ini di dekat angka enam?"
Raka menoleh karena merasa tidak nyaman. Seketika Yura berpaling menatap buku tulis yang di pegang Raka, agar pandangan mereka tidak bertemu.
Lalu Raka kembali memfokuskan matanya pada buku catatan, "Ini contoh soalnya. Karena setiap materi gue usahakan ada di dalam satu lembar yang sama, supaya gue gampang menghafal. Jadi kelihatan tumpang tindih, gini. Maaf, ya."
Raka mengangkat dagu, disusul Yura yang melakukan hal yang sama. Cewek itu mengangguk, hampir paham walau tidak semua dia paham. Seperti kenapa kupu-kupu itu bermunculan di dalam perutnya saat jam les privatnya bersama Raka mulai?
"Pinjem buku Arisha deh biar lebih rapih. Dia kalau nulis rapih banget. Lebih rapih dari ketika Microsoft word malah." Raka tertawa setelahnya.
Sebisa mungkin Yura ikut tertawa, padahal dia tak tahu apa yang lucu dari ucapan Raka barusan. "Oke, kayaknya gue pinjem buku catatan Arisha aja, ya."
Raka mengangguk sambil menutup buku catatannya. Tak lupa dia tersenyum menghadap Yura sebelum meraih lembaran kertasnya.
"Ini apa?" tangan Yura menyentuh lembaran kertas yang belum sempat di kumpulkan Raka.
"Materi buat gue pidato nanti." Raka menyambut uluran Yura yang memberikan kertas itu padanya.
"Jadwal lo padat banget, ya? Gak habis pikir gue ada murid serobot lo di jaman sekarang." Yura menggelengkan kepala heran. Tangannya bergerak meraih pulpen yang tergeletak.
Raka mengetukan semua kertasnya di atas meja, berniat untuk merapihkannya agar lebih beraturan lagi. "Serobot itu apa gue dimata murid baru kayak lo?" lalu meletakannya kembali diatas meja sambil tertawa pasif.
Yura semangat mengangguk, "Serius, gue. Di sekolah gue yang lama gak kayak gini, lho." dia memutar posisi duduk menghadap Raka, melihatnya dari samping. "Gue yang anak guru aja gak gini banget, Ka." ucapnya.
Raka tetap pada posisinya, tak berniat merubahnya. Dia sedang mengamati hasil tulisannya yang beberapa ada coretan tinta merah, hasil revisi Bu Endang barusan. "Gue cuma gak mau sia-siain masa sekolah gue. Setahun lagi, kita udah gak bisa di sebut anak sekolah. Kita bakal jadi mahasiswa, dan hidup di dunia sebenarnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Abu Abu
Teen FictionKamu dan Aku adalah jarak. Kamu dan Aku adalah batas. Kamu dan aku adalah sesuatu yang sukar bersatu. Kamu dan aku adalah waktu yang tidak akan bertemu. Namun, terimakasih. Karena hadirnya kamu dan aku memberi mereka (yang bernasib sama) mendapat...