VIII

582 82 0
                                    

Kenyataan besar itu datang ketika aku menangani korban tabrak lari bersama Sasori di instalasi gawat darurat.

Selama ini, aku tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi.

Tuhan mempertemukanku kembali dengan ibu peri penolongku.

Aku tak bisa berkata-kata. Aku sangat yakin wanita paruh baya yang tergeletak penuh darah itu adalah ibu peri. Mataku berkaca-kaca. Kali ini giliran aku yang harus menolong ibu peri. Sebisa mungkin aku menolongnya agar nyawanya terselamatkan.

Namun, Tuhan berkehendak lain.

Aku menangis sejadi-jadinya. Kenapa, Tuhan? Kenapa Kau mempertemukan kami di keadaan seperti ini? Aku ingin balas budi padanya. Tapi, apa? Aku malah gagal menolongnya.

Aku tahu ini sudah ketetapan Tuhan. Dan, aku tak bisa mengelaknya.

Kurengkuh tubuh dingin ibu peri seraya terus menangis. Sasori berupaya menenangkanku, tapi tidak berhasil. Hingga tiba-tiba terdengar derap lari seseorang memasuki ruangan ini.

"Kaa-san!"

Aku terpaku. Suara ini sangat familiar bagiku. Kugerakkan kepalaku pelan-pelan untuk melihat si pemilik. Dan.. deg. Jantungku berpacu cepat. Meski surai rambutnya memanjang, tapi aku tahu kalau dia itu--

"Jangan tinggalkan aku, kaa-san! Aku tidak ingin sendirian! Ayo bangun! Kumohon bangunlah!"

Tidak. Aku pasti salah dengar. Tidak mungkin jika ibu peri adalah ibu dari si playboy Uchiha.

Tapi, kenyataan tetaplah kenyataan. Saat aku melirik data korban, ternyata ibu peri memang bermarga Uchiha. Uchiha Mikoto, itulah nama lengkapnya.

Begitu pula dengan wajah mereka. Ternyata selama ini aku merasa familiar dengan wajah si palyboy itu karena mirip dengan wajah ibu peri.

Aku tak pernah menduga ini sebelumnya. Ini benar-benar memukulku.

Di saat aku merenungi, di situlah si playboy Uchiha membentakku. Aku terkejut luar biasa, begitupun dengan Sasori dan beberapa perawat di sini.

"Untuk apa kau menangisi ibuku!? Bukankah ini semua salahmu!?"

Aku mendongak, memperhatikan onyxnya yang berlinangan air mata menatap seluruh orang yang ada di sini.

"Kalian semua sama! Tidak ada yang becus dan serius menolong ibuku! Bahkan aku sendiri pun sama sekali tak bisa berbuat apapun! Aku--"

Greb!

Ini gila. Tubuhku refleks memeluk si playboy itu yang jatuh terduduk. Aku tak tahu kenapa, tapi yang pasti aku ikut merasakan apa yang ia rasakan. Kupeluk tubuhnya erat dengan terus menangis. Bisa kurasakan bajuku basah karena air matanya tak kunjung reda.

Aku heran kenapa aku sepeduli ini padanya, mengingat sebelumnya aku sangat membencinya. Bahkan saat menjadi tontonan orangpun aku tidak peduli.

Hingga akhirnya Sasori menyuruh kami tenang, karena setelah ini akan dilakukan pemindahan ke ruang jenazah.

Aku melepas pelukanku dan dia mengusap air matanya. Dia mendongak dan membuat kami berpandangan satu sama lain.

Sejak saat itulah, aku menyadari sesuatu.

Menyadari bahwa... hatiku mulai bergetar tiap kali onyxnya memandang emeraldku.

..ooOOOoo..

Diary Of Haruno Sakura [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang