CINTA KAMU

704 49 1
                                    

NADIA

"Gimana nilai lo, seger?" tanya Dea dengan wajah diliputi kekepoan.

"Alhamdulillah, fresh!"

"Hebat lo Nad. Meski sibuk organisasi, akademik gak keteter," pujinya. Haduh hampir saja aku terbang. Untung langsung istigfar.

"Alhamdulillah, itu keberkahan namanya. Gue selalu yakin, siapa saja yang menolong agama Allah, maka akan ditolong."

"Ustadzah muda, gue salut dah," tambah gadis bermata sipit itu sambil mengacungkan dua jempol.

"Eh, gimana hubungan lo ma Daniel? Sebulan ini gue gak pernah liat doi ngintilin lo?" Sifat kepo Dea mulai kumat.

"Baguslah, gue merdeka!"

"But, lo kangen, 'kan?" pemilik hidung mancung itu terkekeh. Kutekan dua jari pada lengannya.

Meski mulut mangkir, hati kecilku tak bisa berbohong. Sebulan tak melihat sosok pemuda itu, seperti ada sesuatu yang hilang di sini, di dada ini. Kadang, ada denyut nyeri bila mengingat perbedaan besar di antara kami. Menyakitkan saat rasa diletakkan pada hati yang tak boleh tersentuh. Saat asa disimpan pada yang tak mungkin tercapai tangan.

Entahlah, kisah cintaku tak selalu mulus, berliku. Perasaan yang terpendam pada kak Salim setahun lamanya, harus berakhir dengan tepukan kosong. Sekarang, saat hati menemukan jalan kedua, ada dinding menjulang di depannya.

"Woy, ngelamunin Daniel mulu!"

Tepukan Dea menyeretku kembali ke alam nyata. Dunia sesungguhnya dimana aku tak dapat menyentuh dirinya.

"Menurut gue doi beneran serius ma lo. Kenapa gak lo jadiin jalan buat ngejadiin dia muslim. Sekalian aja buat mahar. Hihihi!"

Kali ini kutatap Dea lekat. Merenungkan ucapannya barusan. Bisa saja itu kujadikan syarat jika kak Daniel memang serius. Namun, apa keimanan yang didapat dengan terpaksa dapat bertahan lama? Bagiku menikah berarti meletakkan tangan di genggaman seseorang untuk mengarungi dunia. Apa mungkin pria bule itu sanggup membawa langkah kami hingga surga?

"Keimanan yang tak diyakini 100 %, gak akan kokoh. Biar aja dia menemukan Tuhan tanpa paksaan."

"Yowislah! Siap aja kamu bakal kangen, kangen, kangen. Cinta itu berat, Nad. Apalagi pada yang tak tergapai tangan. Gue duluan, jan mewek, ea!" Dea mengusap pundakku sebelum pergi. Tinggallah aku yang mulai terpengaruh ucapannya.

Duh, nih hati kok makin mengerut gini. Apa aku beneran suka sama Kak Daniel?

*

Apa aku beneran suka sama Kak Daniel? Ah, baiknya aku kumpul sama anak LDK. Biar gak mikirin cinta terus. Lagipula ada banyak urusan umat yang menunggu kiprah dakwah mahasiswa.

Kali ini, aku ayunkan kaki pelan saja. Selain menghemat energi juga ingin menikmati suasana kampus di siang hari.

Ya, ampun kenapa lewat sini coba? Baiknya aku putar balik saja. Tempat ini cukup sepi, biasanya dipakai orang pacaran. Daripada menyaksikan. Kemaksiatan mending cari jalan lain saja.

"Gue beneran sayang lo, Daniel. Gue bisa buktiin sekarang. "

Di tiga langkah setelah putar haluan, sayup kudengar suara wanita mendesah. Tak ingin kepo sebenarnya, tapi mendengar nama lelaki yang disebut, penasaran juga.

Dan, darahku mengalir lebih cepat kala mata ini menangkap adegan mesum di samping bangunan. Seorang wanita berambut pirang mendekatkan bibirnya pada lelaki yang sangat aku kenal. Jarak mereka mulai terkikis, bahkan aset di dada perempuan itu hampir menempel pada tubuh pemuda yang terbelalak kala matanya mengarah padaku.

"Dy, tunggu! Dyyy!"

Ya, Allah! Apa yang kulihat itu benar?? Kak Daniel, dia!

Aku berlari tanpa peduli panggilannya. Kenapa sesakit ini, sih? Prasangka bahwa dia benar-benar mencintaiku terempas sudah. Aku saja yang kegeeran.

"Nadia, kalau gak berhenti, aku peluk kamu!"

Refleks kuhentikan ayunan kaki. Aku tahu dia pemuda nekat. Bukan tak mungkin beneran meluk.

Kini, kami berhadapan dengan jarak beberapa langkah saja. Baru kali ini aku benar-benar benci melihatnya. Ternyata dia sama saja dengan yang lain. Pegiat gaul bebas.

"Aku gak ada apa-apa sama cewek keganjenan itu! Kami tidak melakukan apapun."

Wajah itu amat tegang. Tangannya bergerak ke sembarang arah. Kadang mengepal di depan, turun lagi, lalu dihentakkan ke bawah. Baru sekarang aku melihat pemuda itu panik.

"Itu bukan urusan saya, Kak. Saya permisi, Kak."

Kak Daniel menghadang langkahku dengan memperkecil jarak di antara kami. Di posisi ini, aku makin kebingungan.

Ya, Allah. Bagaimana ini? Beberapa mahasiswa mulai penasaran pada adegan ini. Ingin lari saja, tapi tak berdaya.

"Dengar, aku gak mau ada salah paham di antara kita. Aku gak peduli sama cewek-cewek sialan itu. Aku Cuma mau satu wanita, itu kamu, Nadiaul Haq!"

Suara-suara riuh mulai terdengar di sekeliling kami. Ini wajah makin panas saja. Warnanya sudah seperti biji saga mungkin.

"Sekarang, esok, selamanya aku hanya mencintai kamu, Nadia! I love you!"

Suara itu membahana. Entah berapa radius jangkauannya. Ucapan cintanya sukses membuat tulang-tulangku kehilangan daya topang. Lutut pun ikut melemas. Jangan ditanya kondisi hatiku. Gak hanya malu, ada yang lainnya juga. Senang, tak tahulah.

Aku hanya bisa menunduk, lalu melangkahkan kaki. Tak peduli dengan tatapan dan suara-suara penonton. Seandainya mampu, aku ingin menghilang saja.

Seseorang, datanglah untuk meminimalisir rasa maluku. Eh, tapi sampai berjalan sejauh ini tak satupun yang menyapa. Haya, Dian, Laila kalian dimana?

Syukurlah Kak Daniel tak mengejar. Kalau iya, bisa makin heboh dunia pergosipan. Ya, ampun setelah ini pasti tayangan tadi akan viral. Semoga tak akan sampai pada ayah dan bunda.

Untungnya, mulai besok sudah tak ada perkuliahan. Hanya remedial bagi yang nilainya D. Tak ada kata lain setelah ini. Selain pulang.

*

Tersedia di

KBM APP
EBOOK (Playstore)
NOVEL CETAK (081261934594

LOVE YOU FISABILILLAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang