2

2.5K 124 2
                                    

NADIA

Aman!

Haduh, aku harus selalu tengok kanan-kiri kalau mau jalan di kampus. Khawatirlah ada bule ngaco itu. Diusir pun percuma kalau sudah mengekori.

Kak Daniel memang doyan banget mengganggu. Seperti orang kurang kerjaan. Makin ke sini, makin berani saja menyapa, mendekat bahkan berusaha jalan bareng.

Dijudesin tak mempan, apalagi dilembutin, makin caper saja. Kadang, aku harus memanggil akhwat LDK untuk menemani agar tak diganggu cowok aneh itu.

Langkahku terhenti saat dari belokan gedung fakultas terlihat Dian berjalan cepat-cepat ke arahku. Mukanya terlihat mengerut. Sepertinya ada yang serius.

"Kak, Nad. Gaswat!"

Dalam kondisi napas tersengal, Dian langsung mengeluarkan kata-kata yang membuatku penasaran. Setelah mengatur napas, gadis yang tubuhnya agak gempal itu menyampaikan sesuatu yang membuat mataku melebar.

"Haah! Perizinan tempat acara dicabut? Serius?"

Mulutku terbuka lebar mendengar berita dari humas acara seminar mahasiswi muslim yang akan digelar lusa. Acara yang sudah dipersiapkan sebulan lamanya tidak mungkin dibatalkan. Undangan sudah tersebar hampir ke dua puluh kampus. Peserta yang sudah daftar mencapai 400 orang.

"Iya, Kak. Ini surat pembatalannya," tegas Dian, anggota LDK yang menjabat ketua biro SDM.

"Apa-apaan ini. Seenaknya aja main cabut izin!" Rahangku mengeras saat membaca surat yang disodorkan.

Sejak dikampanyekan ide anti radikalisme di kampus, mendadak kegiatan organisasi keislaman menjadi sorotan tajam. Mereka dicurigai sebagai komunitas radikal yang merupakan bibit pemecah belah bangsa. Terlebih akhwat bercadar, sudah dituding, didiskriminasi pula.

"Ayo!" Tanpa pikir panjang, aku menarik tangan Dian. Kami harus menemui staf kampus yang mengurusi masalah perizinan aula dan ruang kuliah.

Tiba di kantor Pak Warsito, kami disambut sekertarisnya. Wanita berbibir merah menyala itu menyampaikan bahwa orang yang ingin ditemui sedang mengurus proyek ke Riau.

"Kalau begitu saya mau bertemu Pak Suryo," pintaku

Ternyata Pak Suryo pun tak ada. Aneh, deh. Kok, bisa barengan begitu?

"Maaf, Bu. Kalau begitu pada siapa saya harus mengurusi perihal perizinan acara kami yang mendadak dicabut?" Aku mulai tak bisa mengontrol nada suara. Oktafnya mulia naik.

Staf wanita itu mengatakan bahwa itu perintah atasan. Dia sendiri tak tahu apa-apa.

"Loh, kenapa begitu? Apa karena ini acara keislaman? Emang apa masalahnya? Gak bisa gitu dong, Bu. Kampus ini bisa dicap sewenang-wenang," timpal gadis berwajah oval itu.

Aku dan Dian melangkah gontai keluar dari ruang administrasi kampus. Kami tak saling bicara hingga sampai di tepian koridor fakultas ekonomi.

Kami duduk di tepian koridor yang dibentuklebih atas dari lantainya. Pikiranku kacau mengingat acaranya tinggal dua hari lagi. Mana mungkin dibatalkan?

Kuputuskan untuk menghubungi nomor Pak Warsito dan Pak Suryo, tetapi hasilnya nihil.

Di atas kepalaku mendadak seperti ada yang menusuk-nusuk. Meski demikian, otak terus berputat seiring netra memandangi lalu lalang mahasiwa

"Kayaknya kita mesti minta bantuan Kak Salim!" seru Dian tiba-tiba.

Kulirik Dian sekilas, lalu kembali menatap lurus ke depan. Bukan tak terpikirkan solusi itu, tetapi untuk saat ini, masih kesal kalau harus berhubungan dengan Salim, pria yang baru saja membuatku patah hati.

LOVE YOU FISABILILLAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang