13

2.9K 154 19
                                    

NADIA

Untuk sementara kampus mengangkat bendera putih, kegiatan LDK berjalan aman meski tak sebebas sebelumnya. Kelihatannya mereka gentar dengan pergerakan mahasiswa yang murni untuk membela keadilan. Keteannagan ini menjadikan para aktivis bisa melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda.

Kupercepat langkah agar tak terlambat masuk ruang praktikum. Meski sesekali menjawab salam atau sapaan teman-teman, tapi tak sempat ngobrol sana-sini. Pagi ini bangun telat sebab semalam baru bisa memejamkan mata pukul satu dini hari. Semua itu gara-gara bayangan kak Daniel yang terus menghantui. Sepertinya harus meruqyah diri agar tak terus masuk dalam sihir pemuda aneh itu.

"Hai, Nad, tumben?" selidik Dea saat aku baru saja  saja duduk di sampingnya. Ck, enggak lihat orang ngos-ngosan apa, ya? Untung teman dekat.

"Begadang?"

Kuganggukkan kepala pada teman super kepo ini kalau belum dijawab, takkan menyerah bertanya. Aku yakin dia akan terus mencecar dengan ragam pertanyaan lanjutan.

"Mikirin Kak Daniel?" candanya. Dea tertawa renyah. Kutepuk bagian kerudung pinggirnya.

"Sotoy!"

"Semua juga tahu keles, kedekatan lo ma doi!" lanjutnya dengan mata diarahkan pada netraku. Duh, ini anak  makin nyebelin ternyata. Untung saja aku bisa menyembunyikan salah tingkah ini.

"Eh, gue gak ada hubungan apa pun ma Kak Daniel. Clear! Lagian dia tuh bukan muslim, gak mungkin kali!" tukasku dengan memasang tampang serius. Sekuat mungkin aku gak menampakkan bahwa diri ini sebenarnya deg-degan juga.

"Oh, berarti kalau dia mualaf, mungkin dong?" goda Dea lebih jauh. Ia memegang pundakku untuk menekankan pernyataannya adalah benar.

"Dea, udah, deh!" Kucubit kecil punggung tangan itu. Ia malah makin keras tertawa.

"Seru, nih. Apa, apa? Daniel Edgar? Anak Sospol? Jiah gue juga pengen!" cerosos Leta, teman yang tak kalah keponya. Dia menarik kursi depan dan memposisikan diri duduk melingkar di antara kami.

"Ambil!" sahutku.

"Nad, serius, klo lo ga mau, gue yang angkut!" sambar Leta.

"Angkut sono!"

"Angkut seh angkut. Muka lo tuh merah!" ledek Leta. Kedua teman jailku itu pun tertawa puas.

Kalau saja dosen tak datang, sudah dipastikan percandaan ini takkan berakhir cepat. Kami segera buabr dan bersiap menerima siraman ilmu.

Pagi ini ada jadwal praktikum ekonomi makro. Aku mendapat bagian presentasi makalah bertajuk 'Analisis Pengaruh Impor Terhadap Pembangunan Ekonomi Bangsa'

Kupaparkan fakta impor telah mendominasi perekonomian Indonesia. Mulai dari barang berteknologi tinggi sampai benda yang sebenarnya mudah dihasilkan di dalam negeri seperti garam, gula, kedelai bahkan singkong.

Kebijakan impor yang menggila telah melemahkan produktivitas dalam negeri. Rakyat kecil dipaksa bersaing dengan korporate internasional dalam kuantitas, kualitas dan harga produk. Ibarat tinju, kelas bulu bersaing dengan kelas berat. Hasilnya, KO.

Belum lagi kalau dolar naik, maka harga barang impor akan naik tajam. Otomatis di dalam negeri terjadi kenaikan harga-harga. Mau tidak mau harus membeli barang mahal itu karena di dalam negeri tak diproduksi.

"Nad, berarti maksud lo, impor itu harus dihentikan? Lah, gimana dengan produk yang negeri ini belum mampu memproduksi sendiri!" sanggah Dion. Di sesi tanya jawab, pemuda berambut gondrong itu memberi sanggahan atas makalah.

Aku menjawab bahwa impor bukan dihentikan, tetapi diatur lebih tepat. Untuk barang yang belum bisa diproduksi sendiri, boleh saja impor. Namun, untuk barang yang sebenarnya bisa dihasilkan sendiri, jangan ada impor. Berikan rakyat kesempatan produksi. Seperti gula, garam, kedelai, daging sapi, alat rumah tangga dan lain-lain.

"Mungkin ada asumsi, ngimpor tuh lebih simpel daripada produksi sendiri. Belum lagi biaya produksi yang tinggi, keahlian ilmu dan teknologi yang rendah membuat produk kita selalu kalah saing!" timpal Ruben, anak BEM yang otaknya lumayan encer.

"Kalau masalahnya di biaya produksi yang tinggi, mestinya pemerintah membuat kebijakan pro produksi dalam negeri. Misal dengan mensubsidi pupuk, memberi pinjaman modal lunak bebas riba, memberi edukasi meningkatkan ilmu dan teknologi modern. Saya kira, sulit di awal, tapi hasilnya dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan negara ini akan menjadi negara eksportir bukan sekedar importir. Tinggal masalahnya mau gak mengangkat derajat ekonomi rakyat?" terangku sambil mata ini menyapu seluruh ruangan.

Perdebatan kembali berjalan sengit. Pro kontra pun terjadi. Sampai kesepakatan diambil bahwa kebijakan impor negeri ini harus dibenahi. Jika tidak, perekonomian akan senantiasa dalam cengjraman pasar asing dan Aseng. Sementara produktivitas dalam negeri makin anjlok.

Selepas praktikum, mahasiswa berhamburan meninggalkan ruangan. Mayoritas duduk-duduk di taman pinggiran ruangan kuliah untuk menunggu sesi berikutnya. Ada juga yang pergi ke kantin untuk mencari cemilan.

"La, kantin, yuk! Aku yang traktir!"

Tanpa menunggu jawabannya, kutarik tangan Laila. Mata gadis Ayu itu berbinar mendapatiku bersikap ramah padanya.

Kami jalan sambil bergandengan seperti yang di biasa dilakukan. Ikhlas itu amat menenangkan ternyata. Sudah kuputuskan untuk memaafkan semua kekhilafan itu.

Aku memilih kantin Lezato yang berada di persimpangan perpustakaan dan fakultas Ekonomi. Tempat ini menjadi tongkrongan favorit mahasiswa yang berkantong kurang tebal. Pasalnya, selain harga lebih terjangkau, rasanya juga tak kalah dari kantin hijau.

"Kapan kalian nikah?" tanyaku santai setelah mengambil posisi duduk pojok kanan. Kulihat bola mata Laila membulat. Mulutnya sedikit terbuka, begitu juga dengan mata ya g agak melebar.

"Oh, eh, selesai sidang Kak Salim," jawab Laila gugup.

"Alhamdulillah, moga lancar, ya!"

Kusesap es jeruk yang baru saja diletakkan. Paduan asam manis sukses memanjakan kerongkongan yang sedari tadi kehausan.

"La, kita bisa kayak dulu, kan? Maafin aku yang egois hanya ngeliat perasaanku tanpa menimbang hatimu. Kamu berhak bahagia, La."

Laila meletakkan jarinya pada punggung tanganku. Mata yang serupa separuh purnama itu mulai berkabut.

"Nad, aku yang harusnya minta maaf. Aku jahat udah mainin perasaan kamu. Maafin, ya!" pintanya dengan nada yang mulai bergetar.

"La, kamu yang pantas bersanding dengan Kak Salim. Kalian pasangan serasi. Moga kalian berjodoh di dunia dan akherat."

Laila merangkulku yang duduk di sampingnya. menangis, saling melapangkan hati, mengikhlaskan takdir, menyatukan kembali ikatan yang hampir menyerpih.

*

Novel LOVE YOU FISABILILLAH ready stok!

Rp 109 000

Pemesanan
https://wa.me/6281261934594

LOVE YOU FISABILILLAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang