Dua puluh tiga

8.2K 1.2K 132
                                    


"Bagusan yang mana ya?" Saga menggedikan bahu. Mana ia tahu mana alat lukis yang bagus atau tidak. Dia cuma mengekori Nadine dari tadi. Mereka menghabiskan waktu dengan jalan-jalan di sebuah Mall.
"Ih percuma ngajakin kamu Ga, dari tadi gak bisa milihin buat aku!!" ungkap Nadine kesal dan memukul pelan bahu Saga. Kalau begini tadi lebih baik mengajak Icha saja. Selera Saga itu payah bin terlalu jadul.
"Kamu pergi sama aku, istri kamu gak marah?"

"Senja santai banget orangnya, dia itu jarang marah." Nadine memilih sebuah kanvas halus berukuran tebal. Ia memang gemar melukis namun saat di Amerika, kesenangannya harus ia tahan karena suaminya tak pernah setuju jika dirinya menggoreskan cat air di atas kanvas. Romi selalu menyuruhnya untuk berdandan layaknya perempuan terhormat dan high class. Hidup Nadine seperti burung dalam sangkar emas walau begitu ia tetap mencintai sang suami.

"Ceritain dong tentang istri kamu." Saga berpikir sejenak lalu mengetuk-ngetuk jarinya di dagu. Ia berpikir keras, menggali pikirannya tentang Senja. Sejujurnya ia tak tahu banyak, Saga tak pernah mendengar Senja mengeluh padahal bisa dikatakan hidup mereka tak mapan tapi nyaman.

"Dia manis juga penurut."

"Terus?"

"Dia pintar mengurus rumah juga aku. Dia juga udah skripsi padahal aku aja jarang masuk kuliah. Senja itu sabar dan dia kalau sedih bakal diam aja, dia juga care sama anak bengkel." Nadine mengamati mata Saga dengan seksama. Ada binar bahagia saat adik sepupunya itu menceritakan tentang sang istri. Saga sudah besar sekarang, dia tak akan menangis hanya karena jatuh dari sepeda, atau akan ngambek jika tidak di beri permen. Semuanya berubah, mereka telah tumbuh dewasa. Bayangan Saga memanggilnya kakak dan mengekor ke mana dia pergi hanya jadi kenangan indah.

"Kamu mencintai dia?"

Saga memejamkan mata sejenak mencari jawaban di dalam hati. Sayangnya saat kini bersama Nadine hatinya gelisah. "Cinta gak di butuhkan dalam penyatuan Raga."

Karena sebal dengan jawabnya Saga yang nakal, Nadine memukul kepala orang yang telah ia anggap sebagai adiknya itu dengan wadah cat air. "Tapi menurut aku, kamu cinta sama Senja."

"Jangan bahas cinta, cinta itu bikin pusing. Udah selesai kan kita bayar ya sekarang?" Nadine berdecih, sampai kapan si Saga itu akan membohongi hati kecilnya. Saga begitu semangat ketika menceritakan tentang sang istri. Berarti apa yang di katakan tante Devi tak benar. Senja bukan gadis gila harta, buktinya perempuan itu mau susah hidup bersama Saga di bengkel yang kumuh.

🌻🌻🌻🌻

"Harusnya aku gak ngajak kamu ke toko baju." Gerutu Nadine yang melihat Saga menguap kebosanan, berdiri di dekat salah satu manekin. Ia bosan bila menemani seorang perempuan memilih pakaian. Baginya pakaian sama saja, apa yang perlu di pilih sih.

"Aku benci nunggu perempuan belanja!!"

"Harusnya aku ajak istri kamu aja ke sini!!" Kenapa Senja harus dibahas terus saat mereka hanya berdua. Saga merasa bersalah saja, semakin lama ia bersama Nadine semakin hatinya gelisah memikirkan Senja. Sedang apa istrinya itu ya? Saga tentu tak bermaksud berkhianat namun hatinya seakan mengejek.

Tanpa Nadine dan Saga sadari. Sedari tadi ada Farah yang melihat ke akraban keduanya dengan tatapan curiga. Siapa perempuan cantik yang di gandeng Saga itu ya? Apa pacar barunya? Saga memang siluman buaya.

"Ukuran baju istri kamu berapa?"

"Aku gak tahu."

"Keterlaluan banget sih kamu Ga. Kamu gak pernah apa beliin dia baju?" Nadine memandang sahabat masa kecilnya dengan sengit. Saga masih sama cuek dan dingin seperti dahulu. "Ini baju cocok pasti buat Senja." Ia mengangkat kemeja bewarna merah muda lalu melihat ukurannya. "M pasti muat kan?".

Senja dan Saga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang