Faded | Chapter 13 - Cara terbaik untuk mencintai

5.7K 713 49
                                    

Ramein yaaaa, Author baru update lagi soalnya hehe..

Hapunten, loba typo-nya.....

|||

"Mau langsung pulang, Saf?"

Safaa menoleh sejenak, kemudian menganggukkan kepalanya. Ia sudah cukup lelah bekerja seharian, dan tidak langsung pulang saat jam pulang telah tiba, merupakan hal buruk baginya. Belum lagi, hari ini badan Safaa sangat-sangat tidak bisa diajak kompromi untuk sekedar berhanti di jalan guna membelikan makanan untuk Mama dan Adiknya. Siang tadi, Safaa bahkan harus menghabiskan satu kotak tissu untuk menyusut darah yang hampir selalu keluar dari hidungnya. Safaa tidak tahu sampai kapan ia bisa bekerja dengan keadaannya yang seperti itu, tapi selama ia masih sanggup untuk berdiri, maka Safaa akan terus bekerja.

Dan lagi, kini ia harus mengumpulkan uang lebih untuk sekedar membeli obat dan pergi ke dokter. Safaa tidak yakin ia akan sembuh, namun setidaknya ia harus berusaha untuk sembuh.

"Muka kamu pucet, loh Saff," Mbak Renata menatap dengan saksama pada wajah Safaa. Terlihat jika wanita itu khawatir.

Mendengar apa yang diucapkan oleh Mbak Renata, membuat Safaa kembali tersenyum tipis. "Mungkin efek kemarin aku nggak enak badan, Mbak," hanya itu alasan Safaa.

Mbak Renata masih menatap Safaa. "Kamu yakin? Sudah coba periksa ke dokter?"

"Eh? Su-sudah Mbak."

Mbak Renata semakin berjalan mendekati Safaa. "Terus apa kata Dokter?"

Entah kenapa, Safaa merasa beruntung bisa menemukan teman baru seperti Mbak Renata. "Nggak papa, Mbak, cuman kecapean aja."

Sementara Mbak Renata mengangguk, Safaa mengambil tasnya, dan segera berjalan meninggalkan Mbak Renata di ruang ganti. "Mbak, aku pulang duluan ya?"

"Iya, hati-hati di jalan ya."

~~~

Motor yang dikendarai Safaa berjalan melewati gerbang utama perusahaan. Sebenarnya, kepala Safaa agak pusing untuk mengendarai motor sendiri. Namun, meninggalkan motornya di sini juga bukan ide bagus. Akhirnya, ia memutuskan untuk membawa motornya sendiri dengan pelan. Toh, sekarang baru jam 07.21, yang artinya jalan masih ramai dan Safaa tak perlu takut untuk membawa motor pelan.

"Kita akan menikah."

Ucapan Davian pagi tadi, kembali berkeliaran di dalam ingatan Safaa. Sejujurnya, apa yang Davian katakan sukses membuat semua beban Safaa seolah terangkat. Ya, itu mimpi Safaa, itu tujuan Safaa. Semenjak Davian mengatakan hal itu saat ia masih SMA dulu, Safaa seolah menolak kehadiran pria lain, dan secara tidak sadar menyerahkan semua hatinya untuk Davian. Tapi saat apa yang ia impikan sudah nyata berada di hadapannya, kenapa kenyataan lain datang, memaksa Safaa untuk melupakan mimpi yang dahulu ia agung-angungkan itu?

Di perjalanan, Safaa memutuskan untuk berhenti sejenak di pinggir jalan. Entahlah, ia kembali merasakan pusing yang mendera di kepalanya. Akhirnya, untuk sejenak mengurangi pusingnya, Safaa hanya berhenti dengan duduk di atas motornya, ia menenggelamkan kepalanya pada bagian stir motor. Untuk beberapa saat, Safaa hanya terdiam, menunggu pusingnya mereda walau sedikit agar ia bisa kembali mengendarai motornya. Namun setelah beberapa saat, pusingnya tak kunjung hilang juga.

"Mbak, kenapa?"

Safaa menoleh, menatap seorang Bapak yang tampak berdiri sambil menatap aneh ke arahnya. Sepertinya, Bapak itu adalah salah satu penjual yang berjualan di sekitar tempatnya berhenti.

FADED | End of Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang