9

1.6K 99 3
                                    


“Jadi pulang besok?” tanya Wiwit lepas Isya.

“Hu’um,” Jawabku tanpa menoleh padanya. Tangan ini sedang sibuk mengepak beberapa barang yang harus dibawa.

“Jan naek kereta. Katanya ada rel yang anjlok. Bis aja.

“Hadew, macetnya itu, loh.”

“Eh, hati-hati juga dikintilin Abang Bule. Entar kelen jadi bareng, deh. Hihihi!”

“Paan, seh!”

Kulempar bantal pada gadis yang masih cekikin. Ya, ampun semua teman dekat terus saja bercanda soal Kak Daniel. ‘Kan kesel.

Horor banget kalau benar Kak Daniel ngikutin. Ah, gak mungkinlah. Dia gak segaje itu. Mending tidurlah daripada mikirin yang bikin pusing.

*

Setelah pamitan dengan teman-teman satu kos, aku bergegas ke terminal bis. Kalau bukan karena bunda nelpon terus, males sebenarnya pulang pergi Jakarta-Bogor. Apalagi naik bis, macetnya itu, loh.

Akhirnya sampai juga di terminal. Pagi begini lalu lalang manusia di tempat ini sudah terlihat biasa. Deruman bis bercampur teriakan kernet menambah riuh suasana.

Aku mengayunkan kaki menuju bis jurusan Jakarta-Bogor yang kondisinya nyaman. Harga juga berbeda tentu. Ngeri kalau harus naik yang kendaraannya buruk rupa ditambah supir ugal-ugalan.

“Hai, Cantik!”

Jantungku hampir melompat di sepertiga langkah menuju bis. Aku menoleh pada arah suara yang tak asing di telinga.

“Kak Daniel, mau apa di sini?”

“Ayo ke bis!” Bukannya menjawab pertanyaan, Kak Daniel malah mendahului berjalan menuju bis. Meski bingung, kuikuti langkahnya. Tanpa curiga aku duduk saja di tempat yang dia tentukan.

Aku kembali berdiri saat Kak Daniel dengan cueknya duduk di sebelah.

“Kak Daniel, memang mau ke mana?”

“Nganterin kamu.”

“Haah!”

“Maksud Kak Daniel apa? Aku bukan anak kecil yang harus dianter!” Sepertinya darahku mulai memanas.

“Ssst! Jangan teriak.Tuh, diliatin, malu. Duduk lagi.” Kuikuti arah tangan pemuda ngeselin itu. Tampak sepasang suami istri paruh baya memperhatikan kami sambil senyum-senyum. Wajahku mulai terasa panas.

“Pengantin baru, ya? Semoga sakinah dan cepat dikasih momongan,” ucap pria berkumis tipis itu.

“Iya, terima kasih, Pak, Bu.” Kulemparkan tatapan tajam pada lelaki yang seenaknya mengiyakan ucapan itu.

“Mau ke mana adik berdua?” Giliran Ibu berkerudung biru dongker yang bertanya.

“Kami hendak berkunjung ke rumah keluarga istri. Mumpung libur, Bu. Iya kan, Sayang?”

Meski dongkol setengah mati, aku terpaksa senyum semanis mungkin pada kedua orangtua di barisan seberang kursi. Dan, ya ampun kedua orang tua itu terus mengajak ngobrol kami. Sesekali mereka menyisipkan nasehat berumah tangga.

Setelah keduanya tak lagi bertanya, aku langsung bicara pada Kak Daniel.

“Aku ganti bis saja.”

“Mau loncat, emang?”

Aku baru sadar kalau bis sudah jalan. Kuarahkan netra ke jendela untuk tahu di mana posisi kami sekarang.

Ya, Allah. Ternyata sudah sampai jalan tol. Gimana ini?

“Kak Daniel tahu dari mana aku mau pulang?”

“Kepo.”

“Kak Daniel.” Kutahan suara agar tak terdengar orang-orang. Langsung saja wajah ini dipalingkan darinya. Diam adalah senjata pamungkas.

Lama dalam diam rupanya membuat mataku ingin terpejam. Ditambah dinginnya AC yang tepat ada di kepala. Sebelum meletakkan kepala di antara perbatasan jendela dan kursi, ekor mataku melirik pada pemuda sebelah.

Aman, dia tidur juga. Sekilas aku masih bisa melihat kedamaian di wajahnya. Dalam posisi itu dia tak tampak menyebalkan, malah ... Ish, paan sih, Nad. Udah tidur!

Kubuka mata saat kepala ini terbentur benda keras. Aih, rupanya jendela. Hhh! Sudah berapa lama aku tidur?

Aku langsung menurunkan jari dari area mata saat sadar bahwa ada Kak Daniel di sampingku. Wajah ini langsung hangat kala netra ini menangkap satu senyuman.

Aduh jantungku, diem, dong. Kenapa aku jadi salah tingkah gini, sih. Ah, racun ini.

Tatapan yang belum juga berkedip itu membuatku makin grogi. Untuk menutupinya aku sibuk merapikan kerudung yang sepertinya agak acak-acakan. Lanjut mengambil air mineral.

Sensasi dingin yang melibas kerongkongan sedikit menetralkan degupan di dada. Setelah habis setengahnya barulah sadar kalau Kak Daniel pasti haus juga. Untung tadi bawa tiga.

“Makasih, Sayang.” Kembali, senyum itu terkembang saat kusodorkan satu gelas air mineral. Selanjutnya aku kembali melihat keluar jendela. Mataku pun mengikuti pergerakan kendaraan yang saling kejar-kejaran.

“Gadis pecinta Tuhan. Kenapa kalian meyakini sesuatu yang tak terlihat, tak terdengar, tak terasa, tak teraba? Bukankah itu percaya pada yang tak pernah ada?” Keasyikanku menghitung jumlah mobil yang menyusul bis ini terhenti kala mendengar ucapan tersebut. Aku menoleh dan menatapnya agak lama. Pria itu menganggukkan kepala sebagai simbol meyakinkanku bahwa ia tidak sedang bercanda.

“Menurut Kak Daniel, apakah gelas mineral ini jadi dengan sendirinya?” Kuangkat gelas bekas air mineral hingga setengah dada.

“Tidak, pasti ada yang buat.” Jawabnya serius.

“Apakah Kak Daniel pernah bertemu, melihat, mendengar, menyentuh yang membuatnya?”

Pemilik manik biru itu menggeleng. Ia mengubah posisi duduknya agak miring hingga lebib jelas melihatku.

“Mengapa Kakak percaya keberadaan pembuatnya padahal kakak tidak menginderanya?”

Pemuda itu terdiam. Inilah kesempatan menyampaikan Tauhid padanya. Kujelaskan bahwa akal akan menyetujui keberadaan sesuatu yang tak terindera dapat di jangkau asal ada jejaknya. Gelas adalah jejak pembuat gelas. Sementara tanda keberadaan Tuhan adalah ciptaannya, yaitu manusia dan alam.

Kak Daniel mengerenyitkan dahi, lalu manggut-manggut. Kemudian ia meneguk kembali sisa air digelas yang sedari tadi digenggam.

Aku melanjutkan penjelasan Gelas sederhana saja tak mungkin ada tanpa ada yang membuat. Apalagi manusia dan alam yang begitu rumit, tak mungkin jadi dengan sendirinya. Hanya akal tak waras nan picik yang terus mengingkari kelogisan itu. Jadi, Tuhan tidak irasional. Dia itu rasional, Tuhan itu benar-benar ada.

Kak Daniel terlihat makin serius. Sesekali bola matanya diarahkan ke kanan, lalu ke kiri. Jari pun ikut bergerak dengan diketukkan pada bibirnya.

Kubuka tas untuk mengambil keripik kentang yang sengaja dibawa. Lumayan juga untuk ngemil diperjalanan.

“Kak Daniel, tahu ini apa?” Kusodorkan satu bungkus snack pada pemuda jangkung itu.

“Keripik kentang. Emang kenapa?”

“Gak apa-apa. Enak loh. Cobain, deh. Hehehe!”

Menyadari dikerjai, ia tertawa, lalu tangannya terangkat dan mengarah pada pipi ini. Refleks aku mengelak.

“Maaf.” Kak Daniel menurunkan tangan yang baru saja akan menyentuh pipiku. Sementara, wajahku memanas. Warnanya mungkin sudah semerah tomat kini.

Novel  LOVE YOU FISABILILLAH ready stok

Rp 109 000

Pemesanan klik saja
https://wa.me/6281261934594

LOVE YOU FISABILILLAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang