MOON: Tiga

43 6 0
                                    

MOON

Vers 1.0
On Wattpad by dyahlisty & avrahayu

Aku penyuka malam yang berawan, tanpa bulan apalagi bintang.
Tiba-tiba kenapa awan itu beranjak? Pergi melindungi pandanganku dari banyak cahaya yang berpendar dibaliknya. Aku menutup mata. Tak ingin melihatnya.
Kukira aku akan tahan dengan pendar cahayanya yang indah.  Aku kalah.
Rembulan itu tersenyum padaku.


Aku mengerumuni bapak tukang sayur. Aku tersenyum, kenapa aku bahagia dengan melihat kegiatan ini. Rasanya sudah lama sekali tidak melihatnya. Aku rindu.

Aih, sepertinya aku seorang yang perindu, yang tak gampang lupa dengan sesuatu yang lalu. Termasuk kisah asmaraku dulu semasa sekolah. Bukan, bukan asmara, lebih tepatnya aku hanya mengagumi seseorang dari kejauhan. Meski tak banyak kenangan yang terukir bersama, namun senyum dan sorot matanya menjadi pemandangan yang indah di kala letih saat itu.

Entahlah untuk sekarang ini aku tak ingin begitu mengagumi seseorang dengan berlebihan. Cukup kala itu.
Sekarang? Rumusku hanya satu. Berdoa dan menerima takdirku.

##
Vario hitam kuparkirkan di tempat parkiran karyawan belakang gedung. Belum cukup ramai. Masih pagi, hanya beberapa sedang menyapu halaman, ada yang sedang bergegas masuk ke kantor dan beberapa yang masih berjalan santai sambil berbincang.

“Bella!”

Seseorang memanggilku dari arah berlawanan. Aku mencari wujudnya dan mendapati seseorang yang selalu bersemangat kapanpun dan dimana pun. Entah di lokasi yang tidak memungkin atau berada di tempat keramaian. Semangatnya selalu menular menjadikan energi positif di sekelilingnya. Mbak Irma.

“Mbak Irma!” Aku terkejut dan bergegas lari dari ujung parkiran. Menyapanya dan memeluknya. Sudah tiga hari semenjak di desa bencana, tapi rasanya sudah lama sekali.

“Mbak…. Aku kangen..” pekikku memeluk erat tubuhnya yang sedikit bongsor dariku.

“Mbak juga kangen” Mbak Irma membalas pelukanku.

“Hei, kok kamu kurusan?” tanya Mba Irma setelah melepaskan pelukannya.

“Ah masa? Enggak kok Mbak” sergahku nyengir.

“Makan yang banyak dong, jangan banyak pikiran juga. Udah sarapan?”

“Udah kok Mbak. Oiya Mbak kok tumben kesini?” tanyaku sambil berjalan beriringan masuk ke gedung.

Mbak Irma, seorang penulis scenario naskah film pendek yang jobnya sudah lumayan di Yogyakarta, sering juga berkolaborasi dengan mahasiswa-mahasiwa untuk membuat film pendek atau film dokumenter. Aku yakin proyek kali ini akan berhubungan dengan sesuatu tentang perfilman.

“Pengin ketemu Urfan aja.” ucapnya kemudian duduk di kursi tamu ruang utama.

“Kayaknya mau ada proyek kolaborasi nih” Tebakku.

“Haha.. yah.. begitulah.. Oh ya! Kita nunggu Adam dulu sebentar ya!”

“Adam? Adam yang kemarin kejatuhan bangunan?” tanyaku penasaran.

“Betul.. kasihan sekali Adam, diingat sebagai korban kejatuhan bangunan” ledek Mbak Irma ketawa.

“Bukan begitu, Mbak” Aku jadi menyesal sudah mengingat Adam seperti itu.

Aku menemani Mbak Irma sambil menunggu Adam. Kita ngobrol basa-basi mulai dari hal-hal yang nggak penting sampai ke urusan yang sedikit  sensitif. Pernikahan.

“Menurutku pernikahan itu tentang suatu visi dan misi diantara dua insani, Bel” katanya setelah menanyakan kesiapanku untuk tentang hal sakral itu.

“Karena aku hanya ingin satu seumur hidupku, entah itu di dunia maupun di akhirat. Aku harus selektif, kan? Tapi kenapa orang-orang selalu menyuruhku cepat-cepat? Toh pernikahan bukan tentang mana yang lebih cepat atau mana yang lebih lambat? Sudah banyak kok yang menikah lebih cepat tapi ujung-ujung cerai juga. Aku ngga mau seperti itu.”

“Tapi Mbak, bukan berarti yang menikah lebih lambat juga akan bersatu sampai tua kan?” aku berbicara dengan sangat hati-hati, mengingat Mbak Irma sudah memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak daripada aku.

“Yah… aku tau, Bel. Semua memang bergantung dengan manusianya”
Kemudian aku terdiam, begitupun Mbak Irma. Aku ngga mau melanjutkan tanggapan atau menanyakannya lagi, takut nantinya akan membuat Mbak Irma tersinggung.

Mbak Irma menghela napas. “Usiaku memang sudah 30 tahun, di usiaku seperti ini seharusnya aku lebih serius mencari pasangan hidup. Tapi apalah daya aku lebih tertarik dengan pekerjaanku saat ini. Entahlah, sekarang ini aku begitu menikmati pekerjaanku, Bel” ucapnya seraya tersenyum sumringah. Aku hanya bisa berdoa untuk kebaikan Mbak Irma, yang sudah kuanggap seperti kakakku sendiri.

Tak berapa lama, Mbak Irma mengangkat panggilan dan melambai-lambaikan lengannya ke arah lelaki yang memakai kemeja dengan lengan baju yang dilipat beberapa lipatan sampai batas tiga perempat lengannya. Tas ranselnya ia letakkan di salah satu pundaknya saja. Semakin mendekat lelaki itu berjalan, semakin jelas siapa gerangan.

Adam tersenyum dan memberi salam.
“Rapih sekali kau, Bung” Ucap Mbak Irma yang melihat penampilan Adam lebih rapih dari dirinya. Mbak Irma hanya mengenakan kaos panjang dan jilbab segiempat tanpa dikaitkan dengan peniti.

Aku tersenyum gugup begitu dia tersenyum padaku. Entah, entah kenapa senyumannya seperti de javu bagiku. Ah! Bukan! Dia memang sudah pernah tersenyum seperti itu padaku di posko bencana beberapa hari yang lalu.

“Bella, yah?” Sapanya. Deg, dia tau namaku?

“Ah, ya” Jawabku kaget karena Adam ternyata tau namaku.

Pukul 08.00 WIB kantor sudah mulai ramai, beberapa karyawan keluar masuk dan ada beberapa yang menyapa Mbak Irma. Yups, Mbak Irma sudah seterkenal itu di Yogya khususnya bagi penggiat proyek perfilman. Pengalamannya sudah sangat mumpuni jika dia akan mendapatkan proyek besar. Aku bersyukur sudah diberi kesempatan berteman dengannya, orang-orang hebat yang tak kenal pantang menyerah.

Orang yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga, Mas Urfan. Dengan segala basa-basi kecilnya, aku pamit undur diri untuk melanjutkan pekerjaan. Tidak etis rasanya jika tetap berada di antara orang-orang yang memiliki projek sama, sedangkan aku tidak masuk dalam projek itu.

“Lho, Bel? Disini lah dulu sebentar” Tawar Mas Urfan.

“Sudah waktunya pergi Mas haha" tawaku canggung.

"Bosmu aja belum datang" tawar Mas Urfan lagi.

Tidak!  Tidak!  Dia hanya basa-basi.

"Tadi cuma nemenin aja nunggu Mas Urfan datang kok” sehalus mungkin aku menolak untuk tetap berada.

“Memangnya kenapa kalau sudah datang?? Sini aja lah Bell” Timpal Mbak Irma. Aku nyengir tak enak hati lalu pamit undur diri.

Proyek seperti apa ya? Aku penasan sebenarnya. Seandainya aku bisa ikut bergabung. Ah, tidak. pekerjaanku masih banyak, jangan mengharap pekerjaan yang lain dimana pekerjaan saat ini belum selesei.

Aku masuk kantor, menyapa beberapa teman dan mulai mengejar deadline.

Drrtt… drrtttt…
Ponselku berbunyi, satu pesan masuk. Aku mengernyit dari siapa ini?  Nomor baru.

Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh. Jika berkenan, save nomor saya. Adam.

Aku melongo. Tiba-tiba, sangat tiba-tiba.  Ada apa gerangan?

--------------------

Halo semua!! Jarak antara bagian dua dan tiga hampir sebulan ya!  Maafkeun.. 🙏

Gimana part 3? Masih kurang seru kah?  Hiks!  Sebenarnya aku butuh dukungan kalian dengan klik tombol bintang.  Biar aku semangat nulisnya!!

Ayo klik..  Terimakasih semuanyaa 😊

MOONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang