L.A (07)

11 0 0
                                    

"Begitu mudahnya melupakan kebaikan tapi sangat susah melupakan kesalahan."

-L . A-

🌸🌸🌸

Di tengah hiruh pikuk nya jakarta pria bertubuh jakung dan atletis serta wajah yang tidak bisa dikatakan tidak tampan itu baru saja keluar dari hasanuddin airport.

"Ummah pasti seneng deh kalau tau fisya bawa pulang siapa"

Lelaki itu memutar matanya mendengar ucapan gadis disampingnya ini.

"Kamu pulang aja gih. Bilang kalau Kakak nggak bakalan sampai rumah. ummah nggak usah repot-repot nyiapin makanan"

Namanya fahri agawana. Semua orang kenal siapa dia. Kini ia mengenakan kaos oblong putih, celana kebesaran hitam dengan topi senada dan masker hitam yang menutupi setengah dari wajah tampannya. Adakah yang menyadari kehadiran sosok itu?. Nama yang di atas itupun mempunyai gelar di depannya hanya saja sengaja tidak di tampilkan, wkwkwk :)))

Asrafil menggeret koper lalu menyetop taxsi. Sebelum bisa fisya meraih tangannya, lelaki itu berlalu masuk ke dalam dan taxsi berlalu meninggalkan gadis berhijab itu dengan wajah marah menghiasi wajah cantiknya.

"Kakak nyebelin! Fisya nggak suka!"

***

Taxsi berhenti tepat di depan pesantren Al-ikhlas. Ummah nya pasti akan sangat marah saat tahu putra kesayagannya yang telah lama pergi malah memilih datang kemari tanpa pulang terlebih dahulu.
Fahri memang sengaja ingin menyelesaikan suatu urusan dulu disini, sudah lama ia ingin bertemu sahabat masa kecilnya itu. Apalagi belum lama ini ia mendengar sosok yang ia sukai itu satu pesantren dengan lelaki yang notabennya saingannya saat berkuliah hingga ia harus mengulang 1 semester.

"Dek.."

Fahri mengerjap. Ia menoleh ke kanan dan kiri lalu menelusuri sekitarnya namun hasil yang ia dapatkan nihil. Tak ada orang tapi ada suara, sekujur badan Fahri merinding.

"Dek..ada perlu apa?" Kini Fahri menatap ke atas pohon tempat suara bariton itu berasal. Ternyata bapak yang sedang duduk di rumah pohon itu yang bicara pada Fahri. Seragam satpam yang ia kenakan telah menjelaskan status bapak tersebut.

"Saya ingin menemui sahabat saya pak"

***

"Sahabatnya mas ikhwan atau akhwat?"

Fahri mengernyit dua alisnya menyatu tak mengerti. "Maksud bapak apa yah?"

"Laki atau cewek mas?"

Sumardi menghapus jejak keringat lalu mengkipas wajahnya dengan menggunakan topi. Kini keduannya tengah duduk bersilah kaki di dalam rumah pohon. Sedang di luar menyala-nyala akibat paparan sinar matahari di siang bolong.

Fahri yang tidak terbiasa dengan suhu sepanas ini pun membuka maskernya dan topi yang bertengger di kepala. Sepertinya Sumardi tidak terlalu up to date hingga tidak tahu menahu siapa orang di hadapannya ini. Fahri juga tidak mau ambil pusing mau Sumardi tahu atau tidak yang penting ia tidak mau kalau sampai badannya lengket karena terkena paparan matahari. Itulah pikir Fahri.

"Cewek pak. Namanya April" ucap Fahri sekenanya.

"Perlu izin dari pemilik santri dulu atuh mas kalau mau ketemu sama santri. Coba temen mas itu cowok mungkin diizinin tapi kalau cewek...saya nggak yakin." Sumardi bangkit turun dari rumah pohon.

"Mari mas saya antarkan"

***

April berdecak saat lagi-lagi harus mengantri untuk mencuci baju. Ada yang pernah melihat orang malas?. April memang tak pernah ingin menjadi malas tapi kalau sudah mengantri di siang bolong itu membuat April menjadi orang yang pemalas. Bukan apa, mana lagi di saat-saat seperti ini seharusnya jadwalnya untuk tidur siang. Ngomong-ngomong jika bicara tentang tidur apa kabar Lulu disana yang sedang menikmati tidur di atas kasur dengan kipas terputar. Ahh..sensasi dingin luar biasa.

"Hehhhh" april menghentak-hentakkan kaki ke tanah dengan raut yang di tekuk maksimal. Membayangkan makin membuatnya sakit. Nyatanya dia sedang berdiri di bawah terik matahari kini.

"Kok yang disana mukannya murem gitu? Kenapa?"

Pengibaratan barisan kini April sedang membentuk posisi siap gerak saat terdengarnya suara ustadzah layla. Karena ustadzah itulah ia sampai harus susah-susah mengantri seperti ini.

"Enggak kok ustadzah. Dikit lagi giliran saya." April berusaha terlihat kuat.

April melirik pada ustadzah yang tengah asik duduk berteduh itu, usia mereka memang hanya terpaut beberapa tahun saja, sekitar 2 tahun.

"Bagus kalau gitu. Rumi kalau kamu kepanasan sini duduk di samping saya"

April menganga mendengar titah seenak jidat dari ustadzah layla itu.

"Seriusan ustadzah?" sahut binar rumi , ia kini berdiri di barisan depan april.

"Lah kalau saya ustadzah?" Ucap april memberanikan diri tepat saat rumi telah duduk.

"Saya pikir giliran kamu tinggal sedikit lagi," ucap ustadzah layla santai, seakan tak tahu kalau april berada dibaris ke 15 dari 18 orang lainnya. Masih ada devi dan asri dibelakang april, tapi saat april melihat kebelakang ternyata keduannya sudah telah lama menghilang.

"Saya masih lama banget ustadzah."

"Eitss kamu mau coba lari dari pekerjaan?" Ucap ustadzah menghentikan april yang akan duduk tepat di samping rumi.

April menggeleng, "saya mau berteduh dulu, disana panas banget. Saya takut bisa bisa saya pingsan." April memelas berharap layla akan luluh dengannya.

"April orang pemalas takkan pernah sukses haa jadi terima mi ko saja apa ustadzah da kasih tahu ko"

April melotot mendengar renspon bijak Rumi.

"Huu emang diri sendiri nggak malas" sinis April.

"Eh,eh, ko pikir ustadzah layla lagi tegur saya kah. Ko, ko yang di tunjuk bukan saya eh"

"Ken--"

"April" suara khas pria itu mengintrupsi ketigannya.

"Ustadz saka" layla beranjak dari duduknya lalu berdiri di hadapan saka. Sebenarnya sedari tadi saka memperhatikan layla dan April yang berargumentasi. Saka melihat kecemburuan di mata layla mungkinkah itu juga yang membuatnya berperilaku berbeda dengan april?. Itulah pikir saka saat melihat layla kini.

"April ada tamu cari kamu."

Sebisa mungkin Saka tidak melihat layla, karena sadar atau tidak perempuan itu pernah mengungkapkan perasaan suka pada Saka.

"Ayah dan ibu saya?" Sudah beberapa bulan ini april tidak melihat orang tuannya itu, apa kabar mereka?. Apakah rindu april kini juga tengah dirasakan oleh keluargannya?. Namun sayangnya semua pertanyaan itu harus ia telan dalam hati saat mendengar jawaban saka.

"Teman."

Saka berbalik dan pergi. Ia benar-benar tidak ingin melihat raut itu tapi barusan itu terlihat lagi di wajah April karena itulah ia memilih berpaling karena jika ia terlalu peduli ia takut kalau sampai kejadian yang telah lalu itu terulang hingga ia harus kehilangan untuk yang kedua kalinya. Lagi. Dan jika itu terjadi, akan ada penyesalan lagi.

Dan lagi.
.
.
.
.
.




Lentera April [FS1] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang