12

1.8K 123 7
                                    


DANIEL

Lepas mengantar ayah dan anak itu sampai kos, aku bergegas kembali ke apartemen. Steve sudah naik darah mendapatiku tak kunjung pulang. Pasalnya pukul delapan akan ada pertemuan dengan rekan bisnis baru.

“Sorry.” Sesampainya di sana kupasang wajah tanpa merasa salah.

“Lo beneran saraf, Niel. Bela-belain gini demi gadis yang belum tentu dia bakal nerima. Rese, lo!”

“Udah, udah. Gue mandi bentar, trus kita cabut. “ Tak ingin memperpanjang masalah, langsung saja lelaki muda berparas cute itu kutinggalkan.

Tak sampai lima menit, kami sudah melesatkan motor ke tempat pertemuan. Selama perjalanan kami tak ada yang mengeluarkan sepatah kata pun. Otakku hanya diisi semua hal tentang Nadia. Aku memang sudah gak waras.

Setelah menempuh tiga puluh menit perjalanan, kami tiba di sebuah kafe. Tempat yang atapnya berbentuk bundar ini milik calon caleg yang memintaku menjadi tim pemenangannya. Profesi ini kugeluti saat masih bekerja pada Raymon. Mantan bosku itu tak mempermasalahkannya.

Saat memasuki ruangan yang memiliki pencahayaan baik ini hatiku tak tenang. Seperti ada yang janggal dengan kondisinya. Orang-orang yang duduk-duduk, satu per-satu pergi.

Aku dan Steve saling berpandangan. Dari tatapannya aku yakin dia pun merasakan hal sama.

“Lama tak jumpa, Edgar!“

Seseorang yang suaranya amat kukenal masuk ke dalam ruangan. Di kiri dan kanan mengiringinya lelaki-lelaki tinggi besar.

Kutahan tangan Steve agar tak bangkit dari kursinya. Meski hatiku meradang akibat diperdaya, bukan berarti harus kalap.

Lelaki berjas mentereng yang selalu membawa satu tongkat kecil itu duduk di kursi yang dipersiapkan kacungnya. Tak kulihat pemilik kafe sekaligus orang yang kemarin minta ketemuan. Rupanya ini jebakan. Brengsek!

“Apa maumu?”

Raymon mengangkat alisnya mendengar lontaran pertanyaan. Di satu sisi otakku berputar cepat untuk keluar dari tempat berbahaya ini.

“Tanganku selalu terbuka menunggumu kembali.”

Sudah kuduga, ia takkan mau melepasku begitu saja. Hanya saja tekadku sudah bulat. Lagipula nyaman juga sejak tak terikat lagi. Tak harus kucing-kucingan dengan aparat.

“Kau sudah tahu jawabannya. Aku tak bisa.”

Rautnya langsung masam. Dia mengerenyitkan dahi, lalu menggembungkan kedua pipinya.

“Kalau kau bisa lolos dari tempat ini, aku takkan mengusikmu lagi. Boys, bermainlah dengan mereka!”

Aku dan Steve langsung pasang kuda-kuda kala sadar bahaya mengancam. Raymon tak main-main kali ini. Harus bisa lolos tanpa mengorbankan tenaga juga waktu.

Apa, ya?

Otak encerku mendapat ide. Lantang kupanggil nama bos mereka.

“Jika kau melepasku, aku takkan menyerahkan video dan rekaman percakapan sepak terjangmu pada siapa pun. “

Lelaki bertongkat itu membalikkan badan. Ia melangkah agak tergesa ke arahku.

“Mau menggertakku rupanya. “

“Aku hanya tak ingin pertemanan kita berakhir buruk, itu saja. Jangan usik hidupku, maka aman. Kau bisa pegang janjiku. “

Lelaki berkumis tebal itu mengerenyitkan dahi. Ia duduk kembali di kursinya.

“Lagipula, kalau kau membunuhku sekarang. David Edgar akan mengirimmu ke neraka. Dia sudah tahu sepak terjang kita. Kau pasti kenal watak lelaki yang kusebut itu.“

LOVE YOU FISABILILLAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang