Sembilan belas.

8.6K 959 38
                                    

Troy sekali lagi meneguhkan hatinya
kembali ke sini, ke rumah ibunya. Ia akan meminta penjelasan pada orang yang telah melahirkannya itu. Kalau pun Troy harus di tolak kembali. Ia akan tetap gigih berdiri di depan pintu sampai pintu rumah terbuka atau kalau perlu Troy akan mendobrak paksa.

Tok... tok... tok..

Troy menarik nafas. Ia menyiapkan diri jika ditolak atau sampai diusir kasar atau bahkan mendapatkan kata-kata pedas.

Ceklek

Benar saja, begitu pintu terbuat dari kayu terbuka. Helen yang mengetahui kalau Troy yang bertamu. Pintu itu siap di tutup oleh sang penghuni. "Mamah."

Troy menodong pintu itu dengan sekuat tenaga. Helen menahan pun percuma, tenaga wanita yang hampir memasuki usia 50 tahun itu tak sebanding dengan laki-laki muda seperti Troy. Ia menang, karena dengan tega mendorong Helen hingga tubuh ibunya itu oleng walau tak sampai jatuh.

"Mau apa kamu ke sini lagi?" tanya Helen dengan nada bicara tak menyenangkan. Inikah yang Troy dapatkan setelah penantiannya bertahun-tahun. Ia tersenyum sinis. Bukan rasa rindu yang ia terima tapi kata keras sarat akan penolakan.

"Mamah!!"

"Jangan panggil saya, mamah. Saya bukan mamah kamu. Saya gak kenal kamu siapa?" Hati Troy terasa remuk redam. Keinginan untuk didekap dan di akui sebagai anak sirna sudah. Perempuan yang di panggilnya sebagai mamah, tetap berkeras hati. Tak mau menerimanya.

"Saya tahu, mungkin kehadiran saya di rumah anda tak diinginkan. Saya hanya menanyakan kepada anda, selaku orang yang telah melahirkan saya." Jantung Helen teremas kencang. Ia tak ingin memperlakukan Troy selayaknya orang asing namun apa daya, keputusan awalnya tak berubah. Ia memilih Senja, memilih putrinya berarti harus melepas putranya.
"Kenapa anda memisahkan saya dengan adik satu-satunya yang saya punya, kenapa?"

Tanya Troy lirih dan penuh dengan nada memohon. Ibu mana yang tidak akan runtuh pertahanannya jika di hadapkan dengan putra kandungnya sendiri. Dengan sekuat tenaga Helen menggigit bibir bawahnya. Guna menahan tangisnya yang sudah berdesak-desakan mau luruh.

"Omong kosong apa yang kamu bicarakan. Adik siapa yang kamu maksud?" Namun rasa pengar akibat kesedihan yang menggumpal dada naik ke hidung. Air mata Helen seperti bom atom yang siap meledak, meluluh lantahkan pertahanannya. Matanya sudah berkaca-kaca. Tinggal menunggu hitungan detik Air matanya akan merajai pipi.

"Senja." Mata Helen membulat sekejap, saat nama putrinya di sebut namun ia teguhkan hati tetap kokoh berdiri memegang handle pintu. "Dia adik saya, adik yang saya anggap sudah tiada." Helen kuat menahan emosi namun tak dengan Troy. Ia menangis serta memohon sebuah belas kasihan dan kasih sayang. "Kenapa anda tega meninggalkan saya?"

Helen tetaplah seorang wanita, seorang ibu yang akan lemah jika melihat anaknya bersedih. Air matanya turun dengan sangat deras. "Karena itu pilihan, dimana saya harus meninggalkan satu untuk anak saya yang lain."

"Mamah."

Troy meraih tubuh yang terbalut kemeja maroon itu. Meski pelukannya tak kunjung di balas namun ia puas menghirup aroma tubuh sang mamah.
Harusnya Helen tetap berdiri kokoh namun apa daya hatinya terlalu cengeng. Ia menangis meraung-raung di pelukan anaknya. "Kenapa kamu harus kemari? Harusnya kamu udah bahagia, jadi pewaris, gak kekurangan apa pun dan mengharapkan kedatangan kami kembali".

"Mamah, Troy kangen. Troy gak mau diusir lagi."

"Kamu harusnya menjauh, mamah gak bisa menjamin ketenangan dan keselamatan Senja kalau kamu ada bersama mamah." Semua hanya karena kakeknya. Tentu saja pria tua itu memisahkan anak dan ibunya, memanipulasi keadaan, mengatakan bahwa Troy yang hanya si tua itu punya. Membuat poros hidup Troy hanya padanya. Membuat adik dan kakak harus terpisah lama.

Senja dan Saga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang