XII

585 71 0
                                    

Aku putuskan berangkat ke Inggris setelah tahu dari Kakashi bahwa si Uchiha itu sedang membangun perusahaan baru di sana. Aku berpikir, mungkin Kakashi lelah menanggapiku atau mungkin dia telah melihat usaha dan keseriusanku selama 2 tahun ini, hingga dia pun membocorkan rahasia bosnya padaku.

Walau terkesan terlambat, tidak ada salahnya kucoba memperjuangkan perasaanku. Setelah mendapat dukungan dari teman-teman, ijin dari ayah dan ibu, serta diberikan cuti oleh Tsunade-sama--pemilik Tokyo's Hospital--, aku benar-benar pergi ke Inggris seorang diri.

Jantungku berdebar kencang membayangkan bagaimana sikapnya dan sikapku nanti saat kami sudah bertemu. Aku takut. Akankah dia mengusirku sebelum aku sempat mengungkapkan perasaanku?

Dan, ini menjadi kenyataan.

Setelah bersusah payah mencari letak perusahaan Uchiha, aku akhirnya bertemu dengannya. Dia terkejut melihat kedatanganku di sini. Dia heran dan meminta penjelasanku setelah menarikku masuk ke dalam ruangannya.

"Kenapa kau ke sini?"

Aku hanya diam hingga membuat dia menggeram kesal.

"Jawab sebelum aku mengusirmu, Sakura."

Nah, benar, kan? Dia mau mengusirku. Buru-buru kujelaskan alasanku datang ke sini menemuinya.

"Aku merindukanmu."

Kalimat pembukaku itu sontak membuatnya lebih terkejut.

"Jangan menghindariku lagi seperti ini. Aku mohon.. aku.. aku rindu. Aku tak tahu apa yang terjadi pada diriku. Yang jelas ku rasa aku.." Mataku terpejam merasakan jantungku berdebar cepat ditatap seintens itu olehnya.

"Aku mencintaimu."

Akhirnya kalimat itu keluar dari mulutku.

Onyxnya lagi-lagi memancarkan keterkejutan. Kubalas dengan emerald penuh keyakinan, dia malah menarik senyum mengejek.

"Secepat itukah perasaanmu berubah? Dulu kau mencintai Naruto dan kini berbalik mencintaiku. Apa kau tak berpikir jika semua itu hanya semu?"

Semu? Kupikir tidak. Aku sudah memikirkan baik-baik perasaanku. Dan, ini nyata.

"Perasaanku tidak berubah secepat itu. Kandasnya hubunganku dengan Naruto pun sadar atau tidak, kau juga ikut andil di dalamnya."

"Maksudmu?" Dia menaikkan satu alisnya tidak terima, namun aku memilih tidak menjelaskan.

"Butuh 8 tahun lebih aku mulai meyakinkan diriku untuk kembali membuka hati. Dan, itu bertepatan dengan hadirnya kau yang kembali datang dalam hidupku."

Kulihat dia hanya menatapku dalam diam. "Kau datang dengan kondisi terpuruk kehilangan ibumu, yang mana ibumu adalah ibu peri penolongku saat aku kecil dulu."

Aku mulai terisak mengabaikan dirinya yang terkejut ingin menyela. "Aku ikut sedih. Aku merasa bersalah. Ibumu sangat berjasa untukku tapi aku tak bisa membalas menolongnya. Lalu aku bertekad ingin membalas jasanya dengan cara lain. Yaitu membuatmu keluar dari keterpurukan. Awalnya niatku seperti itu, tapi hatiku sungguh sesak melihatmu sedih seorang diri, tanpa ada yang menemani. Aku ingin merengkuhmu. Aku ingin meraihmu. Aku ingin--"

"Hentikan semua omong kosongmu!"

Aku terkesiap mendengar bentakannya.

"Percuma kau lanjutkan karena aku tidak mempercayaimu."

Dia membalikkan badan seperti ingin menyembunyikan ekspresi wajahnya. Dengan cepat, aku menggeleng.

"Aku bersungguh-sungguh!"

"Cih, kau ada bukti?" Sesaat kemudian, dia kembali menghadap padaku. "Kau berani membuktikannya padaku?"

Huh? Dia tidak mendengarkanku, ya? Apa sebuah ucapan belum bisa membuatnya percaya? Apa kedatanganku ini belum bisa membuktikannya?

"Baik, akan kubuktikan."

Dia langsung menyeringai setelah aku memberikan jawaban seperti itu. Kurasakan sinyal berbahaya saat onyxnya mulai menggelap.

"Berikan hal berhargamu padaku maka aku akan percaya padamu."

Hal berhargaku? Memang apa? Mobil? Perhiasaan? Uang? Jam tangan?

Pasti tidak.

Dia tak mungkin menginginkan hal semacam itu. Lagipula dia orang kaya yang bisa membeli barang berkali-kali lebih banyak dan mahal.

Ku bertanya lebih spesifik padanya, dia tak menjawab. Tiba-tiba--

Brugh!

Dengan cepat, dia menghempaskan tubuhku di atas sofa. Emeraldku melebar saat tahu apa yang dia inginkan tatkala dia menindihku.

Aku berusaha melepasakan diri, tapi gagal. Bibirnya telah menawan bibirku.

Aku mengerang merasakan pasokan udaraku mulai menipis. Untungnya dia peka dan segera menjauh dari bibirku. Namun, itu tak berlangsung lama karena dia kembali menciumku.

Oh, Tuhan, ini salah. Aku memang mencintainya, tapi bukan ini yang ku mau.

"Tidak! Hentikan!"

Kudorong tubuhnya sekuat tenaga ketika dia mulai menyerang leherku. Dia menatapku datar dan mataku berkaca-kaca.

"Bukan maksudku menolakmu. Aku hanya tidak mau memberikannya ketika kita bahkan belum punya ikatan apapun."

"Jadi, kau ingin kita menikah? Begitu, hn?"

Dia mengatakan itu dengan nada dingin seolah-olah tak lagi memiliki perasaan padaku.

"Jika memang itu yang kau inginkan.."

Onyxnya menyendu.

"...kau akan bernasib sama seperti keluargaku."

..ooOOOoo..

Diary Of Haruno Sakura [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang