10

1.7K 103 6
                                    


Kami terlarut kembali dalam kebisuan. Aku sepertinya dia sibuk menetralisir debar-debar halus yang menyelusup perlahan-lahan. Suara ‘krek’ gigitan keripik sesekali membuyarkan lamunan. Hingga melewati satu jam perjalanan, kami kembali terlibat perbincangan yang sempat terputus.

“Manusia dan alam ini merupakan kumpulan materi yang terbentuk dengan sendirinya. Perpaduan materi dan materi akan menghasilkan materi baru. Jadi menurutku, tak perlu Tuhan untuk mengadakan sesuatu. Contoh, terciptanya manusia hanya butuh pertemuan sperma dan sel telur. Materi dengan materi saja. Di mana peran Tuhan?” tanya Kak Daniel dengan nada serius.

“Kakak ingat pelajaran biologi sewaktu SMU tentang reproduksi manusia, tentang sperma dan sel telur?” Sebelum menjawab, aku melempar dulu pertanyaan.

“Ingatlah. Paling suka aku pembahasan itu. Hehehe!”

“Dasar!”

“Kromosom tubuh manusia berapa hayo?”

“46.”

“Simpanse?”

“48.”

“Nah, Kakak yang mana?”

“Aku yang waaks!” Kak Daniel bergaya seperti gorila yang akan menerkamku.

“Kak Daniel, serem tau!” Jelas kagetlah. Kukerucutkan bibir.

“Kromosom manusia itu 46 berasal dari 23 kromosom sperma, dan 23 kromosom sel telur. Semuanya begitu, kan? Bisakah 45, atau 47?”

“Gak lah, yang ada nanti jadinya setengah manusia,” jawabnya.

“Siapa yang menentukan 46 itu? Kromosom itu sendirikah? Kalau kromosom itu penentunya maka dia harus bisa mengubah sesukanya, toh dia penciptanya. Namun, dia tak kuasa mengubah jadi 43 atau berapapun yang diinginkan. Artinya, bukan dia yang menentukan tapi kekuatan lain diluar dirinya. Dialah Tuhan Yang telah menciptakan kromosom manusia sebanyak 46.”

Pria bermata biru itu manggut-manggut mendengar pemaparanku.

Kulanjutkan dengan menjelaskan bahwa kumpulan materi tadi tak hanya butuh materi lain untuk jadi materi baru. Mereka butuh aturan agar mewujudkan materi baru. Adanya aturan membuktikan ada pembuat aturan itu. Dialah Tuhan Sang Pencipta sekaligus Pengatur alam semesta.

Lelaki tegap itu mengarahkan pandangan searah kursi di depannya. Mungkin ia mencoba mencerna satu-persatu rangkaian penjelasan.

Untuk lebih menguatkan pemahaman, kutambahkan contoh. Air dengan bantuan suhu tertentu bisa menjadi es, juga bisa mendidih, bahkan jadi uap. Hanya saja untuk menjadi es, suhunya harus nol derajat. Untuk mendidih harus 100 derajat. Kalau tidak sampai pada batas itu, maka tak akan terjadi perubahannya.

Artinya untuk menjadi es atau uap air tak hanya butuh suhu, tapi perlu takaran suhu tertentu yang dipaksakan atas dirinya. Takaran itu adalah aturan yang tak bisa diubah oleh dirinya. Siapa yang menciptakan ketentuan tersebut? Tentu saja Tuhan Pencipta air, suhu dan menetapkan segala kadar, batas tertentu atas ciptaannya.

Terakhir kukatakan bahwa akal manusia akan lebih mudah memahami keberadaan Pencipta daripada mengingkarinya. Jiwa pun lebih tenang saat meyakini daripada menolaknya.

Di dua jam perjalanan, bis sampai tujuan. Penumpang tak sabar untuk segera keluar dari benda yang membuat tubuh kaku. Kak Daniel menarik tanganku sebagai cara melindungi saat akan turun. Setelah menjejak tanah, ia lepaskan tanpa sempat aku berontak.

Untuk sampai ke rumahku, butuh waktu setengah jam naik angkutan umum. Meski sudah dengan berbagai cara mengusir Kak Daniel, pemuda itu bergeming. Dia bersikukuh mengantar sampai rumah.

Kumajukan bibir saat naik angkot. Ingin berteriak, percuma juga, toh dia tetap mengikuti. Mana duduknya mepet lagi.

Dan, jailnya lagi dia meminta pengamen yang baru naik untuk menyanyikan lagu cinta. Katanya untukku. ‘Kan malu dilihat semua penumpang. Mana sampai dua lagu lagi.

“Ku akan menjagamu di bangun dan tidurku, di semua mimpi dan nyataku. Ku akan menjagamu di hidup dan matiku, tak ingin, tak ingin kau ragu.”

Wajahku langsung panas saat seluruh penumpang tepuk tangan. Untung saja kami sebentar lagi tiba di tujuan.

“Selamat atas pernikahannya, ya. Semoga samawa.”

Dengan polos ibu di sampingku memberi selamat. Kak Daniel buru-buru menjawab terima kasih dan aku terpaksa melengkungkan bibir.

Akhirnya situasi memalukan ini berakhir juga. Kami tiba di jalan Angkasa, tempat dimana rumahku berada.

“Aku sampai sini aja nganterinnya, ya. Kamu gak marah, kan?” Kak Daniel menghentikan langkah beberapa meter dari rumahku.

Alhamdulillah! Hadeuh dari tadi, kek!

“Ngapain bengong. Sana masuk! Nanti ada culik, loh, atau mau aku temenin lagi?”

“Eh, enggak, kok. Duluan, ya, Kak!”

Aku segera berlari menuju gerbang rumah dengan hati seringan kapas. Terbayang interogasi ayah dan bunda kalau sampai terlihat pulang bersama laki-laki. Meski bukan inginku bersama pemuda itu di perjalanan, tetap saja merasa bersalah. Berkali-kali melafazkan istigfar memohon ampun atas kejadian itu.

Entah ilusi atau nyata, seperti ada yang memanggil. Aku tengokkan kepala ke belakang sebelum membuka pintu gerbang. Satu senyuman dan lambaian tangan langsung menghentakkan dada kiri ini.

Kak Daniel jangan gitu, dong. Aku takut ....

===

“Astagfirullah!” Kali kesekian, aku beristigfar. Hari ini begitu sulit menghapus bayangan lelaki itu. Dalam posisi apapun, dia selalu hadir. Saat duduk, ada. Berdiri, ada. Makan, ada. Sampai-sampai bunda keheranan melihatku senyum-senyum sendiri.

“Kayaknya ada yang kasmaran, nih, Yah?” Bunda menyikut tangan ayah.

“Sepertinya.” Ayah menyambut candaan istrinya.

“Siapa hayoo?”

“Bunda apaan, sih!” kubuang muka takut ketahuan grogi.

“Hati-hati, loh, Bun. Anak gadis kita udah tingkat tiga. Setahun lagi lulus. Kira-kira, ijazah dulu apa ijab sah, nih?”

Waaa! Aku berlari masuk kamar. Kalau ayah dan bunda sudah berkolaborasi menggoda, alamat tak kelar-kelar. Dari dalam kamar ini, samar terdengar tawa keduanya. Ini gara-gara Kak Daniel.

Ya, Allah, aku kok jadi gini. Cowok itu racun emang. Kenapa juga sih harus baper. Nad, jangan bilang kamu beneran suka sama dia

Argh! Tidaaak!

Ternyata liburan di rumah bukan bikin tenang. Kalau sendiri kebayang terus wajah Kak Daniel. Saat bareng orang tua malah diledek. Seperti yang terjadi di dapur sekarang

“Kok, tehnya dikasih garam?”

“Hah!”

Cepat-cepat kubuang air teh yang baru saja kubuat. Tanpa berani memandang bunda, aku keluar dari dapur.

***

“Aku udah siap!” Kupeluk tangan ayah yang sudah setia menanti sedari tadi.

Karena khawatir dikuntit Kak Daniel, aku memaksa ayah mengantar pulang. Meski terheran-heran, beliau mengabulkan juga.

Kami pergi ke Jakarta dengan memakai bis. Mobil sedang di bengkel jadi tak bisa dipakai saat ini.

Di barisan ketiga ayah memilihkan tempat untuk kami. Beliau duduk di tengah, sedang aku di pojok. Sementara bangku ujung masih kosong.

Baru saja aku akan mengeluarkan HP, seseorang menyapa kami. “Maaf, apa di sini kosong?”

“Iya kosong. Silakan!” Ayah menggeser sedikit tubuhnya agar pemuda yang sedang kupelototi bisa duduk nyaman.

*

Novel  LOVE YOU FISABILILLAH ready stok

Rp 109 000

Pemesanan klik saja
https://wa.me/6281261934594

LOVE YOU FISABILILLAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang