Chapter 2

682 123 11
                                    

Julius mengepak barang-barangnya, dia hanya membawa satu koper karena memang tak memiliki banyak barang.

Paman Theo sudah bersiap di dalam mobil SUV tua miliknya, dia menunggu Julius sembari menghisap rokoknya.

Julius melemparkan koper ke belakang, lalu duduk di depan samping sopir.

"Kau sudah siap, Ju?" tanya Paman Theo.

"Tentu," jawab Julius lugas. "Memangnya kita mau kemana? Kau tahu sekolah ini?"

"Ya, kau bawa tiketnya kan? Itu penting bagimu," kata Paman Theo mulai menyalakan mesin, lalu mengemudikan mobil.

Sepanjang perjalanan Julius hanya diam saja, dia membuka kaca jendela mobil, meletakkan siku di jendela, milirik ke arah luar, angin perjalanan menampar-nampar wajahnya, terasa sejuk. Tidurnya semalam juga tidak nyenyak, naga dalam dirinya beberapa kali meracau tak jelas, terlalu membanggakan dirinya.

"Tak usah terlalu tegang, kau akan mendapat pengalaman menarik di sana," celetuk Paman Theo.

"Ya," balas Julius tak antusias.

Mobil melaju lumayan kencang, mulai melambat ketika memasuki kota, lalu berakhir di depan sebuah museum yang bangunannya mau roboh.

"Apa kau mau uji nyali, Paman?" tanya Julius tertegun melihat bangunan yang catnya terkelupas, dan berlumut.

Paman Theo tersenyum. "Kalau mau uji nyali kau bergabung saja dengan organisasi itu. Aku tahu kau pasti tak membaca dengan jelas surat dari sekolah, kita harus ke sini karena tempat ini akan menjadi gerbang masukmu ke sekolah," ujarnya.

"Darimana kau tahu?"

"Aku kan pernah sekolah di sana," kening Paman Theo berkerut mendengar pertanyaan dari keponakannya tersebut.

Julius mengambil kopernya, di tangan kiri digenggamnya tiket menuju sekolah.

Julius berhenti sejenak sebelum menaiki tangga depan. Dilihat dari dekat museum semakin menyeramkan. Dia merasa banyak pasang mata mengawasi dirinya.

"Manusia-manusia jorok,"

"Sepakat" gumam Julius.

Dia mengangkat kopernya susah payah sambil menaiki tangga depan museum. Sejenak dia menengok ke belakang, melihat pamannya hanya dia mematung.

"Apa kau tidak ikut ke dalam?" tanya Julius bingung.

Paman Theo menggeleng. "Aku hanya sampai di sini, selebihnya kau harus sendiri," katanya.

"Kenapa?"

"Karena aku harus kembali bekerja sebagai seorang wakil kapten," ujar Paman Theo enteng, melihat ekspresi di wajah Julius, buru-buru dia menambahkan. "Kau tak usah khawatir, aku bakal menengokmu Lagipula kau pasti akan melupakanku begitu menginjak kaki di sana,"

"Apa maksudmu?"

"Lihat saja sendiri, kalau begitu aku pergi dulu sampai jumpa, Julius," Paman Theo berbalik dan masuk ke dalam mobil, meninggalkan Julius yang masih bengong di atas tangga.

"Ah sudahlah," Julius melangkahkan kaki sambil menyeret koper.

Julius memutar kenop pintu yang sudah berkarat, membuka perlahan pintunya karena takut roboh. Ketika kakinya melewati ambang pintu museum. Tiba-tiba saja dia sudah berdiri di tepi jalan lebar yang masih dari tanah, di dekat padang rumput luas. Di depannya menjulang dinding benteng tinggi yang memesona.

Julius pelotot heran, dia menengok ke belakang, tak ada jalan raya atau halaman museum yang ada hanya hamparan batang pohon tempat hutan berada.

"Apa yang terjadi?!"

Julius AleksanderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang