Kak Daniel emang cowok kurang kerjaan. Haduh, kalau tak ingat adab sudah kutampol pipinya. Enak saja mencuri kesempatan deket-deketan. Mana belum habis emosi sama oknum pejabat itu. Ini lagi, nambah perkara.
Argh!
“Udah, kakakku yang syantek, jangan marah-marah mulu. Siapa tahu jodoh.” Ucap Haya yang kembali bersamaku setelah kejadian tadi. Ia baru beres cekikikan mendengar ceritaku di taman sebelah kiri.
“Iya bener, Kak. Kalau Kak Daniel sampai jadi mualaf ’kan keren. Kalau aku sih mau, eh.” Dian yang baru saja datang mengedip nakal.
“Apa, eh. Kamu mau?”
“Maulah aku. Kenapa emang? Kak Nad cemburu, yaa?“ Dian mundur beberapa langkah.
“Diaaan!”
“Acieee, merah tuh pipi!” Haya tak mau kalah menggodaku. Awas kalian!
“Hayaaa!”
Kedua adikku itu langsung ngacir melihatku sudah mengeluarkan asap. Mereka ini bener-benar, ya.
Kususul keduanya, bukan untuk membalas candaan, tetapi harus segera pulang. Pasalnya setrikaan tengah menunggu di kosan.
*
Aku mencari posisi duduk paling depan hari ini. Pasalnya sekarang bagian mata kuliah Pak Willy, dosen yang tak takut mendukung mahasiswanya untuk berpegang pada prinsip.
Saat di ruang kuliah, aku tak hanya bertarget mencari ilmu. Namun, mengkritisi teori dan kebijakan ekonomi yang diajarkan, juga jadi tujuan.
“Pak, efek negatif dari swastanisasi sumber daya alam itu lebih banyak daripada positifnya.” sanggahku pada pemaparan materi kuliah ekonomi yang disampaikan Pak Willy.
“Begitu, silahkan jelaskan lebih jauh.” Pak Willy termasuk dosen yang terbuka. Mau menerima masukan dan pendapat mahasiswanya meski berseberangan pandangan.
Kujelaskan bahwa perusahaan swasta hanya akan melihat profit bukan pelayanan sosial untuk rakyat. Air contohnya, sebagai salah satu kebutuhan pokok. Jika profit oriented pengelolaannya, jelas akan menyengsarakan rakyat dan menguntungkan kelompok pengusaha air saja
Dosen ekonomi itu mendengarkan dengan seksama penjelasanku. Kadang ia manggut-manggut.
Kulanjutkan dengan menerangkan bahwa air itu harta milik umum, kebutuhan vital. Kalau diserahkan pada swasta maka rakyat harus bayar untuk sesuatu yang merupakan miliknya. Kusampaikan juga berapa uang yang akan masuk ke kantong pengusaha dari pembayaran pemakai.
“Nadia, instalasi dan jasa pengelolaan air itu kan butuh modal. Bayar itu wajar, mau siapapun yang mengelola,“ sanggah Pak Willy.
Kujawab bahwa realitanya rakyat tak hanya bayar instalasi dan jasa, tapi beli airnya juga. Betapa tak adilnya hal itu.
“Maaf, boleh saya menyanggah, Pak!” Aldo, aktivis BEM berambut kribo mengacungkan tangan.
Setelah Pak Willy mengizinkan, dia angkat bicara.
“Nad, Gue malah khawatir kalau perusahaan negara yang ngelola terjadi banyak korupsi dan ketidakprofesionalan di sana. Makanya lebih baik kasih swasta yang lebih profesional. Keuntungan kita dapatkan dari pajak mereka,” ungkap Aldo.
Sebelum menjawab, aku hela dulu udara untuk melegakan tenggorokan akibat banyak bicara. Lepas itu kuterangkan jika masalahnya di korupsi, benahi korupsinya dengan hukum yang tegas. Kalau soal ketidakprofesionalan, bimbing supaya profesional. Solusi itu harus berkorelasi dengan masalahnya. Keuntungan pajak itu tidak seberapa dibandingkan kesejahteraan sosial rakyat dari sisi terpenuhinya kebutuhan vital secara terjangkau.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE YOU FISABILILLAH
RomanceNadia seorang pejuang dakwah disukai oleh Daniel seorang atheis. Peristiwa yang menghambat dakwah semakin membuat mereka dekat, Daniel pun mulai tertarik pada Islam Leo dan sekutunya yang tak suka pada dakwah melakukan segala cara untuk membubarkan...